PULUHAN TAHUN DICAP TAPOL PKI KALTIM
Puluhan tahun di cap tahanan politik dianggap pengikut
organisasi politik Partai Komunis Indonesia (PKI). Kopral Untung dan
kawan-kawan lainnya merasa menderita tujuh turunan, diperlakukan persekusi
hingga diskriminasi.
Mereka yang sipil dan militer, yang ada di
Kalimantan Timur (Kaltim) dituduh dalam gerbong politik PKI diisolasi dari satu
tahanan ke tahanan lain, yang kemudian berujung pada pembuangan ke belantara
liar yang kala itu dikenal hutan Amborawang Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar).
Tempat alam rimba itu, para tahanan politik
PKI mesti melewati hidup dengan daya juang yang menantang, penuh keterbatasan
fasilitas. Mereka seakan memulai kehidupan dari nol lagi, membuka lembaran
baru. Hidup terkucilkan dalam pengasingan, sehari-harinya diawasi ketat tentara
Orde Baru.
Belum lama ini, menyambangi lokasi
pengasingan tahanan politik PKI itu, yang sekarang sudah menjadi perkampungan
penduduk, bernama Kelurahan Argosari, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai
Kartanegara,Selasa 26 September 2017.
Daya tempuh dari Sumber Rejo Kota Balikpapan
menuju ke Argosari ini memakan waktu sekitar dua jam melalui jalur darat.
Selama perjalanan ke tempat ini tidak menemukan kemacetan lalu-lintas, situasi
lengang lancar.
Saat tiba di Argosari, cuaca siang begitu panas. Tempatnya sudah tidak lagi seperti hutan yang ditumbungi rimbunan liar pohon. Akses jalan sudah terbuka lebar, dua kendaraan roda empat sudah bisa masuk ke dalam Argosari.
Atmosifir di Argosari
sepi, di jalan perkampungan ini hanya tampak satu dua orang melintas
menggunakan sepeda motor. Terlihat di pinggir jalan utama yang berkelok-kelok
dan naik turun, banyak berdiri rumah-rumah yang sebagian besar terbuat dari
bahan kayu dan beratapkan seng.
Jarak antara satu rumah dengan rumah yang
lain terlihat masih renggang, tidak sepadat seperti pemukiman yang ada di
Kampung Baru Kota Balikpapan. Lahan kawasan Argosari jarang berdiri rumah atau
bangunan lainnya. Lahan kosong masih luas, di antaranya ada yang ditanami
tumbuhan naga yang kala itu belum berbuah.
Saat akan masuk ke tengah perkampungan,
terlebih dahulu melintasi gapura beton berwarna merah putih bertuliskan
Argosari. Mengawali lintasan, jalurnya rusak bertanah merah dan berkubang isi
lumpur. Kondisi ini berlangsung hanya
sampai sekitar 100 meter, setelah itu wujud fisik
jalan beton mulus.
Singkat cerita, tiba di rumah Untung Soeyanto
(75), yang sudah bertembok beton. Sosok ini adalah satu di antara orang yang
divonis sebagai tahanan politik era tahun 1965, zaman pemberontakan 30
September.
“Silakan masuk saja. Bapak Untung ada di
dalam rumah, sedang bersantai,” ujar Suripah (63), istri kedua Untung, yang
waktu itu sedang duduk di bangku sofa pelataran rumah.
Untung Suyanto berkemeja coklat mantan tahanan politik 1965 dicap pengikut PKI Kalimantan Timur |
Untung sudah tidak muda lagi, raut wajahnya sudah keriput tak lagi kencang. Rambut kepalanya masih lebat namun sudah beruban, begitu pun bulu alis mata dan janggutnya sudah ikut memutih.
Untung datang dari arah kamar tidur, belakang
rumah.Dia keluar menuju ke ruang tamu. Jalannya tertatih-tatih, dibantu oleh
anaknya yang pria berusia dewasa dari istri kedua.
Dia langsung duduk di lantai rumahnya yang beralaskan terpal plastik, meluangkan waktu untuk berbincang-bincang bersama Tribun. “Mengobrol dengan suara yang keras. Telinga saya sekarang sudah tidak terlalu jelas buat mendengar,” imbuhnya.
Untung mengaku merasa dirugikan saat dirinya
berdinas di militer sebagai tentara di kesatuan Kodam Mulawarman dengan pangkat
Kopral Dua. Politik Jakarta berkecamuk, ada pembunuhan tujuh perwira tinggi
yang katanya didalangi PKI.
Saat aksi genting itu, Untung bertugas di
Kodam Mulawarman. Tidak terlibat dalam operasi kriminal tersebut. Namun dalam
diri Untung muncul pertanyaan, kenapa dirinya dikaitkan dengan aksi
pemberontakan itu.
Setelah ada peristiwa penculikan dan
pembunuhan para jendral di tahun 1965, Untung kemudian terkena imbas, dianggap
sebagai bagian dari pemberontak PKI. Persis sekitar tahun 1970, Untung
ditangkap, dinyatakan menjadi tahanan politik.
“Saya ditangkap. Rumah tangga ikut hancur.
Bercerai sama istri. Anak ikut istri dibawa pergi. Anak sudah tiga, perempuan
semua.Saya ditahan tidak ada kunjungan dari istri,” ungkap Untung yang lahir di
Sanga-sanga 10 Agustus 1942 ini.
Selama menjadi tentara, Untung merasa bekerja
secara profesional, tidak pernah terlibat aktif dalam kegiatan politik praktis,
apalagi bergabung dalam PKI. Bahkan, Untung pun pernah dipercaya sebagai
tentara yang dilibatkan dalam pendidikan dasar keprajuritan di Dipo
Pendididikan III Kota Bogor tahun 1961.
Tidak hanya itu, Untung pun pernah masuk kategori
serdadu yang mengikuti pendidikan intelejen di Batalyon Infrantri 612
Balikpapan pada 17 Juni 1967.
Berlanjut, memasuki Juli 1967, Untung yang
berpangkat Praka Infantri mengikuti kursus militer keamanan dan pelatihan
intelejen di Yonif 612 dan Kodam IX Mulawarman yang hasil dari ini, Untung
memperoleh nilai rapor 342, yang saat itu sertifikat kursusnya dikeluarkan oleh
Komandan Said Moedakir.
Tidak hanya itu, sebelum ada peristiwa 30
September 1965, Untung pernah ditugaskan menjaga rumah Panglima Kodam
Mulawarman yang saat itu masih dijabat Suhario Padmodiwirio, alias Hario Kecik.
