TRAINING FOR JOURNALIST
Kala itu Belajar Lagi
SUATU ketika, saya yang sedang menyimak
pidato seorang pejabat Pemprov Kalimantan Utara (Kaltara) dalam sebuah acara peresmian
pembentukan Forum Anak Daerah Kaltara di sebuah hotel terbesar di Tanjung Selor
pada Jumat 12 Juni 2015 pagi, tiba-tiba ‘senjata’ saya berupa handphone berdering kencang.
Saya lihat di layar telepon, ternyata
yang menelpon adalah Bang Domu Ambarita Pemimpin Redaksi Tribunkaltim. Saya pun keluar sejenak dari ruang acara tersebut
untuk mengangkat telepon. Dan kemudian Bang Domu mengabarkan, saya diutus untuk
mengikuti pelatihan jurnalistik mengenai Migas di Kota Bogor.
Wah, seru juga nih. Fakta yang ada,
sebenarnya saya tidak sangat menguasai persolan tata kelola migas di Indonesia.
Apalagi mengikuti perkembangan soal Rancangan Undang-undang Migas yang ramai
dibahas di gedung Senayan Kota Jakarta.
Paling isu tentang pengelolaan minyak
bumi Blok Mahakam di Kalimantan Timur saya cukup mengikuti perkembangannya.
Hanya sedikit tahu, yang kabarnya masih seputaran dalam perdebatan pembagian
jatah pengelolaan antara Pertamina, Pemerintah Daerah, dan pihak swasta.
Senang juga, bisa berkesempatan mencari
ilmu, mendapat teman-teman baru dan berjalan-jalan ke kota hujan tersebut.
Apalagi semua biaya pelatihan tersebut difasilitasi secara gratis, dimulai dari
uang perjalanan, tempat penginapan, hingga makan minum sehari-harinya.
Tajuk sekolah tersebut ialah “Training for Improved Journalist Reporting
on the Governance of Indonesia’s Oil and Gas Sectors” persembahan dari
lembaga sosial masyarakat Natural Resource Governance Institute selama tiga
hari.
Nah, sebelum dipercaya mengikuti
pelatihan itu, saya juga membuat pernyataan atau semacam permohonan agar bisa
mengikuti dalam pelatihan tersebut. Isi pengajuannya memang tidak terlalu
jelas, masih global, belum terlalu menguasai lapangan Migas.
Tetapi setidaknya ada ‘keinginan keras’
saya ingin mengikuti pelatihan tersebut. Alhamdulillah, akhirnya harapan saya
kesampaian juga, saya yang ikut di seminar itu. “Oke Bud. Kamu yang pergi ke
Jakarta ya,” kata Pemred, menutup pembicaraannya melalui telepon seluler yang
nada suaranya masih serak-serak basah.
Ngebet ‘memeluk’ Ilmu Tata Kelola Migas
PENGUMUMAN mengenai pelatihan
Peningkatan Peliputan Tata Kelola Sektor Migas di Indonesia beberapa hari yang
lalu di grup What’s up Tribunkaltim, pada
Kamis 11 Juni 2015, memacu semangat saya untuk terlibat dalam kegiatan belajar
jurnalisme Tata Kelola Migas di Kota Bogor.
Yang melatarbelakangi dorongan saya
mengikuti pelatihan tersebut karena tugas jurnalistik saya berada di kawasan
Kabupaten Bulungan Provinsi Kalimantan Utara, yang notabene Daerah Otonomi Baru ini memiliki potensi kekayaan Migas.
Baru-baru ini, tepatnya pada Rabu 10
Juni 2015, kawasan Desa Metun Sajau
Kecamatan Tanjung Palas Timur Kabupaten Bulungan Kalimantan Utara telah ada
kegiatan pengeboran migas Sumur Eksplorasi Mahatma.
Pelaksanaan itu digawangi langsung oleh
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK
Migas) dengan menggandeng pihak swasta bernama PT Baradinamika Cita Lestari
(BCL).
Selain itu, berdasarkan temuan dari
Kementrian Sumber Daya Energi dan Mineral Republik Indonesia, bahwa di daratan
dan lepas pantai Provinsi Kaltara terdapat Blok Bengara II.
Blok itu dikategorikan sebagai blok
migas prospektif yang serupa dengan Blok Anugerah lepas pantai Jawa Timur, Blok
East Bontang Kalimantan Timur, Blok Palmerha Baru di daratan Sumatera Selatan
dan Jambi, Blok Sakti di lepas pantai Jawa Tengah dan Jawa Timur serta Blok
North East Madura VI di lepas pantai Jawa Timur.
