TAK SAYA SANGKA
Tak Saya Sangka
Siapa sangka, rumah
ibadah seperti masjid, atau mushollah yang dianggap bersih dari tindakan
kriminalitas, belumlah benar. Tempat ibadah yang semestinya suci, masih saja
disemuti oleh ‘setan-setan’ yang menodai marwah rumah Allah.
SEPERTI yang
pernah saya alami, belum lama ini, pada Rabu, 16 September 2015 malam. Barang
bawaan yang saya taruh di dalam Mushollah Asobirin telah lenyap entah kemana.
Dugaannya, barang saya digondol ‘tikus rakus’, alias maling spesialis rumah
ibadah.
Lokasi Mushollah
Asobirin berada di Jalan Rambutan, Kecamatan Tanjung Selor, Kabupaten Bulungan,
Provinsi Kalimantan Utara. Mushollah yang berdinding cat hijau ini memang
berada di tempat keramaian, di pinggir jalan besar.
Cerita
bermula, saat itu, saya mencari sinyal internet Wifi Id di kantor Telkom
Tanjung Selor, Jalan Agatis, pada sore hari. Sempat lama saya nongkrong di kantor perusahaan plat
merah ini, hampir ada satu jam lebih.
Ketika jelang
waktu maghrib, jaringan internet di tempat ini mulai tidak bersahabat, alias
gaib. Akhirnya saya memutuskan pindah lokasi, mencari warung internet (Warnet)
yang berada di bilangan Jalan Rambutan.
Dan di Warnet
inilah saya menemukan kebahagiaan sentosa, sebab saya bisa berkelana di dunia
maya, mengirim data-data informasi melalui email. Meski jaringan internet di
Warnet ini lamban, setidaknya patut disyukuri saja, daripada tidak ada sama
sekali sinyal.
Setelah puas
berselancar ria di dunia maya itu, saya tumben-tumbenan pergi ke mushollah
untuk tunaikan ibadah sholat isya berjamaah. Biasanya tidak ada nafsu
melaksanakan sholat lima waktu, selalu bolong-bolong.
Tetapi pada
hari itu, saya menyempatkan diri pergi isya berjamaah, memilih ibadah di
Mushollah Ashobirin, yang lokasinya tidak jauh dari warnet tersebut, masih
berada di sepanjang Jalan Rambutan, jaraknya mungkin sekitar 100 meter.
Seingat saya,
sekitar jam tujuh malam lebih, tiba di Musollah Ashobirin. Terlihat dari luar
mushollah, sholat isya sudah digelar, sudah hampir rampung. Sepeda motor saya
parkir di pekarangan parkir mushollah. Masuk ke dalam mushollah, prosesi ibadah
para jamaah sudah terlihat masuk di fase tahiyat
akhir.
Pikiran tidak
berpikir panjang, apalagi ada perasaan curiga akan kehilangan barang, tas
gendong yang saya bawa ditaruh di dalam musollah, tidak jauh dari pintu. Kala
menaruh tas, saya melihat di dalam mushollah tidak ada orang yang duduk
bersantai, berlari-lari, apalagi berbaring badan. Semuanya terlihat melakukan
gerakan sholat.
Kemudian saya
pergi tinggalkan tas menuju ke ruang wuhdu, untuk bersuci diri. Lokasi whudu
ada di luar mushollah. Untuk ukuran tempat ibadah, letaknya lumayan jauh,
sekitar selemparan batu.
Alasan
menaruh tas di mushollah karena tubuh saya merasa lelah. Saya ingin di tubuh
saya tidak ada beban barang bawaan. Sehingga ketika menunaikan ritual whudu,
saya serasa ringan badan, plong tanpa
menguras tenaga.
Perasaan
bebas muncul. Waktu berwhudu, tanda-tanda akan mendapat malapetaka tidak ada.
Saya begitu asyik menikmati segarnya air mushollah. Seakan air mushollah mampu
membasuh keluh, rasanya seperti berbuka puasa, terasa lega hilang dahaga.
Sekujur
tangan dan kaki yang lengket karena keringat, tak lagi menempel, lenyap dari
permukaan kulit. Raut wajah yang kotor diselimuti debu karena ngelayap seharian, seketika berubah,
serasa bersih dan nyaman.
Hampir lima
menit, saya tuntaskan ritual whudu. Saya kembali lagi ke bangunan mushollah.
Dari kejauhan, saya melihat sebagian kecil para jamaah sudah bubar, keluar
mushollah, telah selesai melaksanaan sholat isya.