Cerita Untung terpenjara sebagai tahanan
politik karena dirinya selagi masih menjadi tentara aktif dan berumur muda,
sering bermain bola voly bersama warga masyarakat sipil.
Kebetulan, lapangan voly berdekatan dengan
pusat kegiatan organisasi Pemuda Rakyat yang dikaitkan dekat dengan PKI. Hanya
sebatas bermain bola Voly, Untung merasa tidak beruntung, dirinya dicap sebagai
pengikut PKI, yang akhirnya berujung dinobatkan sebagai orang yang ikut dalam
ideologi terlarang.
Penangkapan dirinya waktu itu bermula dari
rumah tentara di Asrama Bukit Balikpapan. Namun awalnya bukan penangkapan,
tetapi istilahnya masih pemanggilan. Saat pagi, Untung digelandang ke markas
Polisi Militer. “Istri dan anak saya waktu itu belum tahu kalau saya ditahan,”
ujarnya.
Menginjak sore hari, Untung dibawa lagi ke
Kodam, diperiksa lebih lanjut. Dimulai dari sinilah, kemudian Untung dinilai
sebagai pengikut PKI. Ini didasarkan pada pengakuan orang-orang yang sudah
ditahan lebih dahulu.
“Aneh. Saya ditangkap tidak ada dasar kuat.
Hanya berdasarkan tuduhan-tuduhan yang tidak jelas. Penangkapan saya saja tidak
ada surat penangkapan, tiba-tiba langsung ditahan,” tuturnya.
Begitu ditahan status Untung tidak jelas. Sejak
ditahan, sebulan kemudian Untung tidak lagi mendapat gaji apalagi tunjangan.
Penghasilannya hilang, seperti tidak ada lagi harapan, Untung benar-benar mulai
merasa menderita. “Apa sebagai pensiunan atau dipecat sebagai pegawai negeri,
saya tidak tahu,” ujarnya.[1]
Pailan
Kaget Ditodong Senjata
Bertelanjang dada dan mengenakan celana
pendek hitam, Aloysius Pailan (78), duduk bersantai di pelataran depan rumahnya
yang berwarna biru campur abu-abu, di Jalan Rajawali, Kelurahan Argosari.
Pria kelahiran Kota Malang itu bukan warga
sipil yang ikut transmigrasi tetapi merupakan tahanan politik yang dituding
ikut PKI dari kalangan militer. Pangkat terakhir Pailan ialah Kopral Dua,
bertugas diBatalyon 612.
Pailan dituding masuk dalam gerakan
pemberontakan September PKI. Pailan ditahan masuk penjara sekitar tahun 1970.
Awal mula sebelum dipenjara, Pailan kaget, secara spontan dihadang
rekan-rekannya sesama militer.
Mau berangkat tugas, tiba-tiba di tengah
jalan ditodong senjata. “Yang lakukan teman-teman saya satu asrama. Saya tanya,
saya salah apa ? Kenapa ditodong senjata. Saya dipaksa takluk,” katanya.
Usai berhasil diringkus, Pailan dibawa ke
markas Polisi Militer, sempat diinapkan selama empat hari. Usai itu dibawa ke
tempat lain ke Kodim Balikpapan, dilakukan pemeriksaan atas sepak terjang
dirinya.
“Saya tanya ke orang yang memeriksa saya.
Saya bilang ini memeriksa saya atau apa mau menyiksa saya. Kalau memeriksa saya
harusnya dengarkan saja, bukan menggebuk,” ungkap pria kelahiran 24 April tahun
1939ini.
Kala itu, Pailan dituduh terlibat dalam
kegiatan pembunuhan para jendral di Kota Jakarta. Hal ini dia bantah, sebab
selama berlangsung pembunuhan jendral, Pailan berada di Balikpapan.
“Dituduh membunuh jendral. Bagaimana mungkin
saya bunuh jendral, sedangkan saya bertugas di Balikpapan, tidak pernah tidak
hadir,” ujarnya.
Tempat tahanan Pailan selalu berpindah-indah
dan tiada henti-hentinya disiksa. “Bekas luka siksaan kering sedikit, dipanggil
lagi. Pindah sana, pindah sini. Saya disetrum sampai lima kali. Mendapat
pukulan, gigi depan rusak hingga
kepala saya dihajar, berdarah,” ujarnya.
Pernah suatu ketika, dirinya dibebaskan
secara simbolik di lapangan Merdeka, dengan tahanan yang lainnya. Namun dalam
perjalanannya, tidak mendapat kebebasan secara nyata.
Suasana perkampungan Argosari, Kecamatan Samboja Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur pada Selasa 26 September 2017 (Jongfajar Kelana) |
“Habis dibebaskan masih harus apel. Saya tidak dapat gaji, tidak jelas apakah saya pensiun dini dari tentara, atau seperti apa. Hidup terkatung-katung,” kata Pailan yang mengaku ayah kandungnya pernah terlibat dalam perang melawan penjajah Belanda di Kota Tarakan.
Pailan masuk militer sejak dirinya merantau
dari jawa ke Balikpapan di tahun 1962. Awalnya masuk ke Kepolisian yang ada di
Stall Kuda. Di perjalanannya, ikut pendidikan kepolisian selama tiga bulan lalu
dikeluarkan. “Saya dianggap tidak bagus dalam mengerjakan tugas membersihan bak
air. Saya keluar coba masuk tentara. Diterima,” katanya.
Masuk tentara hingga akhirnya ditangkap
aparat, dianggap ikut berpolitik hingga akhirnya berujung dilibatkan dalam
pendistribusian penduduk ke daerah terpencil, ke hutan Amborawang, bersama
tahanan politik lainnya.
Kini tempat ini disebut Agrosari. “Ada
instruksi siapa yang mau mukim nanti dikasih, diberi fasilitas,” ujarnya.
Namun program pemindahan itu janji tinggal
janji tanpa dibarengi bantuan faslitas yang memadai. “Katanya mau disediakan
rumah, lahan dua hektar, perlengkapan tidur, rumah tangga. Tetapi tidak benar,
bohong,” ungkap Pailan.
Soal lahan, Pailan bersama tahan politik
lainnya mesti merintis lahan dahulu menjadi kawasan pemukiman. Masuk ke
Amborawang masih hutan belantara. Meratakan tanah pakai tenaga sendiri,
menebang pohon dengan menggergaji sendiri, membangun rumah sendiri. Masuk ke
hutan masih liar rimba belantara.
