TA PEK KONG TANJUNG SELOR | KABUPATEN BULUNGAN | KALIMANTAN UTARA
Orang
Tio Ciu
Pendiri Ta Pek Kong Tanjung Selor
Siang itu, terlihat dari kejauhan pelataran
bagian depan klenteng Ta Pek Kong diselimuti asap-asap putih, Rabu 18 Februari
2015. Atmosfir kali ini sangat berbeda, lebih ramai dari hari biasanya, tampak
beberapa orang berdatangan ke kelenteng ini.
Waktu saya mencoba menghampiri lebih dekat, sumber
asapnya ternyata datang dari bakaran batang-batang dupa. Maklum saja, ini
sedang bertepatan penyambutan malam tahun baru Imlek ke 2566.
Klenteng yang beralamat di Jalan Jendral Sudirman,
Kelurahan Tanjung Selor Hulu, Kabupaten Bulungan ini sedang digelar ibadah
Imlek bagi masyarakat Tionghoa Tanjung Selor, Kalimantan Utara.
Setiap setahun sekali, klenteng ini digelar ritual tahun
baru Imlek. Ini sudah berlangsung sekitar tahun 1890, sesuai dengan berdirinya
klenteng ini yang menghadap ke arah Sungai Kayan.
Saat ditemui, Satya Bahari, Ketua Lembaga Pelestarian
Tradisi Tionghoa Tanjung Selor menjelaskan, klenteng Ta Pe Kong awalnya berdiri
di daerah Kelurahan Tanjung Selor Hilir, dekat komplek pekuburan Tiongkok
Tanjung Selor sekitar abad 18. “Pindah cari tempat yang agak luas lahannya.
Pindah ke dekat Sungai Kayan,” ungkapnya.
Diberi nama Ta Pe Kong, karena saat itu, orang tionghoa yang mendirikan klenteng ini berasal dari suku Tio Ciu, sebuah golongan masyarakat Tionghoa yang besar di kawasan Tanjung Selor.
“Nama klenteng yang sekarang diambil dari kalimat Tua Pek
Kong. Tapi orang-orang Tio Ciu sering sebut Ta Pe Kong, jadinya, sekarang
sering sebut klenteng Ta Pe Kong,” urai Abay, panggilan akrab Satya Bahari.
Penamaan Ta Pe Kong sendiri memiliki makna tempatnya nenek
moyang yang memberikan penghidupan alam semesta. “Bentuk klenteng yang sekarang
hasil dari renovasi total di bulan Oktober tahun 2007. Dahulu bangunannya masih
dari kayu-kayu, bukan dari beton,” ungkap Abay.
Di dalam klenteng ini terdapat Dewa Penjaga yang disebut Ta
Pay Hu, yang dinobatkan dewa dari segala dewa. Selain itu, ada Dewa Fu Te Cen
Sen, yang dikenal sebagai sosok dewa yang bijak, sang penolong yang mampu
memberi keselamatan.
Sebagai asesorisnya, klenteng pun dilengkapi dengan
berberapa pernak-pernik, di antaranya ada Hio Lou yang berfungsi sebagai wadah
bakaran dupa. Hio Lou dianggap sebagai media untuk berdoa kepada Sang Pencipta.
Sebelum masuk ke ruang penyembahan dewa, biasanya langkah awalnya beribadah di depan Hio Lou, sambil membakar dupa. Kata Abay, prosesi ini identik dengan sembahyang.
“Mereka yang melakukan sembahan di Hio Lou akan mendapat
penerangan. Harapan doanya, dalam menjejaki kehidupan selalu terang, tidak
gelap,” ujar pria kelahiran Tanjung Selor ini.
Sama halnya, lilin klenteng yang tingginya berukuran
sekitar tiga meter juga dianggap sebagai sarana penerangan kehidupan.
Keberadaan lilin-lilin di klenteng sangat wajib.
Di klenteng Ta Pe Kong, setiap di samping dewa-dewa ada
dua pasang. Biasanya orang tionghoa Tanjung Selor sebut lilin dengan nama La
Chu. “Harganya per buahnya sekitar Rp 3 juta. Didatangkan dari Surabaya,” kata
Abay.
Dia yang mewakili warga Tionghoa Tanjung Selor sangat berharap, di tahun baru Imlek 2566 sebagai tahun Kambing, warga masyarakat Tionghoa bisa hidup lebih bahagia, dijauhi dari segala mara bahaya, hidup sukes dan diberi kedamaian. ( )
Dia yang mewakili warga Tionghoa Tanjung Selor sangat berharap, di tahun baru Imlek 2566 sebagai tahun Kambing, warga masyarakat Tionghoa bisa hidup lebih bahagia, dijauhi dari segala mara bahaya, hidup sukes dan diberi kedamaian. ( )
Komentar
Posting Komentar