FEODALISME KETENAGALISTRIKAN BITUNG

Feodalisme Ketenagalistrikan Bitung
Oleh: Budi Susilo

IRONIS,
sungguh memalukan. Stempel inilah yang pantas dinobatkan kepada Perusahaan Listrik Negara (PLN) Bitung. Bagaimana tidak, perusahaan berbadan Persero (Perusahaan Perseroan) ini, selama satu hari penuh mengecewakan pelanggannya di daerah Girian Bawah.

Bayangkan, sejak Rabu 28 September 2011, akibat kerusakan pada gardu listrik, warga Girian Bawah dikecewakan pelayanan PLN Bitung, harus rela rasakan padamnya listrik, mesti dalam keadaan terpaksa, mati kutu dibuatnya. Rasa sedih bercampur kesal kesumat, walau akhirnya di Jumat 30 September 2011 listrik kembali normal.

Namun itu pun sudah timbulkan tumbal kerugian, bayangkan berapa yang harus ditanggung warga saat listrik padam. Ada warga berhenti produksi jualan es bungkus karena kulkas pendinginnya tak beroperasi. Satu lagi warga yang usaha warnet berhenti tak melayani jasa internetnya.

Memang selama ini kemana PLN Bitung ?, seolah bersikap acuh tak acuh terhadap perawatan dan keamanan infrastrukturnya. Atau PLN Bitung sendiri sudah merasa tak lagi mencintai kelembagaannya, sampai-sampai barang yang dimilikinya tak dirawat dan diawasi, enggan lagi mencintai.

Setidaknya, PLN Bitung dapat mengetahui barang miliknya. Apabila dirasa sudah ada yang usang infrastrukturnya dan bergejala jadi bakal calon almarhum, segeralah ambil langkah ganti, perbaharui dengan yang layak agar tak merugikan pelanggan setia.

Logikanya, siapa pun itu, mereka yang masih memiliki kecintaan terhadap sesuatu, tentu pastinya akan selalu dijaga, memberikan yang terbaik.

Di sisi lain, hubungan personal pelanggan dengan PLN Bitung pun seolah telah longgar, luntur perasaan cintanya, bagai Anjing dan Kucing, yang selalu berkelahi. PLN Bitung masih tonjolkan feodalisme yang mengental, bergaya kolonial Belanda, mengutamakan super ego dan anti kritik.

Perusahaan yang awalnya dibentuk akhir abad 19 oleh swasta Belanda NV. NIGM ini seolah tidak sepadan dengan kewajiban yang dicurahkan oleh konsumenya ke PLN. Keberadaan prinsip egaliternya masih dipertanyakan.

Bahkan dengan gaya bisnis berpandangan sempit, saat pelanggan terlambat bayar tanpa pikir panjang PLN ambil langkah pemutusan sambungan. Adilkah ini ?, atau memang dihalalkan karena PLN menyandang sebagai monopoli pasar ketenaga listrikan.

Rasanya perlu kembali dipertimbangkan, status monopoli listrik oleh PLN. Merasa tak ada pesaing dari yang lain, lupa daratan, konsumen pun dirugikan. Revolusi !, kata tepat memajukan penyediaan sumber tenaga kelistrikan. Jalannya apa ? tak lain alternatif obatnya, buka keran pasar bebas dengan melandaskan tetap pada kedaulatan milik pribumi dalam negeri kita tercinta.

Sebagai gagasan akhir, meminjam istilah Murray Rothbard dalam karyanya A Future of Peace and Capitalism (1973), "Saya sangat optimis tentang masa depan kapitalisme pasar bebas. Saya tidak optimis tentang masa depan Kapitalisme negara atau sebaliknya saya optimistis, karena menurut saya sistem itu akhirnya akan pensiun." Salam Gerak tuk Kebaikan ! ()

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CANDI GARUDA YOGYAKARTA

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

PONDOK PESANTREN MARDHATILLAH BALIKPAPAN