“Pernah kami tidak dapat kiriman makan. Cari
sendiri di hutan, ketemu umbut rotan muda, kami olah jadi makanan. Untungnya
kita para tentara sudah biasa menghadapi alam hutan, sudahterlatihhidup di hutan. Menanam singkong lalu
dimakan babi hutan tetap saja sisanya saya makan,” ujarnya.[2]
Dituduh Tanpa Proses Pengadilan
Muradi Kaswan, 75 tahun, merasa
nelangsa. Kesedihan terangkat kembali ketika menceritakan kisah pahitnya sekitar
tahun 1970, yang dituduh sebagai orang pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI)
di wilayah Kota Balikpapan Kalimantan Timur.
Muradi adalah bagian satu di
antara tentara Angkatan Darat waktu itu, yang terseret dalam gejolak politik 30
September 1965. "Saya dituduh ikut Pemuda Rakyatnya PKI. Saya bilang saya tidak
pernah ikut Pemuda Rakyat," tuturnya kepada Tribun di Argosari, Kecamatan Samboja,
Kabupaten Kutai Kartanegara.
Sebagai tentara yang pernah menempuh
pendidikan tempur, Muradi pernah ditempatkan bertugas di Batalyon 609 dan menjadi
penjaga rumah Panglima Kodam Mulawarman. Tugas negara ini dia emban sebelum dirinya
ditangkap di tahun 1970 sebagai tapol PKI.
"Sedih. Saya masih sakit kalau
ingat sampai sekarang. Dahulu saya sempat mau gila. Untung teman-teman saya
yang tapol memberi dukungan moril," ujarnya.
Kronologis Muradi ditangkap awalnya
sepulang dari dinas dan ingin pulang ke asrama tentara tiba-tiba ada rekan tentara
yang lainnya datang menghampiri. "Saya sudahtiba di asrama. Buka sepatu,
lalu datang teman saya. Di bilangsayadipanggilsamakomandan," ungkapnya.
Petunjuk tersebut Muradi layani.
Pergi kekomandannya, menghadap langsung pada hari itu juga. Setiba di lokasi diintogerasi,
langsung mengarah kalau dirinya terlibat pada kegiatan politik di Pemuda
Rakyat. "Tidak tahu apa-apa soal Pemuda Rakyat," tuturnya.
Muradi mengaku, tidak bergabung
di Pemuda Ralyat namun hanya mengenal orang-orang Pemuda Rakyat karena pada saat
itu dirinya pernah ditugaskan untuk menjaga tapol yang sudah ditangkap, yang
kebanyakan adalah warga sipil yang tergabung dalam Pemuda Rakyat.
Pada rentang waktu tahun 1965
sampai 1969, Muardi masih tentara. Pria kelahiran Nganjuk ini pernah berjaga,
ditugaskan untuk mengamankan orang-orang tahanan PKI di Pelengkung.
"Setiap apel kenal saja. Saya kenal orang-orang PKI dari tahanan waktu jam
menjaga. Kenal bukan dari bergabung di Pemuda Rakyat," katanya.
Atas tuduhan berfusi dalam Pemuda
Rakyat, Muradi dijebloskan kepenjara tanpa melalui proses pengadilan. Momen ini
terjadi sekitar tahun 1970. Tuduhan yang dialamatkan ke dirinya membuat Muradi murung,
sakit hati. Muradi merasa difitnah, selama dirinya menjadi tentara tidakpernah masuk
ke dunia politik praktis.
"Ditodong senjata. Saya disuruh
melepas semua seragam tentara saya. Disuruh angkat tangan lalu masuk ke sel penjara,"
tutur Muradi yang lahir pada 6 Maret 1942 ini.
Anehnya, selama di penjara Muradi
tidak pernah mendapat kabarakan disidangkan di pengadilan militer. Perlakuan Muradi
di penjara sebaliknya, dianggap seperti bukan manusia. Muradi mendapat siksaan fisik
yang pedih.
Tubuhnya yang masih muda, waktu itu
sering mendapat bogeman mentah, dituduh Pemuda Rakyat. "Awalnya saya dikasih
makan. Sudah selesai makan dihantam sana sini. Badan disiksa," ujarnya.
Paling menyedihkan lagi, Muradi pernah
diborgol bersama tahanan politik lainnya. Pemborgolan Muradi berbarengan dengan
tahanan lainnya. Saat akan buang air kecil dan air besar, tidak dilepas harus sama-sama
dengan kawan yang diborgol. "Tangan saya diborgol. Sampai sakit pergelangan
tangan saya," kata Muradi.
Tidak hanya Muradi, ada Wirya Wikrama,
60 tahun, yang bernasib sama. Bedanya Wirya bukan seorang tentara tetapi orang
sipil transmigran dari Karang Anyar Jawa Tengah. Daerah transmigran yang
disinggahi ialah Samboja, Kukar. Ikut transmigrasi program dari Presiden Soekarno.
Wirya yang sudah memiliki anak satu
sekitar tahun 1968 dituduh ikut dalam gerakan Barisan Tani Indonesia.
Kronologisnya, Wirya sedang bertani menanam singkong, lalu didatangi pria berbadan
tegap menggunakan pakaian sipil.
"Diperintah untuk pergi ke
Balikpapan. Pergi ke Balikpapan ditahan. Saya dituduh ikut BTI. Saya bilang saya
hanya petani tidak ikut politik, tidak punya niat membunuh jenderal,"
ungkapnya.
Penetapan sebagai tahanan politik
Wirya tanpa melalui proses pengadilan. Dirinya langsung dijebloskan ke penjara.
Namun untungnya, selama dipenjara tidak disiksa hingga menyakitkan. Wirya hanya
diisolasi tidak boleh pulang kerumah menemui keluarga.
Pernah Wirya dilempar ketahanan
yang ada di Kota Samarinda. Selama dilempar di Samarinda, Wirya diperlakukan berbeda,
bukan dikurung namun dijadikan pelayan para tentara. "Disuruh buatkan minum
kopi. Buat teh. Kadang disuruh pijat," tuturnya.[3]
Karir Hilang Cerai dari Istri
Puluhan tahun hidup dalam pengasingan dicap
sebagai tahanan politik oleh penguasa saat itu, tidak membuat Yohanes Wagiran
Sumitro putus asa, mengambil jalan pintas melakukan bunuh diri. Hidup mesti
dijalani. Dirinya percaya, semua penderitaan hidup adalah takdir yang harus
disyukuri, suatu saat akan menemukan kebahagiaan yang diberikan oleh
Tuhan.
