BERTEGUH JALANI PANCASILA


Berteguh Jalani Pancasila
Oleh: Budi Susilo

Catatan 4 Juni 1962, organisasi NII Kartosoewirjo tutup usia, harus tersadar dengan petuah agung Mpu Tantular "Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Darma Mangrwa," beraneka itu satu, tidak ada kewajiban yang mendua. Membumilah Pancasila, jangan menyesal kalau nanti diambil negara tetangga. Kain Batik, alat musik Kulintang, tarian Reog sampai makanan Tempe pun nasibnya sudah dipatenkan negara lain. Apa rela gagasan ruh kebangsaan Pancasila diakui negara diseberang sana. Tentu tidaklah.

Penyempalan terhadap Pancasila telah ada dalam sejarah lama. Kartosoewirjo dan Teungku Muhammad Daud Beureueh melalui organisasi NII, satu di antara orang yang dikenal sebagai penghantam keutuhan Pancasila, meski ada versi mereka berdua berlatarbelakang ingin menciptakan masyarakat yang menyerupai tujuan yang dikandung dalam Pancasila.

Saat ditelurkannya Pancasila di bumi pertiwi Nusantara itu diambil dari norma-norma dan cita-cita yang hidup dalam masyarakat berbangsa dan bernegara Indonesia. Itulah kenapa Presiden pertama Indonesia Soekarno saat berpidato dalam sidang Dokuritsu Junbi Cosakai atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan pada tanggal 1 Juni 1945, menekankan sebagai penggali Pancasila, bukanlah pencetus Pancasila.

Ibarat sebuah alat cermin, Pancasila adalah yang dimaksud oleh Republik Indonesia. Timbul dari keinginan dan kepunyaan rakyat. Bukan lagi milik pribadi, golongan maupun aliran tertentu. Pancasila itu bayangan rakyat, sebagaimana mirip dengan definisi rakyat yang digagas oleh Prof. Miriam Budiardjo dalam bukunya Dasar-dasar Ilmu Politik (1977), rakyat itu sekelompok manusia yang hidup bersama dan bekerjasama untuk mencapai keinginan bersama. Dan bila rakyat itu dibiarkan mengejar keinginannya masing-masing dan bersaing bebas, maka akan timbul pertentangan yang merugikan rakyat secara keseluruhan.

Rasanya Pancasila sekarang ini, era tahun 1998, digadang-gadangkan sebagai periode reformasi, tahun pengharapan dan dipercaya untuk perubahan karena tumbuhnya sebuah generasi penguat dan pelaksana Pancasila seutuhnya, faktanya tidaklah indah. Pada tataran praktis terbukti sekedar pepesan kosong. Penguasa yang berkuasa hanya meraup keuntungan pribadi dan kelompoknya. Diberi amanah berkuasa tidak dapat dipercaya hanya bisa menipu, memeras, dan memperburuk keadaan.

Lihatlah kebanyakan partai politik tekad organisasinya jalankan perjuangan ide-ide Pancasila namun ironisnya korupsi jadi pedoman. Mengeruk kekayaan materi rakyat lewat kekuasaan yang dimilikinya, mengguritakan kekuasaan melalui keturunan-keturunannya mirip di negeri kerajaan. Ada lagi ulah yang mengatasnamakan pejuang rakyat kerjanya hanya tidur atau menonton video porno.

Rasa malu tidak dimiliki. Itulah politisi terkini. Sifat negarawan bukan hal utama. Terjerat dugaan korupsi kabur keluar negeri, alasan sakit atau seribu alasan lainnya, itulah pejabat negeri ini. Rakyat miskin pinggiran hanya menonton panggung sandiwara politisi busuk yang memerankan sebagai tokoh kebal dari segala hukum, termasuk mungkin hukuman dari Tuhan Yang Maha Esa. Sungguh terlalu politisi negeri ini.

Dunia hukum pun tidak ada habis-habisnya diterpa gerogotan nafsu serakah mafia hukum. Hakim, Jaksa bahkan pengacara sekalipun terkena virus setanisme penghancuran sistem hukum Indonesia. Kesan lama seperti kasih uang habis perkara dan ujung-ujungnya duit, tak lekas hilang di republik ini. Apa yang salah dengan negeri ini. Kurikulum pendidikan atau tenaga pengajarnya.

Tumbuh satu, lainnya mengikuti. Satu kasus belum tuntas, datang lagi dengan ragam kasus lainnya. Inilah yang kini dialami Komisi Pemberantasan Korupsi dalam memerangai penyakit sumber kemiskinan negara. Lembaga ini seakan bukan pengobat penyakit korupsi, sebab apa titik keberhasilannya. Apa perlu hansip dan satpam pun harus turun gunung untuk menghantam para "oknum" penghancur sendi kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.

Melihat fenomena yang ada, sebaiknya refleksikan kembali teori masyarakat (ashabiyyah), milik Ibn Khaldun didalam karyanya berjudul Muqaddimah: 175, berisikan mengenai tahapan timbul tenggelamnya suatu negara atau sebuah peradaban menjadi lima tahap.

Pertama tahap tahap konsolidasi. Sebuah otoritas negara didukung masyarakat yang berhasil menggulingkan kedaulatan dari dinasti sebelumnya. Tahap kedua yaitu tirani, penguasa yang berbuat sekehendaknya terhadap rakyat. Pada tahap ini, orang yang memimpin negara senang mengumpulkan dan memperbanyak pengikut. Penguasa menutup pintu bagi mereka yang ingin turut serta dalam pemerintahannya. Maka segala perhatiannya ditujukan untuk kepentingan mempertahankan dan memenangkan keluarganya.

Tahap ketiga sejahterah, capaian kedaulatan yang mampu dinikmati. Segala perhatian penguasa tercurah pada usaha membangun negara. Dan tahap empat adalah kepuasan hati, tentram dan damai. Penguasa merasa puas dengan segala sesuatu yang telah dibangun para pendahulunya. Terwujudnya kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi masyarakatnya.

Dan terakhir tahap lima mengalami kehidupan boros dan berlebihan. Pada tahap ini, penguasa menjadi perusak warisan pendahulunya, pemuas hawa nafsu dan kesenangan. Pada tahap ini, negara tinggal menunggu kehancurannya. Inilah yang tidak akan diharapkan rakyat Indonesia dengan bersumpah atas nama Tuhan Yang Maha Esa ingin wujudkan sebuah kehidupan yang berkemanusiaan adil beradab dalam indahnya rasa persatuan dan persaudaraan dalam kemufakatan untuk menggapai sebuah sentuhan keadilan sejahtera nan sentosa. Mari bersama sadari ini, berkomitmen teguh berpendirian. ()

Komentar

  1. bisa jadi lama-lama akan nihil, hilang dengan sendirinya itu, gawatlah sudah.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

CANDI GARUDA YOGYAKARTA

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

PONDOK PESANTREN MARDHATILLAH BALIKPAPAN