KISAH JUANG TRANSMIGRAN SP 5A DESA SALIMBATU
Wati Sering
Kucing-kucingan dengan Monyet Liar
Kehidupan di perantauan lahan transmigasi Satuan Pemukiman (SP) 5A, Desa
Salimbatu, Kecamatan Tanjung Palas Tengah sangat berbeda dengan lingkungan
pemukiman desa, apalagi perkotaan.
PERJUANGAN hidup di SP5A, dalam mempertahankan hidup penuh dengan keterbatasan,
sangat minim fasilitas publik. Pengakuan ini disampaikan, Wati’ah, 50 tahun,
lokasi transmigrasinya masih belantara.
“Saya merasakan masih hidup seperti di tengah-tengah hutan. Binatang
monyet-monyet masih banyak,” katanya saat bersua dengan Tribunkaltim di Tanjung Selor, kantor Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil Kabupaten Bulungan, Jalan Meranti, Kamis 7 Januari 2016 pagi.
Seperti halnya, seringkali Wati melakukan kucing-kucingan dengan monyet.
Kisah hidup ini tidak dialami dia sendiri, tetangganya sesama transmigran pun
merasakan hal yang sama. “Makanan di rumah sampai pertanian kami sering dicuri
sama monyet liar,” tutur perempuan kelahiran Tulungagung ini.
Belum lagi, jalan pemukimannya masih berkondisi tanah, tidak ada
kendaraan bermotor roda dua dan empat. Rumah tetangga, satu dengan yang lainnya
pun masih berjarak jauh, dan tanpa ada kelengkapan fasilitas listrik dan air
bersih.
Watiah bersama Nur Halimah saat mengurus e-KTP di kantor Disdukcapil Tanjung Selor belum lama ini. Kehidupan yang penuh keterbatasan membuat mereka mesti berusaha keras untuk bertahan hidup. |
“Kami kalau butuh air minum masih mengandalkan dari tadah hujan. Kalau
untuk mandi dan mencuci pakaian memakai air sungai yang warna airnya tidak
jernih, agak kekuning-kuningan,” ujar Wati.
Menurutnya, kehidupan ‘keras’ sebagai seorang transmigran sudah dia
ketahui sebelum tiba pada tahun 2013, di SP 5A. “Harus banyak bersabar. Mungkin
di tahun-tahun mendatang daerah ini akan semakin ramai, menjadi desa,”
harapnya.
Kisah yang lainnya, transmigran dari Jawa Timur, yakni Nur Halimah 31
tahun, mencurahkan jejak hidupnya di SP 5A, jika membuat kartu tanda penduduk
saja, dirinya mesti pergi ke perkotaan Tanjung Selor dengan daya tempuh
berpuluh jam.
“Harus berjalan kaki sampai puluhan menit. Kemudian seberangi sungai lalu
lanjut lagi ke kantor dinas. Butuh biaya dan waktu yang banyak,” katanya.
Namun itu diakui sebagai bagian awal dari perjuangan hidupnya, melangkah
menuju kesuksesan. “Saya bersyukur bisa ikut transmigrasi dapat lahan dan
rumah,” ujar transmigran dari Trenggalek ini.[1]
( )
[1]
Koran Tribunkaltim, “Kisah Perjuangan
Hidup Transmigran SP 5A: Wati Sering Kucing-kucingan dengan Monyet Liar,”
terbit pada Kamis 14 Januari 2016, di halaman 24, rubrik Tribunetam.
Komentar
Posting Komentar