MENJELANG senja, Wagiran mengendarai sendiri
sepeda motor bututnya yang warna hitam. Mengenakan pakaian yang lusuh, membawa
sebuah celurit, Wagiran tak sungkan untuk menyapa orang di setiap jalan yang
dilintasinya.
Termasuk kepada saya, dia berhenti sejenak,
sempatkan waktu untuk bersua. "Mau pergi cari rumput. Tidak jauh dari sini,
hanya di sekitaran waduk disitu. Cari rumput buat ternak sapi saya di
rumah," katanya, Rabu 27 September 2017.
Sehari‑hari, mata pencahariannya sebagai
petani. Wagiran mengandalkan perkebunan seperti singkong, buah‑buahan untuk
menyambung hidupnya. Hewan ternak sapi pun jadi tambahan pundi‑pundi rupiah
bagi bekal kehidupannya.
Dahulu, Wagiran adalah pegawai negeri di
dinas kemiliteran dengan pangkat terakhir sebagai Pelda. Dirinya dikait‑katikan
kasus politik tahun 1965. Peristiwa inilah yang kemudian membuat garis hidupnya
berubah. Dirinya ditangkap, dikurung, lalu diisolasi ke hutan liar Amborawang
yang sekarang sudah jadi pemukiman penduduk bernama Agrosari, Kabupaten Kutai
Kartanegara.
Nasib buruk tidak sangka oleh Pelda Yohanes
Wagiran Sumitro, pria berkulit gelap ini disangkakan sebagai pengikut Partai
Komunis Indonesia (PKI). Dirinya yang berstatus tahanan politik, membuat
kehilangan karir di dunia militer. Gaji tidak terbayar, pesangon lenyap,
apalagi kesejahteraan dari uang pensiun sungguh tak jelas.
Statusnya sebagai pegawai negeri di tubuh
militer Kodam Mulawarman dihilangkan begitu saja, lantaran mendungnya dunia
politik Indonesia di September 1965. Mengawali karir, Wagiran mendaftarkan diri
sebagai tentara Indonesia.
Saat itu bukan di Kota Balikpapan. Wagiran
mendaftar di Surakarta, Jawa Tengah. "Daftara tentara, saya ingat di tahun
1960. Saya daftar di Resimen Surakarta. Ya kemudian diterima," kata
Wagiran.
Begitu daftar langsung dikirim untuk mengikuti pendidikan selama satu tahun. Bagi Wagiran, mengikuti pendidikan di kedinasan militer merupakan angin segar, ada kebanggan bisa menjadi pegawai. "Sampai satu tahun ikut pendidikan saya dilantik. Seingat saya pelantikan 1 Maret 1961," ujarnya.
Setelah dilantik, Wagiran mendapat informasi
bakal dikirim bertugas ke Kota Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur. Sebagai
seorang pegawai, Wagiran siap mengemban tugas. Negara membutuhkan, Wagiran
terpanggil untuk ikut berkontribusi bagi negeri.
Dia pun akhirnya dikirim ke Balikpapan.
Kapasitasnya bukan sebagai tentara tempur, namun tugasnya menjadi seorang
perwira personalia. Singkat cerita, sejak dua bulan sudah di Balikpapan,
Wagrian kemudian dipercaya lagi untuk ikut kongres perwira personalia di Jawa.
Menurut dia, mengikuti kongres kala itu
seakan menjadi capaian prestasi tinggi. Ikut kongres bertemu seluruh perwira di
seluruh daerah. Pergi ke lokasi pun tidak memakai transportasi laut apalagi
darat.
"Pergi diberi fasilitas pesawat. Pada zaman itu orang bisa naik pesawat itu
adalah orang‑orang hebat, mahal. Bangga sekali bisa naik pesawat untuk pertama
kalinya. Ikut kongres naik pesawat," tuturnya.
Namun kebanggaan itu akhirnya sirna saat
memasuki tahun 1970. Saat ada kecampuk politik di Kota Jakarta tahun 1965,
berimbas ke wilayah Kalimantan Timur. Ada beberapa perwira yang terciprat
politik di Jakarta, dituduh sebagai pengikut PKI, mendukung kelancaran gerakan
September 1965.
Selama menjalani sebagai tahanan politik,
dirinya masih bernasib baik. Saat dikurung dalam penjara tiada pernah mendapat siksaan
pedih. Namun hak kebebasannya sebagai warga saja yang terengut, hingga akhirnya
dia pun terpaksa dipisahkan dari istri dan anaknya.
Hidup sendiri dalam tahanan, dituduh dalam
gerakan politik adalah hukuman yang berat, tapi itu semua kata Wagiran, peristiwa
yang harus dihadapi secara sabar dan tegar.
"Kalau mau bunuh diri tidak selesaikan
persoalan. Banyak teman saya yang juga ditahan ada yang sampai sakit jiwa, mau
bunuh diri. Saya jalani saja waktu itu meski pedih," ujarnya.
Selama diisolasi di hutan belantara, Wagiran
hanya berfokus cara mempertahan hidup. Disediakan lahan dimanfaatkan untuk
menanam tumbuhan yang bisa dikonsumsi.
Mencoba merintis dari titik nol hingga
sekarang akhirnya menjadi warga negara biasa, hidup di Argosari dengan rumah sederhana
dari kayu beratap seng, hingga memiliki hewan ternak. Buat Wagiran bangga,
sangat bersyukur.[4]
Kerja Paksa Buat Bantalan Rel Kereta
Masyarakat sipil yang dicap sebagai tahanan
politik Partai Komunis Indonesia (PKI) jumlahnya melimpah. Menurut pelaku
sejarah, Aloysius Pailan, 78 tahun, bahwa jumlah tahanan politik dari sipil
sekitar 200 orang, sisanya dari kalangan militer sekitar puluhan orang. Tahanan
ini ditempatkan di Kamp Konsentrasi Sumber Rejo Balikpapan.
Pailan masih ingat, sekitar awal tahun 1977,
pelaksana khusus militer daerah Kaltim mengeluarkan perintah kepada tahanan
politik Kamp Sumber Rejo untuk melakukan kerja di daerah Amborawang, Kutai
Kartanegara.
“Kami disuruh kerja paksa. Membuat bantalan
untuk rel kereta api yang bahannya terbuat dari kayu belambangan. Hasilnya
tidak dipakai untuk di Kalimantan, mungkin dikirim ke Jawa atau Sumatera,”
ujarnya.
Sebagai tahanan politik tentu saja tidak bisa
membantah perintah, apalagi menghindar. Penjagaan di Kamp Sumber Rejo sangat
ketat. Sekali pun lari, akan sangat mudah terlacak, bakal mudah ketangkap lagi.