Belum lagi perdebatan-perdebatan yang
telah muncul di permukaan terkait draf amandemen Undang-undang Nomor 22 Tahun
2011 mengenai Migas. Satu di antaranya polemik pengelolaan wilayah kerja Migas
apakah sepenuhnya 100 persen dikelola perusahaan plat merah atau apa perlu juga
melibatkan pihak perusahaan asing dan swasta nasional.
Karena itulah, penting kiranya bagi saya
untuk menguasai lebih mendalam soal ilmu pengetahuan Tata Kelola Migas. Ibarat
pepatah, Sambil Berlayar Sambil Menampan,
artinya sambil bekerja tetaplah berusaha untuk belajar menambah ilmu
pengetahuan.
Yang pernah saya baca di beberapa
bait-bait kalimat Kode Etik Jurnalistik, menyimpulkan, seorang jurnalis itu
mesti jeli. Jurnalis mesti pandai menempatkan segala persoalan pada kepentingan
publik.
Dan lagi, analoginya, seorang jurnalis
itu ibarat mata, telinga, dan indera bagi para pembacanya (pemirsa) yang
dituntut dalam pengemasan karya jurnalistiknya harus memenuhi unsur akurat,
berimbang, dan bebas dari bias.
Untuk mewujudkan hal itu semua, tentu
saja seorang jurnalis harus memiliki ‘modal alutsista’. Satu di antaranya ialah
menyimpan bekal ilmu pengetahuan. “Apa yang akan dijadikan objek liputannya.”
Sungguh, saya ngebet sekali untuk ‘memeluk’ ilmu Tata Kelola Migas. Saya
berkeinginan sekali memiliki penguasaan tentang Tata Kelola Migas, supaya bisa
membantu saya ketika berada di lapangan dan saat mengemas produk jurnalistik
Tata Kelola Migas.
Nah,
sebagai pertanggungjawaban, seandainya saya dipercaya dan diutus oleh Pimpinan
Redaksi mengikuti pelatihan tersebut, saya tidak akan lupa mengemas pemberitaan
seremonial ‘sekolah’ tersebut ke dapur redaksi Tribun Kaltim, utamanya hal-hal yang terkait info terbaru dunia
Migas Indonesia. Kurang lebihnya, saya ucapkan banyak terima kasih kepada
seluruh awak redaksi Tribun Kaltim.
Semoga berkenan, peace and love :D
SEBANYAK 14 pekerja pers, satu di
antaranya adalah Tribunkaltim mengikuti
pelatihan jurnalisme tata kelola minyak dan gas (Migas) di Hotel Golden Flower
Savero Jalan Pajajaran Kota Bogor, pada Senin 15 Juni 2015).
Kegiatan klinik jurnalisme tata kelola
migas itu diselenggarakan oleh Natural Resource Governance Institute selama
tiga hari, menghadirkan berbagai nara sumber yang profesional di bidangnya dan
digelar pada pukul 09.30 Wib.
Sebagai pembuka pelatihan, semua peserta
dibentuk dalam tiga kelompok untuk melakukan pemetaan liputan yang terkait isu
Rancangan Undang-undang Migas. Dan hasil dari masing-masing kelompok itu
kemudian dipresentasikan ke semua peserta dan kemudian dikaji oleh beberapa
mentor.
Usai itu, topik dilanjutkan ke soal
pengemasan produk jurnalistik yang diisi oleh Jurnalis Lingkungan bernama Harry
Surjadi. Pria yang mantan wartawan Kompas ini menyampaikan soal pedoman-pedoman
bagi jurnalis sebelum turun ke lapangan melakukan liputan.
Dia menjelaskan, seorang wartawan
sebelum membuat karya jurnalistik harus memiliki tujuan yang jelas dan
keyakinan yang mendalam, serta perencanaan yang matang secara masuk akal,
logis, benar, dan memberi nilai baik. “Kita harus bisa berpikir, dimana posisi
kita sebagai seorang wartawan,” tutur Harry.
Menurutnya, semua orang bisa menulis
namun yang menjadi pembeda bagi seorang jurnalis atau wartawan ialah dalam
tulisannya harus mampu mengangkat emosi dan imajinasi dalam laporan
jurnalistiknya.
“Kita perlu terampil dalam bercerita
dengan fakta-fakta yang nyata, bukan fiksi. Kita perlu mencari, menyelidik,
menemukan informasi-informasi baru,” tegas Harry.
Contohnya soal tata kelola migas, Harry
menjelaskan, isi peliputan setidaknya memiliki kandungan informed participation, atau adanya partisipasi masyarakat dalam
pengambilan keputusan soal migas.
