BERBIJAKLAH dalam KETAHANAN PANGAN

Berbijaklah dalam Ketahanan Pangan
Oleh: Budi Susilo

Sepandai-pandainya hewan Tupai melompat, akhirnya pun dapat jatuh jua. Pengibaratan ini seolah layak melekat di pulau Sulawesi bagian Utara. Bila tak hati-hati kelola kekayaan alam akan jadi mala petaka, pembawa kemiskinan yang memiskinkan. Daerah yang dikenal sebagai Bumi Nyiur Melambai, Sulawesi Utara (Sulut) mengandung banyak kekayaan alam pertanian. Potensinya mampu berikan kesejahteraan penduduknya. Tak heran dimasa perang dunia ke dua, jadi banyak incaran negara kolonial kapital yang ingin memiliki Sulut.

Sekarang era telah merdeka, bukan lagi jaman jajahan secara fisik militerisme, menodong senjata, kedaulatan diri dapat terampas. Kini telah beralih ke generasi pewaris pribumi. Lanjutnya hanya tinggal meramu dan memanfaatkannya. Namun apa daya bila si pewaris tak lagi mampu kelola secara baik potensi kekayaan tersebut. Kepemilikan sikap berkesinambungan terhadap alam dilupakan, keserakahan dan perusakan kelestarian alam jadi keseharian, tentu yang terjadi adalah dampak ketahanan pangan berstatus terancam.

Masyarakat Sulut melalui pemerintahan daerahnya, menyatakan telah dihadapkan oleh berbagai masalah ketahanan pangan. Ramuan atasi hal tersebut, pemerintah mengeluarkan alternatif melalui cara disertifikasi pangan yakni peningkatan pendapatan melalui pertanian yang berbasis sumber daya lokal, penerapan teknologi yang dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi kerjasama yang sinergis dengan semua pemangku ketahanan pangan. Alternatif berikutnya cara sistem pendidikan pertanian. Ini dimaksudkan adanya gelaran sistem pendidikan kependudukan pangan dan gizi kesehatan serta lingkungan menuju keluarga sejahterah yang sadar pangan dan gizi.

Jurus yang dikeluarkan pemerintah daerah Sulut sungguh meyakinkan, pantas diberi apresiasi sambutan positif. Namun realitasnya pasti masyarakat hanya perlu bukti, apa bisa tawaran solusi tersebut Sulut mampu hindari dari krisis ketahanan pangan. Tentu jangan sampai pula petani mengalami seperti yang digambarkan oleh Geertz, dalam bukunya Agricultural Involution: The Process of Ecological Change in Indonesia (1963), menempatkan petani sebagai subyek yang pasif, statis, tunduk kepada sistem yang menguasainya, sehingga selalu sibuk beradaptasi internal demi kelangsungan sistem.

Ironis bila Sulut mengalami kemunduran pemenuhan pangan. Padahal Tuhan telah menganugerahkan lahan subur rimpah ruah mensejahterahkan. Harus mampu dan optimis memenuhi pangan secara mandiri tanpa harus sepenuhnya bergantung dengan daerah lain. Terlebih kotak pandora perdagangan ASEAN dan Cina terbuka lebar, persaingan bisnis jadi lebih kompetitif, tawaran beragam produk banyak ragamnya.

Sebagai gambaran, Indonesia pada triwulan I tahun 2011 ini mengimpor buah-buahan, terutama untuk jenis jeruk mandarin dan pir dari China secara besar. Mengacu pada Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan impor jeruk mandarin pada Januari hingga Maret 2011 senilai 85.352.866 dollar AS. Padahal, di periode yang sama tahun lalu, nilai impor jeruk mandarin masih sebesar 68.103.952 dollar AS. Ini menandakan ada lonjakan sekitar 25,32 persen dibanding pada periode sebelumnya. Karena itu, jangan sampai menyesal bila nanti nilai produk hasil pertanian semisal dari Thailand dan Cina menjadi produk yang disukai warga Sulut.


Persoalan esensial lainnya, petani itu terkhusus bagi generasi muda terkini merupakan pekerjaan yang jarang dilirik. Persoalan klasik, jadi petani itu tak beri jaminan hidup kaya dan dianggap bukanlah bergengsi. Bahkan pada tataran perguruan tinggi jurusan pertanian di Sulut para lulusannya berdasar cerita pengalaman para almuni, kebanyakan lebih memilih bekerja di lembaga pemerintahan, lebih menyukai karir sebagai pegawai negeri sipil atau di keuangan perbankan.

Padahal ujung tombak ketahanan pangan ada di sosok petani. Ada jagung, beras, gandum, pala, kopra dimulai dari tindak tanduk seorang petani. Bayangkan pekerja tani langka, tentu yang memproduksi hasil pertanian absen, akan sulit ciptakan kemandirian pertanian.

Melihat pengalaman di negeri yang baru saja terkena bencana alam Tsunami yakni Jepang, karakter warganya terhadap pekerjaan petani tak dianggapnya rendah dan menjadikan pilihan petani sebagai kegiatan yang telah bermetamorfosa menjadi pekerjaan yang profesional dengan memadukan pengelolaan pertanian yang berteknologi tinggi.

Tak heran bila upaya itu mampu menciptakan kesuksesan hidup petani secara mapan. Prof Jantje Pelealu, dekan fakultas pertanian dari Universitas Sam Ratulangi Sulut menggagas, perlu adanya sebuah perubahan bagi para petani Sulut ke arah yang lebih modern. Pemerintah bersama kalangan perguruan tinggi harus turut berperan dalam upaya meningkatkan petani yang berwawasan ilmu pengetahuan tekonologi. Segala langkah, niat penuh komitmen kuat, rasanya gagasan Prof Jantje Pelealu tersebut bukanlah sekedar pendapat yang terucap bak pepatah anjing menggonggong kafilah berlalu. Ada perlu dorongan dan tindakan yang nyata. Utamanya pemerintah daerah yang harus memajukan dunia pertanian melalui program yang sederhana, yaitu memberikan secara luas serta mempertahankan lahan bagi pengembangan pertanian. Jangan lagi mengorbankan lahan pertanian untuk kebutuhan bangunan beton perkantoran dan perumahan.

Ciptakan bangunan pemukiman bermodel tinggi ke atas bila mau terus mewariskan belantika pertanian yang kokoh, tangguh, mandiri dan berinovasi sebagaimana yang telah dicita-citakan di dalam Undang-undang nomor 41 tahun 2009 mengenai Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan bahwa Indonesia sebagai negara agraris perlu menjamin penyediaan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan sebagai sumber pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dengan mengedepankan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan, kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. ()

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CANDI GARUDA YOGYAKARTA

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

PONDOK PESANTREN MARDHATILLAH BALIKPAPAN