Menurut Pailan, kegiatan kerja paksa membuat
bantalan kereta api itu sangat berat. Alat kerja yang disediakan tidak memadai.
Upah pun tidak diberi, hanya makan seadannya saja, nasi hanya sayur.
Di lokasi itu, para tahanan hanya ditempatkan
barak. Fungsi barak ini sebagai tempat teduh, berbaring tidur, dan berlindung
kala turun hujan deras. Selain barak, juga ada bangunan lain yang digunakan
untuk dapur umum. “Yang buat para tahanan,” ujarnya.
Jam kerja yang diberlakukan untuk membuat
bantalan rel kereta api dilakukan setiap hari, tidak mengenal hari libur sabtu
dan minggu atau tanggal merah. Kerja dimulai setelah sarapan pagi hingga tengah
malam. Istirahat hanya dilakukan saat makan siang.
“Malam juga kerja. Waktu itu supaya tidak
gelap gulita dibawakan lampu petromak, jadi alat penerangan. Kami kerjanya
diawasi sama tentara Angkatan Darat,” tutur Pailan, yang pernah bertempat
tinggal di Kota Tarakan bersama ayahnya saat masih usia bocah.
Menjelang tutup tahun, memasuki 22 Desember
tahun 1977, tahanan politik yang terkena cap PKI di Kota Balikpapan akan
mendapat angin segar. Tahanan yang berasal dari elemen sipil maupun militer,
kabarnya akan mendapat pembebasan.
Momen ini direkaman betul dalam ingatak,
pelaku sejarah, Untung Soeyanto (75). “Kepala kamp kasih kabar. Kalian mau
dibebaskan. Senang kami mendengarnya,” katanya.
Tahanan politik yang dibebaskan sekitar 800
orang, yang semuanya berasal dari Kota Balikpapan. Pembebasan ini pun dilakukan
secara seremonial, digelar di lapangan sepak bola, yang kini disebut Lapangan
Merdeka Balikpapan.
Pelaksanaan pembebasan tahanan dipimpin
langsung petinggi militer di Kodam. Saat sebelum dilepas, para tahanan wajib
mengikrarkan dalam kalimat butir-butir yang dikandung dalam Pancasila dan
nyatakan setia kepada negara Republik Indonesia.
“Lapangan penuh orang. Ramai sekali.
Keramaian pasar malam kalah. Keluarga tahanan ada yang hadir, ikut meramaikan
untuk sambut keluarganya yang ditahan,” ujar Untung.
Namun disayangkan, setelah ada pembebasan,
mereka yang berlatar belakang tentara diwajibkan masih tinggal di Kamp Sumber
Rejo, dan harus selalu melakukan apel. Sementara tahanan yang sipil
diperbolehkan pulang ke keluarganya, bahkan rumahnya yang ada di luar Kota
Balikpapan diberikan bekal ongkos.
“Saya masih disuruh apel. Katanya sudah bebas tetapi kenapa
harus tetap tinggal di Kamp Sumber Rejo. Tidak jelas. Saya bukan tentara lagi
kenapa harus seperti tentara. Gaji saja sudah tidak dapat,” tutur Untung.
Diisolasi di Hutan
Berlanjut ke 29 Desember 1977, ada kabar
lagi. Melalui Kapten Umar Maksum Komandan tim pemeriksa daerah tiba di Kamp
Sumber Rejo. Kapten Umar mengumpulkan semua bekas tahanan politik yang
berlatarbelakang tentara.
“Dikasih kabar akan dipindahkan ke tempat
lain. Tidak lagi di Sumber Rejo,” katanya.
Pemindahan itu, katanya, akan didukung secara
maksimal, di antaranya akan diberikan satu rumah, lahan dua hektar, dan
sertifikat tanah. Lokasi yang dipilih ialah Amborawang, Kukar.
Awalnya ditanggapi secara positif oleh para
tahanan, namun setelah tiba di lokasi, ternyata janjinya tidak benar.
Amborawang waktu itu masih berwujud hutan belantara, belum ada rumah, apalagi
tanah landai siap pakai untuk bercocok tanam. “Tidak bisa menolak. Pokoknya
harus ikut. Tidak boleh tidak,” katanya.
Lokasi ini berada sekitar tiga kilometer dari
jalan besar. Saat itu baru ada rumah percontohan sebanyak empat unit yang
fungsinya untuk barak. Tahanan setiap harinya dipekerjakan untuk membuat
pemukiman penduduk, tidak jauh dari tempat barak. “Kami dijadikan perintis,”
tuturnya.
Bayangkan
saja, orientasi yang ditanamkan pejabat militer ke para bekas tahanan politik ditekankanharus bisaberhasil mengubah hutan jadi
pemukiman penduduk. Buat bekas tapol, ini bukan pekerjaan yang mudah seperti
membalikkan telapak tangan.
“Kami hanya diberi modal parang sama kapak
saja. Disuruh membabat hutan tidak memakai kendaraan alat berat. Dikasih uang
makan sebesar Rp 250 per hari untuk per orang,” tutur Untung.
Aktivitas semua yang dilakukan bekas tapol
ini diawasi. Bahkan bila ingin keluar dari kawasan hutan Amborawang, wajib izin
kepada pihak yang diberi tanggungjawab yang saat itu dijabat Mayor Manurung.
“Izin keluar boleh. Izin harus jelas tujuannya. Tapi harus segera kembali lagi,
tidak boleh lama berhari-hari,” ungkapnya.
Selang beberapa bulan kemudian, sekitar
pertengahan tahun 1978, bekas tapol dari militer ini mendapat ‘keluarga baru’.
Kawasan hutan Amborawang ini mendapat kiriman orang-orang bekas tapol PKI
lainnya. Mereka ini berasal dari Kota Balikpapan, Samboja, dan Tana Gerogot.
Awal kedatangan gerombolan ini langsung ditempatkan di barak-barak.
Kedatangan di antara mereka, ada bekas
tahanan yang membawa keluarganya, baik istri, anak, dan orangtua. Namun pihak
militer saat itu hanya memberikan jatah makanan hanya kepada satu orang kepala
keluarga. Mereka yang membawa anak, istri dan orangtua harus membiayai hidup
sendiri. Jatah makan hanya berlaku ke si tahanan saja.
Mulai menggeliat kehidupan pemukiman penduduk
masuk di tahun 1979. Kawasan ini didatangi para pemborong tukang bangunan dan
mendatangkan bahan bangunan untuk membangun rumah yang terbuat dari kayu, model
rumah panggung.
