AMPLOPISASI BPD MENJANGKITI PEJABAT


Amplopisasi BPD Menjangkiti Pejabat
Oleh : Budisusilo

Pejabat negara kini tak ubahnya peternak sapi. Bedanya, si pejabat ini bukan sapi yang menjadi objek penghasil sesuap nasinya, tetapi lembaga rakyatnya lah yang jadi lahan perahannya. Sebenarnya tidaklah masalah, asalkan hasil perahannya itu terciprat ke semacam anak-anak terlantar, biar mereka menggapai cita-cita sekolahnya setinggi langit.

Ironisnya, para pejabat terjebak oleh nafsu syahwat pribadi. Memperkaya diri dan harga dirinya dianggap sebagai anak tiri. Fenomena ini terlihat ketika hasil uji petik dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan Bank Pembangunan Daerah (BPD) dijadikan sapi perah oleh pejabat-pejabat daerah, yang mereka menganggapnya sebagai raja kecil daerah, padahal sebenarnya mereka adalah pelayan rakyat.

Temuan KPK tersebut, mengindikasikan adanya bagi-bagi komisi ke kepala daerah dan musyawarah pimpinan daerah lainnya yang mencapai angka Rp 360, 311 miliar. Untungnya, nilai mata uangnya bukanlah poundsterling, jika ia, tentu garis kemiskinan akan makin terdepan, busung lapar merajalela, peredaran dan pemakaian narkoba tambah diminati kaula muda. Lengkap sudah kehancuran negeri ini, yang muda mabuk, yang tua korup.

Meski wilayah Sulawesi Utara (Sulut) belum ditemukan indikasi tersebut, tapi bisa saja virus korupsi BPD itu sewaktu-waktu membobroki BPD Sulut, seperti di enam daerah temuan KPK yakni Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, dan DKI Jakarta.

Lain halnya cerita di Nusa Tenggara Barat, direksi BPD memperoleh kompensasi berupa kebijakan kepala daerah yang menguntungkan mereka. Dan kondisi di Sulut, sebagaiamana yang diutarakan Pemimpin Bank Indonesia (BI) Manado, Ramlan Ginting, Rabu (3/2), sejauh ini BPD Manado tidak terjangkiti budaya amplopisasi fee.

Sekretaris Daerah Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) Drs Robby Mamuaja, Jumat (5/2), terkait pemberian fee dari BPD kepada pejabat daerah tidak ada dan tidak diperkenankan. "Ngga ada itu. Ngga ada pemberian-pemberian seperti ke pejabat daerah. Jika akan diperiksa (KPK), kami siap melayani dan memberikan apa yang mereka mau." jelas Mamuaja.

Mesti demikian tidak terjadi di Sulut, ini tetap perlu dihati-hati, utamanya BPD daerah lainnya yang tersebar di penjuru negeri ini. Jika tidak, sistem demokratisasi yang selama ini banyak diancungi jempol oleh negara lain, akan bisa berbuah anarki.

Rakyat kini berharap banyak kepada KPK yang digaji oleh rakyat. Agar segera mampu mengusut BPD di seluruh Indonesia. Demi menjaga kedaulatan ekonomi rakyat tetap tegak, tegap berdiri, seperti simbol negara bumi pertiwi nusantara Indonesia, Garuda Pancasila.

Di sisi lain pun, para pejabat mesti menyadari, jika memang untuk memperkaya diri bukanlah dengan jalan yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur keadilan. Sebagaimana dalam al-Quran surah Al Baqarah ayat 188, bahwa "Janganlah kalian memakan harta diantara kalian dengan jalan yang batil dengan cara mencari pembenarannya kepada hakim-hakim, agar kalian dapat memakan harta orang lain dengan cara dosa sedangkan kalian mengetahuinya."

Jika memang para pejabat ingin menjadi orang kaya mesti melalui jalan berdagang, seperti apa yang telah dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW, pintu rezeki terbuka terlebar adalah dari cara berdagang secara halal.

Terkait keberadaan posisi perbankan daerah di Indonesia semestinya jadi stimulan buat memajukan roda perekonomian rakyat. Tapi anehnya, banyak daerah yang menempatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah di BPD yang sejatinya buat pembangunan, justru disimpan di sertifikasi Bank Indonesia. Mereka hanya menikmati bunga uang itu, sementara pembangunan tidak berjalan baik.

Khusus di Sulut, tahun 2009, dunia perbankan fungsi intermediasinya masih sebatas pengucuran kredit konsumtif. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi seperti Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) seperti sektor pertanian menurun. Mestinya porsi penyaluran kredit konsumtif lebih diperkecil jika ingin berharap iklim investasinya berkembang baik.

Ini terbukti, ketika data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) pertumbuhan ekonomi 2009 terendah Sulut itu ada pada sektor pertanian yang hanya menggapai angka 2,07 persen dari total pertumbuhan ekonomi tahun 2009 yang sebesar 7,85 persen.

Menurut laporan dari Deputi Pemimpin BI Manado, Mochammad Nadjib, pada kuartal III, sektor usaha mikro pertanian perkembangannya negatif. Ini dibuktikan peremajaan perkebunan mengalami stagnan, luas lahan kelapa menyusut dan tingkat produktifitas menurun yang menurutnya solusi terbaik adalah adanya pembinaan, kemudahan kredit, serta melakukan peremajaan bagi UMKM.

Andaikata BPD masih bersikap bodoh memberi komisi ke pejabat daerah dan menaruh dana di SBI makanya tidak heran dunia perekonomian, khususnya sektor pertanian akan terus terjerambab jurang kegelapan. Padahal, pondasi ekonomi bangsa ini kuat berada di agraria dan sejak dahulu sebagian besar masyarakat Indonesia mencari nafkah ada di lahan pertanian. (Kairagi, Manado, Sulawesi Utara, Jumat 12 Februari 2010)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CANDI GARUDA YOGYAKARTA

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

PONDOK PESANTREN MARDHATILLAH BALIKPAPAN