“Kita fokuskan bagaimana caranya supaya
pembaca atau pemirsa mau berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan.
Emosi-emosi akan bisa kita temukan,” tuturnya.
Kemudian pembicara lainnya datang dari
Extractive Industries Transparancy Initiative (EITI) yang diisi oleh Mohamad
Tri Wicaksono, Sekertariat EITI Indonesia Kementerian Koordinator bidang
Perekonomian.
Tema yang diangkat lebih kepada
eksistensi EITI di Republik Indonesia. Lembaga ini berada di bawah pemerintahan
yang menyediakan data-data tentang kegiatan semua pertambangan yang bisa
menjadi acuan bagi seorang jurnalis.
“Indonesia negara pertama di Asia
Tenggara yang punya kelembagaan EITI, diikuti negara Philipina dan Myanmar,”
tutur Tri.
Negara menjamin transparansi penerimaan
migas dan sumber daya mineral. Tentu saja dengan adanya ini publik bisa
mengetahui berapa uang yang diperoleh dari kegiatan pertambangan migas dan
sumber daya mineral.
Melalui EITI, sebuah perusahaan
pertambangan dituntut untuk mempublikasikan apa dan berapa yang mereka bayar,
dan diikuti oleh pemerintah untuk mempublikasikan apa dan berapa yang mereka
terima.
Diharapkan, tambah dia, masyarakat bisa
berdiskusi untuk memastikan bagaimana uang hasil pertambangan dikelola dan
dibelanjakan dengan baik sehingga tercipta iklim investasi yang bagus.
“Kita bisa mencegah tindakan korupsi.
Kita peoleh data akurat dan masyarakat bisa melakukan analisis dan debat publik
yang membangun,” ungkap Tri yang kala itu mengenakan kemeja batik merah.
Sedangkan untuk dua pembicara lainnya
yakni Emanuel Bria dari Natural Resource Governance Institute dan Maryati
Abdullah dari Publish What You Pay Indonesia lebih menjelaskan kepada topik
pengorganisasian industri migas secara umum.
Acara pada hari pertama tersebut
berlangsung hingga pukul 19.00 Wib, dan pada hari keduanya berjumpa lagi dengan
tajuk berbeda mengenai kajian informasi dasar industri migas yang diisi dari
SKK Migas, Lingkar Studi CSR, dan ekonom.
MENGAWALI pagi, puluhan pekerja pers
yang ikut terlibat dalam kegiatan pelatihan Jurnalisme Tata Kelola Migas
Indonesia memperoleh wejangan dari Natural Resource Governance Institute (NRGI),
pada Selasa 16 Juni 2015, di ruang Tulip Hotel Golden Flower Savero Jalan
Pajajaran Kota Bogor.
Saat itu, sebagai pembicaranya ialah
Jelson Garcia yang menjabat sebagai Direktur Asia Pasifik NGRI. Pria yang
lulusan antropologi dari Macquarie University dan Universitas Filipina ini
berbagi pengalaman mengenai negara-negara yang kaya sumber daya alamnya namun
kehidupannya masih dalam ‘penjara’ kemiskinan.
Dia menganalisa, negara-negara yang
dimaksud itu terjadi pada banyak negara di kawasan Asia, Amerika Latin dan
Afrika.
Satu di antara penyebabnya masih adanya terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia dan kurang baiknya implementasi penegakan hukum yang berkeadilan.
Satu di antara penyebabnya masih adanya terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia dan kurang baiknya implementasi penegakan hukum yang berkeadilan.
“Kami (NRGI) akan ikut berusaha
memperbaiki tata kelola migas. Fokus pada ekonomi, lingkungan dan sumber daya
manusia,” kata Jelson.
Menurutnya, perbaikan tata kelola migas
atau proses reformasi kebijakan migas dan minerba perlu melibatkan elemen media
massa yang memiliki fungsi kontrol dan punya kekuatan dalam penyebaran
informasi ke khalayak publik. “Media tahu mana yang fakta dan mana yang masuk
akal,” tutur Jelson.
Karena itu, dia menegaskan, pelaksanaan
pelatihan jurnalisme tata kelola migas bukanlah sekedar edukasi semata namun
lebih kepada memunculkan perdebatan nyata dalam perubahan industri migas. “Kita
akan melihat apa saja yang didiskusikan terkiat Undang-undang Migas yang akan
mempengaruhi hulu dan hilirnya nanti,” ujarnya.