Setelah rumah-rumah rampung dibangun, warga
berhak untuk menghuni. Pembagian rumah dilakukan secara acak, memakai nomor
undian. Ini dilakukan untuk menghindari kecemburuan, upaya untuk menghilangkan
rasa pilih kasih. “Rumahnya bukan karena pilihan sendiri atau ditunjuk orang,”
ungkapnya.
Dan era tahun 1980, sekitar pukul 20.00 Wita,
seluruh warga dikumpulkan. Kegiatan ini tidak lain untuk membentuk pemukiman
penduduk RT. Warga bekas tahanan banyak yang setuju, menerima usulan
pembentukan kampung.
Dan berlanjut 10 Juni 1980, dilakukan
musyawarah desa. Keputusan akhirnya diberi nama Desa Agrosari. Nama ini diambil
dari kata Agro yang bermakna gunung dan Sari berarti inti. Geografisnya yang
berbukit-bukit diharapkan warga bisa hidup sejaherah, mampu memanfaatkan sumber
alamnya sebagai modal kehidupan.
Dimulai dari sini, kemudian tempat ini
berkembang dinamis. Banyak pendatang yang menempati, bukan saja dari orang
bekas tahanan. Agrosari sekarang sudah ramai, menyerupai perkotaan.
Apalagi sekarang statusnya sudah berubah
menjadi kelurahan bukan lagi desa. “Buat saya enak berstatus desa. Kalau
sekarang sudah jadi kelurahan tidak dapat lagi dana desa,” kata Untung, yang
merupakan mantan Sekretaris Desa Agrosari ini.[5]
Koesman dalam Pusaran Gerakan Tahun 65
Peristiwa pecahnya pembunuhan para jendral di
Kota Jakarta di tahun 1965, berdampak meluas hingga ke Kota Balikpapan
Kalimantan Timur. Pembersihan terhadap orang-orang yang dianggap terlibat dalam
Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dikaitkan dalam gerakan pembunuhan para
jendral revolusi, dilakukan secara gencar.
Koesman satu di antara orang yang pernah
mengalami zaman ini, di saat usainya memasuki sekitar umur 40 tahun. Ditemui di
kediamannya di Jalan Panjaitan, Kelurahan Sumber Rejo Kota Balikpapan, Koesman
bercerita masa silam, era yang diistilahkan sebagai Pemberontakan 30 September.
Raut wajah Kosman yang sekarang sudah
keriput, masih ingat peristiwa yang dianggapnya memilukan tersebut. “Sedih
juga. Sesama saudara sendiri sebangsa setanah air kenapa harus terjadi
pembunuhan,” ujarnya pada Rabu 27 September 2017.
Waktu tahun 1965, Koseman belum bertempat
tinggal di Sumber Rejo. Saat era orde lama, Koseman menempati di wilayah Gunung
Empat. “Rumah saya masih di Gunung Empat. Sudah berkeluarga. Punya istri dan
anak,” kata pria bernama lengkap Prajitno Joyodiharjo Koesman.
Selama zaman kemerdekaan perang dunia kedua,
Koseman dikenal sebagai intelejen tentara rakyat Indonesia di perang Sangasanga
Kutai Kartanegara dan berlanjut sebagai sukarelawan yang tergabung di gerakan
konfrontasi dengan Malaysia.
Usai Indonesia berdaulat, merdeka dari
Belanda dan Jepang, Koesman tidak lagi menjadi bagian dari tentara, atau yang
dahulu bernama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Jalan hidup yang dipilih Koesman kala itu
sebagai orang sipil, veteran perang. Dirinya bekerja di perusahaan swasta
perminyakan, yang waktu itu masih bernama BPM dan tergabung dalam serikat buruh
yang berbasiskan organisasi NU.
Dia mengaku, tahun 1965 sebelum ada peristiwa
pembunhan para jendral di Kota Jakarta, Kota Balikpapan banyak diisi
orang-orang yang berafiliasi dengan PKI. Terutama warga masyarakat yang
mendiami daerah di Gunung Empat Kota Balikpapan.
“Di Gunung Empat banyak simpatisan organisasi
yang berada di bawah PKI.Saya ingat ada Pemuda Rakyat, ada Barisan Tani Indonesia
dan Gerwani,” urainya.
Saat itu, pengaruh PKI juga sampai memasuki
ke organisasi serikat pekerja perminyakan yang dikenal Perbom, Persatuan Buruh
Minyak. Dahulu perusahaan minyaknya bernamaBataafsche
Petroleum Maatschappij (BPM).
Aksi unjuk rasa pun waktu itu sangat subur,
tumbuh di beberapa titik area sentral Kota Balikpapan. Paling sering ada di
Balai Kota dan Perusahaan minyak BPM. Mereka yang melakoni demonstasi di jalan,
dilakukan oleh orang-orang organisasi yang dipayungi PKI.
Biasanya, aksi unjuk rasa mereka
dilatarbelakangi oleh kenaikan harga sembilan bahan pokok. Mereka yang ikut
aksi ini kebanyakan dari kalangan pemuda dan juga ada beberapa wanita. “Harga
gula naik saja langsung didemo,” ujarnya.
Selain itu, yang paling sering jadi sasaran
massa demonstrasi ialah perusahaan minyak BPM. Para lakon aksi unjuk rasa ini
semua dilakukan oleh organisasi buruh, Perbom, yang berafiliasi dengan PKI.
“Minyak tanah kurang di pasaran langsung didemo,” katanya.
Menurut Koseman, warna PKI di Kota Balikpapan
saat itu memang semarak, mencolok. Eksistensi PKI di Kota Balikpapan dianggap
luar biasa, pengaruhnya meluas di seantero Balikpapan. “Pemuda rakyat berada dimana-mana.
Besar sekali PKI,” tuturnya.
Tidak hanya itu, Gerwani yang lahir dari
rahim PKI pun pengaruhnya begitu dahsyat. Banyak kaum perempuan di
pelosok-pelosok kampung Balikpapan kepincut, berminat masuk ke Gerwani,
terutama mereka para wanita yang buta aksara dan tidak memiliki pekerjaan.
Gerakan Gerwani yang paling Koesman ingat di
daerah Gunung Empat Balikpapan ialah melalui cara gelaran arisan. Para
perempuan dikumpulkan, diikutkan dalam kegiatan arisan. Setiap pertemuan
arisan, selalu tersedia berbagai macam makanan dan minuman yang lengkap.
