TANJIDOR NASIB MU KINI
Main Tanji Angat-angat Tahi Ayam
MUSIK Betawi berupa Tanji atau yang sering disebut
Tanjidor, punya sejarah panjang. Keberadaan jenis musik ini muncul sebelum
adanya negara Republik Indonesia.
Musik Tanji tumbuh dan berkembang di daerah Betawi,
atau Jayakarta, atau juga Batavia dimana negara Belanda berkuasa membentuk pemerintahan
kolonial Hindia Belanda.
Sementara sosial kultur di Betawi kala itu hidup dengan
beragam etnis. Ada etnis Arab, Tionghoa, Eropa, dan Jawa. Kesemuanya terjadi
satu kesatuan, hidup dan beranak-pinak di tanah Betawi.
Dan sampai sekarang ini, Kota Jakarta juga ditempati
warga masyarakat yang heterogen, orang-orang dari Sabang sampai Merauke dan
juga warga negara asing ada yang bertempat-tinggal di Kota Jakarta.
Di dalam diskusi bertema Tanjidor di Bentara Budaya, Kamis 20 Maret 2014, terkuak bahwa kata
Tanjidor bukan berasal dari bahasa Betawi asli.
Kata Rachmat Ruchiyat, seorang Peneliti Kebudayaan
Betawi, mengatakan, Tanji sendiri, ada yang bilang berasal dari kata Tanjer,
Tanjedores.
“Diambil dari bahasa Portugis. Memang bahasa kita, ada
yang mengadopsi dari bangsa yang lain,” ujar pria berkaca mata ini.
Musik tanji mulai muncul di pertengahan abad 18. Di
jaman dahulu kala, musik Tanji ini dimainkan oleh para warga masyarakat
berstatus sosial rendah.
“Saya tidak mau menyebut mereka budak. Tapi mereka itu
orang-orang kecil yang punya bakat di musik,” katanya.
Biasanya, tambah Ruchiyat, pagelaran musik Tanji ini
disponsori oleh para tuan tanah. Dukungan dari tuan tanah sangat mempengaruhi
eksistensi seni Tanji. “Penikmat musiknya adalah mereka yang kaya-kaya, dari
bangsawan,” tuturnya.
Berdasarkan catatan sejarah Kebudayaan Betawi, kala
itu jika ada tuan tanah yang memiliki budak yang mampu bermain seni musik
Tanji, maka budak ini akan menjadi kebanggaan bagi tuannya.
Sebab kalau ada budak yang bisa main musik Tanji, dan
saat dijual belikan ke pasaran budak, maka budak tersebut punya daya tawar
tinggi.
Tak heran, kata Ruchiyat, ada tuan tanah tertentu yang
mau rela mendatangkan pelatih musik Tanji dari negeri Eropa. Tujuannya, agar
pelatih tersebut bisa melatih musik Tanji di Betawi.
“Pelatihnya bukan pelatih berkualitas. Pelatihnya
diambil dari orang biasa, yang punya kemampun main musik Tanji,” ungkapnya,
yang saat itu menggunakan kemeja putih.
Ditambahkan, JJ Rizal, Sejarawan Budaya Betawi,
membenarkan, bila di masa silam para pemain Tanji itu dilakukan warga yang
disebut budak, walau pada dasarnya para budak tersebut awalnya tak dapat
bermain musik. “Dulu yang menentukan harga budak tinggi adalah yang
bisa memasak dan bermain musik,” tegasnya.
Dahulu ada juragan yang terkenal, yang punya grup
musik Tanji. Orang ini bernama Mayor Yance dari daerah Citerep. Grup naungan
Mayor Yance terbentuk sampai empat grup.
“Mereka para budak yang sudah jago main musik Tanji
biasanya diberi pembebasan dari perbudakan,” ungkap Rizal.
Nah, ketika Indonesia sudah merdeka dari penjajahan
negara asing, perkembangan musik Tanji terancam tenggelam sebab Gubernur DKI
Jakarta kala itu, Sudiro, menganggap Tanji sebagai musik tak berguna.
Waktu itu orang-orang pribumi ngamen musik Tanji, yang telah terjadi hampir merata di wilayah
Jakarta, tetapi ditanggapi sinis oleh
Sudiro.
Padahal lewat cara ngamen, tegas Rizal, akan
melestarikan jenis musik ini dari jaman ke jaman. “Sayang Gubernur Sudiro
berpikir pendek,” keluhnya.
Namun kala Jakarta di pimpin Gubernur Ali Sadikin, ungkap
Rizal, musik Tanji telah mendapat hati di Bang Ali, sapaan akrab Ali Sadikin
kala itu.
“Pemerintah daerah mau memfasilitasi penelitian musik
Tanji, tapi sayangnya bukti hasil penelitiannya di tahun belakangan ini telah hilang
begitu saja,” katanya.
Entahlah bagaimana nasib musik Tanji ke depan, mengingat
dunia telah mengarah ke globalisasi, gempuran-gempuran budaya dari berbagai
negara bertubi-tubi, mudah masuk mempengaruhi.
Bila tidak ada niat untuk melestarikan atau
mempopulerkan musik Tanji, maka diperkirakan, golongan musik ini akan bernasib
seperti Dinosaurus, musnah dan tinggal cerita-cerita di museum.
Satu di antara pemain Tanji yang masih eksis adalah
Tanjidor Tiga Sodara yang kini pendirinya masih tersisa satu orang, bernama
Said Neleng.
Ditemui di Bentara Budaya Jakarta, Said mengungkapkan,
anak-anak muda sekarang sudah tak lagi banyak yang berminat main musik Tanji.
Sudah kalah dengan alat-alat musik modern yang menggunakan elektronik.
“Jaman dulu kalau main sampai setiap hari. Sekarang
kalau tampil paling hanya tiga minggu sekali. Ini kalau ada yang nanggep (pesan) kami,” kata Said.
Orang jaman dahulu sempat punya prinsip, tidak akan
merasa bosan jika mikul (membawa)
Tanji. Berbeda untuk jaman sekarang, apalagi anak-anak mudanya untuk berlatih
musik Tanji, susah untuk menyukainya.
“Bingung juga kenapa penyebabnya. Orang sekarang kalau
disuruh latihan musik Tanji cuma
anget-anget tahi ayam (hanya setengah-setengah),” ujar Said. ( )
Komentar
Posting Komentar