MEMBELAI MERIAM MARKONI
Membelai
Meriam Markoni Zaman Jepang
Siang tengah hari
yang bolong, saya berkelana sendiri tanpa tujuan yang jelas menggunakan sepeda motor
matik dari negeri Jepang. Sudah terbiasa menjomblo sejak lahir sampai kini, jalan sendiri itu sudah tradisi. Trek perjalanan bermula dari Kampung Wonorejo
kemudian tiba-tiba mengarah ke kawasan Markoni, Kelurahan Damai, Kecamatan
Balikpapan Selatan, Kota Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur,
AWALNYA
saya hanya iseng-iseng. Saya melihat ada sebuah jalan yang bagi saya asing,
belum pernah dilewati selama saya tinggal di Kota Balikpapan selama enam bulan
ini. Tidak diduga bisa sampai menyasar ke lokasi bekas peninggalan perang zaman
jajahan negeri matahari terbit, berupa senjata meriam.
Saya
sempat temukan informasi sisa perang dunia kedua ini ketika tiba di daerah
Markoni Atas. Ada sebuah papan petunjuk yang menyebut berjarak sekitar 350
meter ke arah atas ada sebuah meriam Jepang Markoni, pada Senin 15
Agustus 2016 siang.
Kontan kesempatan emas ini saya
manfaatkan untuk melacaknya, bersemangat untuk melihat secara langsung dengan
mata dan kepala sendiri. Rasa penasaran muncul, saya langsung bergegas ingin
saksikan langsung meriamnya.
Apalagi
peluang indah ini merupakan pengalaman yang pertama kalinya buat saya, yang
notabene bukanlah kelahiran di Kota Balikpapan. Dan lagipula belum tentu juga
mereka yang lahir dan tinggal lama di kota minyak Balikpapan pernah melihat
secara langsung meriam ini.
Seperti
halnya Ayuk Fitri dan Arijdwana yang merupakan teman saya, kenalan saya di
Kota Balikpapan, ketika ditanya soal keberadaan meriam Jepang Markoni
jawabannya sama sekali tidak tahu, belum pernah mengunjunginya.
Si Ayuk itu, lokasi rumah mantannya saja si sebastian, (sebatas teman tiada kepastian) tidak mengerti, apalagi tempat bersejarah Meriam Markoni.
Sementara si Arijdwana, perjaka yang pernah kuliah di tanah Jawa ini lebih hapal lokasi Manggar Sari, Balikpapan Timur, yang penuh dengan sensasional dan menegangkan.
Si Ayuk itu, lokasi rumah mantannya saja si sebastian, (sebatas teman tiada kepastian) tidak mengerti, apalagi tempat bersejarah Meriam Markoni.
Sementara si Arijdwana, perjaka yang pernah kuliah di tanah Jawa ini lebih hapal lokasi Manggar Sari, Balikpapan Timur, yang penuh dengan sensasional dan menegangkan.
Wajar
memang ada sebagian orang Balikpapan belum tahu akan eksistensi saksi bisu
perang dunia ini. Soalnya, lokasinya berada di tempat terpencil, jauh dari
keramaian pemukiman penduduk.
Meriam tidur nyenyak, tergeletak di atas perbukitan Markoni Atas, yang hanya sedikit dihuni penduduk. Jalur yang ditempuh menanjak seperti menuju puncak. Munculnya Markoni ini diperkirakan terjadi tahun 1942 karena Jepang datang menjajah ke Balikpapan di tahun ini.
Bisa ditebak, keberadaan meriam yang menghadap ke lautan ini dijadikan senjata untuk menghalau sekutu yang merupakan musuh bebuyutan Jepang dalam perang dunia dua dan pasifik. Jadi ingat, meriam ini bukan berfungsi buat nembak gebetan bakal calon pacar.
Meriam tidur nyenyak, tergeletak di atas perbukitan Markoni Atas, yang hanya sedikit dihuni penduduk. Jalur yang ditempuh menanjak seperti menuju puncak. Munculnya Markoni ini diperkirakan terjadi tahun 1942 karena Jepang datang menjajah ke Balikpapan di tahun ini.
Bisa ditebak, keberadaan meriam yang menghadap ke lautan ini dijadikan senjata untuk menghalau sekutu yang merupakan musuh bebuyutan Jepang dalam perang dunia dua dan pasifik. Jadi ingat, meriam ini bukan berfungsi buat nembak gebetan bakal calon pacar.
Mencapai
ke lokasi meriam ini sebenarnya mudah, sebab ada akses jalan yang bisa dilewati
sepeda motor dan kendaraan roda empat. Sekedar imbauan, sebaiknya menyambangi ke
lokasi ini memakai sepeda motor saja.
Karena ruas jalannya sempit, hanya muat untuk satu kendaraan roda empat saja, akan sangat sulit ketika berpapasan dengan kendaraan roda empat lainnya yang dari arah berlawanan.
Karena ruas jalannya sempit, hanya muat untuk satu kendaraan roda empat saja, akan sangat sulit ketika berpapasan dengan kendaraan roda empat lainnya yang dari arah berlawanan.
Sekitar
80 meter dari titik meriam bersemayam, jalanan daratnya tidak beraspal, alias
bertanah cadas. Maklum, saat dekat masuk ke kawasan ini sudah bukan lagi tanah
lapang, pinggir kanan dan kiri jalan merupakan jurang yang cukup berbahaya jika
kita jatuh ke bawah.
Tidak
perlu khawatir, tidak jauh dari meriam, ada lahan yang bisa kita jadikan tempat
parkir sepeda motor. Kendaraan yang kita gunakan tidak bisa mendekat ke meriam
sebab medan yang kita tempuh itu berupa bukit curam yang tidak bisa kita lewati
dengan sepeda motor matik maupun bebek.
Saya
waktu itu berjalan kaki saja, sekalian berolah-raga meski terik matahari kala
itu sedang hebat-hebatnya. Bukit yang didaki sangat mudah, apalagi bukitnya itu
bergelombang yang bisa dimanfaatkan untuk pijakan.
Namun
saat sudah berada di puncak dan tepat berada di lokasi meriam, rasa penasaran
dan lelah saya bisa terbayar. Udara di puncak begitu sejuk, sebab banyak
pohon-pohon rindang masih bertumbuh subur ditambah lagi saya bisa memandang
luas perkotaan Balikpapan dan lautan Selat Sulawesi.
Saya
merasa puas bisa langsung melihat meriam peninggalan Jepang yang kondisinya
sudah usang dan berkarat, tergeletak di tanah rendah yang sekeliling tanahnya
pun rawan longsor.
Tetapi sayangnya, saat saya bisa mendekat dan membelai meriam itu, belum bisa merasakan sensasi nyata, bahwa saya sedang berada di perang zaman fasisme Jepang. ( )
Memang ilo begitu nda ajak-ajak kalau traveller, dasar lu jomblo sukanya jalan senderong hahahaha
BalasHapusOkeeeeh hahahaha
Hapus