Koesman waktu itu pun sempat bingung, setiap
pelaksanaan arisan Gerwani, acaranya berlangsung secara menarik, tersedia
banyak sajian menu kuliner, yang pada saat itu mungkin dianggap spesial,
memiliki daya tarik.
Padahal pada zaman itu, kondisi ekonomi
negara sedang terupuruk, kehidupan warga perkampungan masih sangat susah, sulit
sekali mencari makanan yang enak dan bergizi. Bahkan untuk mencari sembako saja
sampai ada yang harus mengantri.
“Arisan Gerwani sediakan banyak makanan. Saya
tidak tahu siapa yang membiayai. Memang kalau ada arisan Gerwani pasti ada yang
mengirim makanan yang enak-enak,” katanya
Lalu pengaruh lain juga datang dari pentas
seni musik dan drama, yang populernya disebut seni ludruk. Kata Koesman, ludruk
yang terlindungi dalam PKI disebut Ludruk Proletar, yang aksi panggungnya
sangat tenar di tengah kehidupan masyarakat Balikpapan.
Ludruk Proletar ini sering tampil, diundang
di acara-acara pernikahan. Ketika unjuk gigi, kesenian ludruk ini tidak secara
vulgar mengkampenyekan garis perjuangan dan visi misi PKI, tetapi aksi
panggungnya ada pesan yang bermakna ke arah kepentingan PKI.
Seperti halnya, yang Koesman pernah saksikan,
pementasan Ludruk Proletar mensusupi aksi seninya dengan bumbu-bumbu yang
bermuara ke PKI. Ada lakon yang mengatakan kepada penonton para penikmat
ludruk.
“Enaknya kerja apa?Ya jadi petani. Kalau mau
bertani enaknya gabung ke BTI (Barisan Tani Indonesia). Bingung dagangan tidak
laku-laku? Ya gabung saja ke Gerwani. Ada buruh tidak naik pangkat pendapatan
selalu sedikit ? Biar enak gabung ke serikat buruh saja,” kata Koesman yang
mengulangi lagi perkatan-perkataan sang lakon drama di Ludruk Proletar.
Dia menganalisis, pengaruh PKI mengakar di
warga Balikpapan kala itu tidak terlepas juga dari kekuasaan di pemerintah
pusat. Koesman beranggapan, di kabinet waktu itu banyak diisi orang-orang
berhaluan kiri PKI dan Presiden Soekarno pun juga akrab dengan beberapa
pentolan PKI.[6]
Kondisi di Kota Balikpapan pun kala itu juga
sama. Seperti halnya Panglima Kodam saat sebelum terjadinya pembunuhan jendral,
telah ditempati orang militer yang berselera ideologi kiri, sangat dekat dengan
organisasi politik PKI.
Dia bernama Jendral TNI Suhardjo
Padmodiwarjo, atau Suharyo, alias Hario Kecik, pria kelahiran Surabaya.
Tubuhnya yang mungil ini memimpin lembaga kemiliteran wilayah Kalimantan, yang
kala itu sudah bernama Kodam IX Mulawarman pada tahun 1959 hingga 1965.
“Saya ingat Pangdam bernama Suharyo. Orangnya
pro PKI. Melindungi orang-orang yang tergabung dalam organisasi PKI,”
ungkapnya.
Melihat kondisi seperti itu, warga masyarakat
tertarik, ikut bergabung dengan elemen organisasi yang terwadah dalam PKI. Pola
pikir warga saat itu, bergabung dengan organisasi berhaluan PKI, hidupnya akan
terjamin, diangkat derajatnya, bakal terlindungi dari mara bahaya.
“Panglima (Kodam Mulawarman) di Balikpapan
dekat dengan PKI. Beranggapan warga bisa dapat angin. Seakan-akan akan dapat
perlindungan kalau ikut juga gabung di PKI,” ujar Koesman.
Setelah ada kejadian pembunuhan enam jendral
di Jakarta, situasi politik di Kota Balikpapan pun ikut berubah. Setelah ada
kabar pasukan cakrabirawa menculik dan membunuh para jendral di Jakarta, warga
Balikpapan juga telah mengetahui informasinya, tak terkecuali Koesman.
Kabar panasnya politik di Jakarta sampai ke
Balikapapan didapat Koesman dari siaran radio yang ada di perumahan karyawan
perusahaan minyak. Koesman waktu itu menumpang mendengar radio di rumah orang
karena di rumahnya belum terlairi listrik dan tidak memiliki radio. “Satu radio
didengar banyak orang. Yang mendengar banyak sekali, bukan saya sendiri.
Orang-orang sampai mengerubungi radio,” katanya.
Informasi yang terpancar di radio itu
disampaikan secara langsung oleh Kolonel Untung, pemimpin pemberontak 30
September. Koesman ingat, pesan yang disampaikan bahwa peristiwa duka di
Jakarta itu dianggap momen biasa. Kejadian jelang dini hari itu merupakan
perebutan kekuasaan dari orang-orang yang dicap sebagai kapitalis, pro negara
barat.
“Kolonel Untung bilang di radio bagi prajurit
yang ikut berjuang, yang pro PKI dinaikkan pangkat dua tingkat. Yang tidak pro
pada PKI tidak naik pangkat. Seakanpara Jendral itudisamakan dengan Untung yang
masih berpangkat kolonel,” tutur Koesman.
Memasuki tahun 1965, nakhoda Kodam
Mulawarman, Pangdam Suharyo alias Hario Kecik sudah digantikan oleh Pangdam
kelahiran Probolinggo bernama Soemitro, yang jabatan sebelumnya sebagai Ketua
Dewan Perencana Angkatan Darat di tahun 1963.
“Yang saya tahu Pangdam Sumitro itu tidak pro
PKI. Dikenal orang yang dekat sama agamawan. Dalam setiap waktu Pangdam Sumitro
rajin bertemu dengan ulama, pastor, pendeta,” urainya.
Begitu ada kejadian pembunuhan jendral yang
dikatakan didalangi orang-orang PKI dan beberapa tentara militer, keadaan
Balikpapan berganti wujud. Warga di beberapa tempat pasang kuda-kuda, berjaga
diri di tempat tinggalnya masing-masing.
Alasannya, jelas Koesman, untuk menghindari
dari ancaman serangan dari orang-orang yang dekat dengan PKI. Peristiwa di Kota
Jakarta dianggap berbahaya, ditakutkan merembet ke daerah Balikpapan, karena
itu ada warga yang mewaspadai.
