TIDAK KULIAH MAMPU CIPTAKAN MESIN PARUT SAGU
Tidak Kuliah Mampu Ciptakan Mesin Parut Sagu
Belum
lama ini, saya pernah berkunjung ke pameran Teknologi Tepat Guna di Kota
Balikpapan, pada Rabu 20 Juli 2016 siang. Momen ini mempertemukan saya dengan
seorang pria lajang, yang berpenampilan biasa, tidak bergaya pakaian bak
selebriti yang tampil glamor mengkilap.
ORANG
yang dimaksud ialah Jumardin, yang lahir di Desa Pasir Belongkang. Di balik
penampilannya yang sederhana hanya mengenakan kemeja batik corak khas
Kalimantan dengan kulit tubuh yang gelap, orang ini tidak terlihat sebagai
orang penting layaknya pejabat daerah.
Padahal,
Jumardin ini adalah seorang inovator teknologi tepat guna di desanya. Berkat
kerja cerdasnya, warga desa terbantu oleh mesin hasil ciptaannya yang diberi
nama Padaidi, yang artinya Sama Saya, dengan maksud alat itu diciptakan oleh
Jumaridn. Alat yang dibuatnya adalah mesin parut dan penyaring sagu.
Langkah
terbosan yang dilakukan Jumardin tentu saja bagian dari kabar baik bagi
masyarakat perdesaan Pasir Belengkong yang kental kehidupan pertaniannya, yang
banyak ditumbuhi pohon sagu. "Di desa, saya masih punya kebun sagu satu
setengah hektar," tutur pria yang masih lajang ini.
Dia
menciptakan alat mesin itu sekitar dua tahun lalu, yang hanya memakan waktu
sebulan saja. Melahirkan mesin parut dan penyaring sagu itu bukan diambil dari
bahan-bahan baru, namun berasal dari barang rongsokan besi tua, yang dibelinya
dari penampung barang bekas.
Termasuk
mesinnya, bukan barang baru keluaran pabrik. "Cari ke penjual barang
bekas. Saya menemukannya, dapat satu mesin bekas lalu saya beli. Kalau
beli mesin yang baru jatuhnya mahal sekali. Yang penting buat saya mesin masih
bisa berfungsi saya pakai saja," tutur Jumardin
Alasan
membuat mesin itu disebabkan lingkungannya yang kental dengan dunia pertanian
dan banyak hasil bumi berupa sagu. Suatu ketika, dia pernah merenung, berpikir
sadar, jika dirinya dan para tetangganya ketika panen sagu selalu bekerja hingga
berhari-hari. "Tebang pohon lalu memarutnya butuh waktu lama. Bisa sampai
dua hari bisa jadi sagu," ungkapnya.
Melihat
kondisi yang dianggap tidak enak itu, Jumardin kemudian menemukan ide, membuat
mesin supaya bisa meringkas pekerjaan mengolah sagu.
"Pakai mesin ciptaan saya hanya butuh satu jam saja untuk mengolah dari pohon menjadi sagu. Kalau tidak ada mesinnya, satu pohon itu bisa butuh dua hari baru selesai," tutur pria yang sedikit bicara ini.
"Pakai mesin ciptaan saya hanya butuh satu jam saja untuk mengolah dari pohon menjadi sagu. Kalau tidak ada mesinnya, satu pohon itu bisa butuh dua hari baru selesai," tutur pria yang sedikit bicara ini.
Sekarang
ini, alat kreasinya itu berguna bagi dirinya juga para tetangganya di sekeliling desanya. Mesinnya
disewaskan kepada tetangganya.
Mesin dioperasikan oleh tetangganya, dijadikan alat komersil mesin parut bagi petani-petani desanya dan sekitarnya dengan tarif yang murah meriah.
Mesin dioperasikan oleh tetangganya, dijadikan alat komersil mesin parut bagi petani-petani desanya dan sekitarnya dengan tarif yang murah meriah.
Juamardin
menegaskan, tarif sewa pemakaian mesinnya tidak dipatok harga. Bagi dia, bila
ada petani yang mau memberikan imbalan dipersilakan, tidak ditentukan dengan
harga-harga tertentu, yang penting itu memberi secara ikhlas.
"Dikasih berapa saja saya terima. Mesin yang saya buat itu tujuannya hanya untuk memudahkan pekerjaan saya mengolah sagu. Kalau ada yang pinjam boleh saja, silakan," katanya yang juga mengatakan, mesin ciptaannya itu menggunakan tenaga disel.
"Dikasih berapa saja saya terima. Mesin yang saya buat itu tujuannya hanya untuk memudahkan pekerjaan saya mengolah sagu. Kalau ada yang pinjam boleh saja, silakan," katanya yang juga mengatakan, mesin ciptaannya itu menggunakan tenaga disel.
Niat
dan aksi nyata yang dilakukan Jumardin merupakan inovasi daerah yang
patut diapresiasi. Meski dirinya bukan seorang sarjana, tetapi bisa memberi
kemanfaatan bagi dirinya sendiri dan orang lain. Mesin rakitannya yang
memanfaatkan barang-barang limbah, dianggap berhasil memberi berkah lingkungan
tempat tinggalnya.
Perlu
diketahui, Jumardin itu mendalami ilmu pengetahuanya dari praktek dan
pengalaman, bukan digali dari mengenyam pendidikan di perguruan tinggi.
Dirinya hanya lulusan sekolah dasar saja. Jumardin belajar teknik mesin itu dari ayah kandungnya yang sudah almarhum sekitar 10 tahun yang lalu.
Dirinya hanya lulusan sekolah dasar saja. Jumardin belajar teknik mesin itu dari ayah kandungnya yang sudah almarhum sekitar 10 tahun yang lalu.
Sewaktu
remaja, Jumardin sering diajak ayahnya untuk ikut bekerja dengan ayahnya. Saat
itu ayahnya Jumardin bekerja sebagai tukang service mesin panggilan. Setiap
turun ke lapangan, Jumardin sering diajak ayahnya. Apalagi dirinya juga suka
dengan hal yang terkait mengutak-atik mesin.
Sampai
sekarang, Jumardin meneruskan jejak ayahnya, sebagai tukang service mesin
panggilan. Bagi saya, mengetahui cerita kehidupan Jumardin itu memberi banyak nilai positif
yang patut kita teladani. Mental kreasi seperti Jumardin itu mampu memberi
inspirasi dan kebaikan untuk Indonesia. ( )
Komentar
Posting Komentar