HIDUP INI LEZAT
Hidup
Ini Lezat
Kehidupan itu sebuah cerita keberlanjutan untuk
menyambung nyawa dan mencari bekal di akherat nanti. Kisah inilah yang
membuat para pedagang itu terpecut semangat, bekerja berjualan sampai paruh
waktu, bahkan ada yang bekerja seharian penuh.
Segenggam harapan ingin sejahterah, hidup
berbahagia bersama keluarga ialah impian para pedagang kecil menengah. Dimulai
dari tukang penjual kue, pedagang makanan di emperan jalan, sampai pengecer
bahan makanan lauk pauk di pasar basah.
Siang itu, Jumat 10 Juni 2016 sore, saya bersua
dengan Leo, seorang pedagang daging sapi Sulawesi di Pasar Klandasan, Jalan
Jendral Sudirman, Kota Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur.
Dia menjual daging sapi segar, yang kadang
ketar-ketir karena belakangan ini, tiga hari puasa Ramadhan, Leo mengalami sepi
pembeli. Harga jualannya sudah meroket tinggi, mencapai Rp 120 ribu per
kilogram.
Dirinya enggan menjual sesuai harga yang
diminta Presiden Jokowi, sebesar Rp 80 ribu per kilogram. “Kalau mau pemerintah
jual daging ke saya di bawah harga Rp 80 ribu. Barulah nanti saya berani jual
daging di harga Rp 80 ribu. Saya berjualan tidak mau rugi,” ungkapnya.
Entahlah sudah seperti hukum alam, setiap
puasa ramadhan dan mendekati hari raya Idul Fitri semua kebutuhan pangan naik.
Puasa yang semestinya mengurangi konsumsi pangan, yang terjadi sebaliknya,
harga-harga sembako terkerek naik seakan sedang terjadi konsumsi besar-besaran.
Langkah beberapa pemerintah daerah yang
mengeluarkan aturan pelarangan kegiatan perdagangan makanan pun tidak cukup
ampuh mengerem laju gerak harga pangan di pasaran.
Tidak menjamin juga warung-warung ditutup
akan mengurangi konsumsi, lalu menurunkan harga-harga sembako di pasaran. Yang
terjadi malah muncul kebisingan sosial.
Sebab para pedagang itu juga manusia yang ingin
mencari nafkah buat bekal kehidupan dan orang-orang yang sedang tidak berpuasa
seperti di antaranya para ibu hamil, kuli bangunan, dan wanita haid, juga butuh
jajanan makanan minuman karena tidak ingin waktunya tersita dengan aktivitas
memasak.
Aneh bin ajaib. Seakan sulit memecahkan
teka-teki pasar seperti ini. Inikah yang dinamakan liberalisasi perdagangan.
Apakah ini yang disebut dengan ramuan Adam Smith. Namun kita kan punya
pemerintah, ada kementrian perdagangan Republik Indonesia, selama ini apa yang
mereka perbuat ya.
Pernah Bank Indonesia wilayah Kota Balikpapan
mengungkapkan, pasokan komoditas yang ada di Kota Balikpapan paling banyak
didatangkan berasal dari luar daerah. Wajar kemudian harganya begitu melangit.
Seperti halnya cabe masih bergantung pada
daerah Palu Sulawesi Tengah. Melihat kondisi masih seperti ini kemudian
dikeluarkan jurus, yakni setiap sekolah-sekolah menengah di Kota Balikpapan
dianjurkan memiliki kebun-kebun cabe. Gerakan ini dilakukan sekitar tahun 2015.
Sebagai penyemangat ke lembaga sekolah,
program menanam cabe di lahan mini itu diperlombakan, dan bahkan sampai menjadi
tolak ukur dalam penilaian piala penghargaan sekolah beramah lingkungan.
Fakta di lapangan, belum lama ini, Jumat 10
Juni 2016, saya pergi ke Pasar basah Pandansari Kota Balikpapan, mengaku dari
sejumlah pedagang, harga cabe rawit sampai yang keriting terus naik tajam.
Kemungkinan seminggu sebelum lebaran harga cabe pun akan naik lagi.
Sekarang yang terpenting itu, diserahkan
kembali kepada diri masing-masing. Konsumsi berlebihan akan membuat celaka.
Jika harga sebuah barang sedang melambung tinggi, masih banyak pilihan barang
yang tidak kalah baik dan enak.
Daging bisa diganti dengan singkong. Ayam
potong juga sama asyiknya dengan lauk pauk ubi rebus. Dan cabe bisa dialihkan
ke cabe tanaman sendiri, tetapi kalau lagi gagal panen ada baiknya kita puasa makan
yang pedas-pedas.
Ada solusi, ganti saja dengan hitamnya kecap yang
tidak kalah sedapnya karena memiliki rasa gurih-gurih manis. Hidup ini lezat,
yang susah itu pikiran kita saja yang terlalu banyak keinginan, mau ini, dan
mau itu. Selamat menikmati. ( )
Komentar
Posting Komentar