ilo
ilo
AWAL
Juli 2016, lahirlah ilo, turut menghiasi kehidupan dunia yang penuh
warna-warni. ilo ini bukan nama dari seorang bayi yang baru keluar dari rahim
perempuan, terlahir sebagai insan kamil di muka bumi.
Dan
ilo ini juga bukan singkatan dari International Labour Organization yang
menjadi payung perlindungan bagi pekerja di seluruh dunia yang berbendera
Perserikatan Bangsa Bangsa.
Ada
beberapa orang yang mendengar kata "ilo" sebagai hal yang imut lucu,
tak menyeramkan. ilo seolah dianggap sebagai sosok mahluk yang aduhai
dan menggemaskan, idola bagi semua wanita dan anak‑anak.
Syukurlah
bila memang ada yang menilai seperti itu. Padahal, ilo sebenarnya sebuah nama
inisial saya dalam tulisan jurnalistik
di koran cetak harian tribunkaltim. Tidak menyangka bukan, ternyata ilo itu
adalah saya yang bertampang garang, rambut keriting gondrong, dan bibir kering.
Sungguh jauh dari anggapan imut menggemaskan.
Sejarahnya,
ilo itu diambil dari tiga huruf nama belakang saya, Susilo. Di dunia nyata,
saya lebih sering disapa Budi ketimbang ilo, atau susilo. Tetapi sepertinya
lebih enak menyebut ilo, karena namanya tidak terlalu pasaran, mudah diucapkan
dan tak sukar dihafal.
Coba
pikir saja, yang memakai nama sebutan Budi, jumlahnya sudah tidak bisa dihitung
dengan jari, apalagi saat awal masuk belajar di sekolah dasar, banyak yang
sebut‑sebut "Ini Budi. Ini Ibu Budi. Ini Bapak Budi." Suara seisi
ruang kelas, terdengar sahutan "Budi."
Sebenarnya,
ada alasan kenapa memakai "ilo" dalam kode inisial produk tulisan
jurnalistik saya. Di tempat kerja saya sebelumnya, pada koran harian
Tribunmanado Sulawesi Utara memakai inisial "bdi" yang merupakan
kepanjangan dari budi.
Lagi
pula, inisial bdi juga sudah terlalu banyak yang memakai dalam inisial seorang
wartawan, termasuk di antaranya jurnalis Tribunews Jakarta rubrik Sport ada
yang memakai inisial bdi. Saya belum kenal orang ini, seperti apa
wujudnya.
Selain
itu, yang saya tahu ada Pak Budiono Darsono sang pendiri berita online detik.com yang juga memakai inisial bdi, bahkan sematan inisial bdi ini, kabar yang beredar
sempat menjadi sapaan akrabnya bapak berkaca-mata ini. Saya tahu hal ini meski belum
pernah bertemu langsung dengan Pak Budiono, hanya mengetahui melalui media sosial Facebook saja.
Saya
mengetahui sekilas sosok Pak Budiono ketika situs detik.com telah dirangkul oleh Trans Crop sekitar tahun 2011. Maklum,
saya bukan anak yang terlahir dari rahim refromasi, belum melek akan
hingar-bingar dunia jurnalistik di era ini.
Waktu bergulirnya reformasi 1998, saya masih duduk dibangku Sekolah Menengah Pertama Negeri, saat itu masih disebut Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 153 Jakarta Selatan. Situs berita online teratas di Indonesia itu dilahirkan menjelang lengsernya rezim Presiden Soeharto, atau setelah diberedel versi majalah cetaknya oleh penguasa saat itu.
Waktu bergulirnya reformasi 1998, saya masih duduk dibangku Sekolah Menengah Pertama Negeri, saat itu masih disebut Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 153 Jakarta Selatan. Situs berita online teratas di Indonesia itu dilahirkan menjelang lengsernya rezim Presiden Soeharto, atau setelah diberedel versi majalah cetaknya oleh penguasa saat itu.
Tetapi
saat itu saya memakai inisial bdi bukan karena penggemar berat Pak Budiono.
Sama sekali tidak. Saya waktu itu belum tahu sosok Pak Budiono. Nah, karena sekarang saya
sudah kenal beliau, jadi saya menjadi penggemarnya juga, sebab Pak Budiono merupakan
pencetus awal, yang mempopulerkan tren situs berita jurnalistik dalam jaringan
atau online.
Waktu
itu saya menggunakan inisial bdi karena terpikir singkatan bdi ini yang saya
anggap ideal dari sebutan nama Budi. Kalau membaca inisial bdi serasa tidak
jauh berbeda dengan menyebut kata budi. Orang kalau sebut bdi, pasti bisa
menangkap itu adalah singkatan dari kata budi.
Nah,
sekarang di mediamassa Tribunkaltim, koran harian di Provinsi Kalimantan Timur, saya
mengambil nama inisial berbeda, memakai selera pilihan sendiri. Tentu saja ini
diawali dengan proses matang, mencari resensi
kesana-kemari demi mendapat isi kandungan arti dari ilo.
Dan
ternyata, bila orang Afrika yang mengartikan arti kata ilo itu adalah
"fajar". Sebagaimana perannya di alam semesta, fajar merupakan
penerang bagi bumi yang memberi kehidupan manusia, tumbuhan dan hewan. Sebagai
harapan, kerja-kerja jurnalistik saya seperti fajar yang mampu memberikan
pencerahan dan menyuburkan kehidupan yang menyehatkan.
Kemudian
bila dari bahasa sansekerta, ilo bermakna "tatap, pandang, lihat."
Ini seperti pekerjaan saya sebagai jurnalis yang sehari‑harinya dalam bekerja
mesti mengandalkan pandangan pada suatu objek, melihat fakta di lapangan yang
sesungguhnya, memandang langsung dengan panca indera yang dimiliki.
Lalu
bila dalam makna bahasa suku Sunda, ilo itu berarti "membaca dalam
hati." Makna ini tepat menjadi prinsip kerja seorang jurnalis. Saat di
lapangan mengobservasi sebuah objek, jurnalis wajib melihat gejala‑gejala yang
muncul dengan hati atau qolbu, bukan akal semata, apalagi didasarkan pada nafsu
duniawi.
Seperti
apa yang digambarkan oleh Jakob Oetama dengan melihat sosok tokoh pers Rosihan
Anwar, dalam buku H Rosihan Anwar: Wartawan Dengan Aneka Citra, yang
menilai "wartawan sejati, bukanlah man of power melainkan man of
conscience and of culture. Lebih cenderung kepada suara hati dan kebudayaan
(kemanusiaan) daripada kekuasaan."
Harapan
terbesar saya, memakai inisial ilo dalam karya jurnalistik di tribunkaltim,
supaya bisa dan mampu, terus berkonsisten dalam menjalankan nilai‑nilai luhur
yang dimiliki dari sebuah kata "ilo", yang mengandung arti
pencerahan, fakta, dan qolbu. Doakan saya ya sayang. Amin ya
robalalamin. ( )
oh jadi ilo sebelumnya pernah di tribun manado hmmmmmm.
BalasHapusIya, Spirit Baru Kawanua Sulawesi Utara :D
BalasHapus