“Bekas pejuang, orang yang tidak pro PKI
seperti orang-orang PNI, Masyumi, Pemuda Anshor, pemuda katolik, berjaga-jaga.Takut
kalau juga dapat serangan dari orang-orang pengikut PKI,” katanya.
Apalagi di Gunung Empat tempat tinggal
Koesman, kepala lingkungan dan Ketua RT sebagai gembong organisasi Pemuda
Rakyat, terlibat dalam Perbum dan Barisan Tani, yang ditakutkan orang-orang ini
memobilisasi warga untuk membuat kericuhan.
“Saya ikut Pemuda Anshor. Saya ikut Sarekat
Buruh Minyak dan Tambang di bawah ormas Nadhlatul Ulama. Saya sudah siap kalau
ada apa-apa. Teman-te,an sekitar saya juga sudah siap,”ungkapnya.
Selang kemudian, ada ramai-ramai pembentukan
Kesatuan Komando Anti Komunis. Tujuan dibentuknya kesatuan ini untuk memburu
dan menangkap para pengikuti PKI. Mereka yang tergabung dalam kesatuan ini
adalah orang sipil berusia muda, para tentara dan polisi yang anti PKI.
“Dibentuk kesatuan gara-gara ada kabar,
mereka (PKI) menang di Jakarta, kita disini (Balikpapan) akan dihabisi.
Kemudian kita bersama-sama, bersatu bergerak bersama,” kata Koesman.
Aksi pemberantasan simpatisan dan aktivis PKI
berlangsung di beberapa tempat Kota Balikpapan, terutama yang dianggap sebagai
basis PKI. Seperti di antaranya, kesatuan anti komunis menggeruduk, menguasai
sekretariat organisasi buruh Perbum, yang dikaitkan ke PKI.
“Markas Perbum waktu itu ada di Dahor.
Sekarang ada di lahan bangunan Apartemen Pertamina atau depannya Hotel Blue
Sky. Kami kuasai lalu diserahkan ke tentara,” katanya.
Tempat pengurus ranting-ranting yang
berafiliasi dengan PKI pun juga dieksekusi. Rumah Ketua RT tempat tinggal
Koesman di Gunung Empat pun terdapat papan yang bertuliskanpimpinan pengurus
ranting Pemuda Rakyat dicabut tanpa izin.
“Orangnya (Ketua RT) ditahan. Papan Pemuda
Rakyat yang ada di depan rumahnya dicabut. Rumahnya tidak dibakar. Kasihan, ada
istrinya,” ujarnya.
Tidak hanya warga sipil, nyatanya, pihak
militer yang dianggap ikut ke garis PKI juga ditahan. Seandainya warga sipil
yang menangkap, memperlakukannya tidak terlalu kasar. Berbeda orang militer
yang menangkap, pasti ada saja pemukulan ke tahanan. “Teman saya yang veteran
juga ada yang ketangkap,” ungkapnya.
Selain itu, mereka seniman yang biasa bermain
ludruk pun ditangkap, termasuk alat-alat permainan ludruk juga kena sasaran,
ditahan oleh tentara yang tidak pro PKI. “Ditahan ke markas Polisi Militer,
sampai kemudian juga ada yang ditaruh ke Kamp Sumber Rejo,” katanya.
Pernah suatu waktu, Koesman dituduh ikut
masuk dalam gerombolan PKI. Adanya laporan ini, Koesman ikut dipanggil,
diperiksa secara intensif oleh tentara. Yang melapokan Koesman sebagai antek
PKI adalah Ketua RT tempat tinggalnya.
Saat pemeriksaan tersebut, Koesman
menjelaskan kalau dirinya tidak pernah terlibat dengan organisasi yang
terhubung ke PKI. Namun kalau bertetangga dengan orang Pemuda Rakyat itu benar,
sebab di rumahnya ada papan plang bertuliskan Ketua Ranting Pemuda Rakyat. “Saya
bukan anggota (PKI). Saya bilang kalau dia itu orang Pemuda Rakyat,” tuturnya.
Kesaksian Koesman diperkuat, ketika
peringatan 17 Agsutus di perkampungan Gunung Empat, Koesman dipercaya sebagai
ketua panitia pesta kemerdekaan Indonesia. Hajatan ini tidak hanya dikuti orang
berideologi kiri saja, tetapi juga ada dari organisasi lainnya.
Kebetulan saat sesi pemberian pidato
sambutan, Koesman mempersilakan Ketua RT maju ke panggung untuk memberikan
sambutan, namun ketika itu bukan mengatasnamakan Ketua RT.
Tetapi pada waktu itu sebagai Ketua Ranting
Pemuda Rakyat Gunung Empat. “Saya tidak begitu akrab dengan dia. Usianya lebih
tua dari saya,” ungkapnya. Dan akhirnya, Koesman lolos dari perangkap tudingan
sebagai orang komunis.[7]( )
[1] Koran Tribunkaltim, “Terpisah
dari Istri dan Anak,” terbit pada Senin 2 Oktober 2017 di halaman depan
bersambung ke halaman 11 di rubrik Tribun Line.
[2]Koran Tribunkaltim, “Pailan
Kaget Ditodong Senjata,” terbit pada 2 Oktober 2017 di halaman depan bersambung
ke halaman 11 di rubrik Tribun Line.
[3]Koran Tribunkaltim, “Ditahan
tanpa Sidang,” terbit pada Selasa 3 Oktober 2017 di halaman depan bersambung ke
halaman 11 rubrik Tribun Line.
[4] Koran Tribunkaltim, “Kisah
Tapol yang Diisolasi ke Hutan Belantara: Karir Hilang Cerai dari Istri,” terbit
pada Sabtu 28 Oktober 2017 di halaman 23 pada rubrik Tribun Line.
[5]Koran Tribunkaltim, “Kisah
Tapol Puluhan Tahun Tinggal di Hutan Amborawang: Kerja Paksa Bikin Bantalan Rel
Kereta Api,” terbit pada Rabu 4 Oktober 2017 di halaman depan bersambung ke
halaman 11 di rubrik Tribun Line.
[6]Koran Tribunkaltim, “Rekrut
Relawan Lewat Ludruk dan Arisan,” terbit pada Senin 2 Oktober 2017 di halaman
depan bersambung ke halaman 11 di rubrik Tribun line.
[7]Koran Tribunkaltim, “Saya tak
Pernah Terlibat,” terbit pada Selasa 3 Oktober 2017 di halaman depan bersambung
ke halaman 11 di rubrik Tribun Line.
Komentar
Posting Komentar