Kemudian untuk melihat kondisi Migas
yang terjadi di Indonesia, dihadirkan pembicara berikutnya, Rinto Pudyantoro
sebagai Kepala Dinas Perpajakan dan Pungutan dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana
Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
Kala itu, ia mengungkapkan, negara
Indonesia bukan sebagai negara yang kaya akan minyak buminya. Pandangan selama
ini bahwa Indonesia negeri kaya sumber daya alam minyak tidaklah benar.
“Ada data mengenai cadangan minyak, dari
33 semua negara di dunia, untuk Indonesia masuk urutan ke 27. Bandingkan juga
dengan negara tetangga seperti Malaysia, minyak kita sedikit. Kita tidak kaya,”
ungkap Rinto.
Dia menganalogikan, Indonesia itu harus
seperti pria yang berwajah jelek namun punya nilai lebih. Dalam fakta
kehidupan, Rinto pernah menemukan kisah seorang pria yang tidak genteng.
Masa lalu pria tersebut, saat berusia
remaja, tidak memiliki riwayat digandrungi para wanita. Namun menginjak usia
dewasa pria ini mengalami perubahan karakter dan prestasi yang gemilang.
Ketika dewasa, banyak wanita yang suka.
Alasannya para wanita suka dengan pria itu bukan dari wajahnya tapi dari rasa
tanggungjawabnya yang besar, baik hati dan bersikap jujur.
“Indonesia walau miskin minyak tapi
harus punya daya tarik. Supaya dapat ‘wanita cantik’. Makanya sekarang satu
cara upaya pemerintah dengan mengajak banyak para investor untuk datang ke
Indonesia,” tuturnya.
Selebihnya, Rinto yang juga dosen di
Universitas Atmajaya Yogyakarta ini membahas mengenai seluk beluk SKK Migas
yang sifatnya lebih kepada kerja-kerja operasional lapangan.
Dia bercerita banyak tentang sektor
migas yang telah dilakoninya selama 20 tahun lebih. Termasuk di antaranya
pengalaman bertugas di Kabupaten Bulungan sebagai pengawas distribusi minyak
dari sumber kilang ke kapal pengangkut.
“Melihat dari dini hari sampai jelang
siang tanpa berhenti. Pengawasan tidak boleh lengah. Di Migas itu, perpindahan
dari satu tempat ke tempat lain diawasi ketat dengan detail,” ungkap Rinto.
Kemudian menginjak waktu siang, pasca
jam 12.00 Wib, acara pelatihan tersebut kedatangan narasumber dari anggota
Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia bernama Satya Widya
Yudha.
Pria yang memiliki keahlian bidang
geopolitik dan ekonomi energi ini membeberkan hal-hal yang terkait dengan
rancangan revisi Undang-undang Migas di gedung Senayan, termasuk satu di
antaranya soal hak kuasa pertambangan. “Apakah mau ditaruh di menteri, apa
dibentuk lembaga tersendiri, atau diberikan ke Pertamina saja,” kata Satya.
Dia bercerita pada masa silam, era
presiden Soeharto berkuasa, yang saat itu menteri energinya ialah Ibnu Sutowo.
Waktu Ibnu menjabat sebagai menteri, hak kuasa pertambangan ada di departemen
atau yang sekarang istilahnya kementrian.
“Ibnu lalu dipindah untuk memegang
jabatan di Pertamina. Dari sinilah sejarah kebijakan hak kuasa pertambangan
kemudian ada di Pertamina. Karena Ibnu pindah dari menteri ke Pertamina,
membawa hak kuasanya ke Pertamina,” ungkapnya.
Namun yang terpenting lagi, membicarakan soal kedaulatan energi bangsa Indonesia maka kuncinya ada di kontrak perjanjian yang mengacu pada nafas Undang-undang Dasar 1945 pasal 33. “Tipe kontrak yang dilakukan nanti akan mengukur kita akan berdaulat atau tidak,” kata Satya.
Namun yang terpenting lagi, membicarakan soal kedaulatan energi bangsa Indonesia maka kuncinya ada di kontrak perjanjian yang mengacu pada nafas Undang-undang Dasar 1945 pasal 33. “Tipe kontrak yang dilakukan nanti akan mengukur kita akan berdaulat atau tidak,” kata Satya.
Acara diskusi tersebut belangsung hingga
hampir dua jam. Dan sebagai akhir penutup acara pelatihan tersebut, Harry
Surjadi seorang pelatih jurnalistik senior mengambil alih acara untuk
memberikan kesempatan kepada seluruh peserta pelatihan untuk mengungkapkan
perencanaan peliputan jurnalistik. ( )
(y) :D
BalasHapus