Begitu kaki
kanan menginjak lantai mushollah dan badan masuk ke dalam mushollah, saya
langsung terkejut. Kedua bola mata saya, tidak bisa lagi melihat tas yang saya
taruh di lantai mushollah. Saya pun bertanya-tanya kepada jamaah yang masih
tersisa di dalam mushollah. “Lihat tas yang saya taruh disini,” tanya saya.
Apes, usaha
pencarian saya tak membuahkan hasil. Sudah bertanya ke beberapa jamaah,
jawabannya tetap nihil. Di antara jamaah yang masih ada di mushollah tidak ada
yang mengetahui dan melihat orang yang membawa tas gendong hitam saya.
Mental saya
langsung jatuh. Saya akhirnya menunda sholat isya. Saya sibuk mencari tas. Tak
ku sangka, tas milik saya hilang di rumah Allah Yang Maha Esa. Semua jamaah
yang tersisa pun terkejut, menganggap baru kali ini ada kejadian kehilangan
barang di mushollah.
Tidak
kehabisan akal, saya pun cepat keluar mushollah, berkeliling jalanan
menggunakan sepeda motor. Berusaha sekuat daya, mencari sendiri dengan harapan
bisa menemukan orang yang membawa tas saya.
Dari ujung ke
ujung sampai di himpitan jalan, usaha saya masih sia-sia. “Kenapa tas saya bisa
hilang. Siapa yang membawa tasnya?.” Inilah pertanyaan-pertanyaan yang selalu
mengisi pikiran saya selama pencarian tas.
(sketsa by budisusilo) |
Bagi saya
kehilangan tas itu ibarat kehilangan nyawa. Sebab di dalam tas yang bermerek
Duter itu berisi barang-barang primer, yang menyangkut hajat hidup saya. Tanpa
barang-barang ini seakan saya kehilangan separuh nyawa.
Barang-barang
yang dimaksud, di antaranya ada satu netbook merah merek HP bersama alat batre
charger, sebuah gadget Samsung Galaxy Grand2, kamera digital DSLR 3200 merek
Nikon serta sebuah dompet yang berisi uang Rp 300 ribu, kartu identitas
penduduk dan kartu ATM Mandiri.
Semua barang
itu saya peroleh dari hasil kerja ‘banting tulang’ siang malam di perusahaan
pers. Memperoleh semua itu bermodal daya dan upaya, keluar keringat hingga
sampai menahan lapar.
Sekalinya
hilang, tentu saja sangat nyesek.
Susah mendapatkan, begitu mudah menghilangkannya. Inilah kalimat yang begitu
berat, yang saya alami. Semalam suntuk, diri saya tidak tenang.
Hati saya
belum mengikhlaskan atas ‘kepergiaan’ harta benda saya. Sungguh teganya, yang
mengambilnya. My Anggun, Aprilia Eka Putri yang selalu menguatkan mental saya,
untuk bisa mengikhlaskannya. “Suatu saat akan ada penggantinya. Kita tidak akan
tahu rahasia Allah. Sabar saja.”
Entah kenapa,
mungkin kejadian itu ada pelajarannya. Bahwa orang berbuat kriminal karena ada
kesempatan atau peluang. Karena itulah, sebaiknya tutup ruang peluang orang
untuk berbuat pencurian. Andaikan saya menutup peluang, mungkin tidak menjadi
korban pencurian.
Selain itu,
ada hikmah juga, bahwa setiap hamba Allah harus sabar dalam mengarungi
kehidupan dunia. Ini bertepatan sekali dengan nama mushollahnya, Asobirin, yang
bermakna sabar. Anggaplah ini sebagai teguran Allah kepada saya, untuk bersabar
ketika mendapat ujian bencana.
Seperti
disinggung dalam Al Quran surah Ali Imran
ayat 200, “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian dan kuatkanlah
kesabaran kalian dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negeri kalian) dan
bertakwalah kepada Allah supaya kalian beruntung.”
Juga di dalam
surah Al Baqarah ayat 155, yang
bunyinya, “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah
berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”
Roda itu
selalu berputar, kadang naik, juga bisa turun. Semua ujian selalu menghampiri
umat manusia, tidak memandang dari suku, status sosial, dan gelar
pendidikannya. Kata pemuka agama, bencana dan momen kebahagiaan merupakaan
cobaan dari Allah.
Jika tidak
kuat dan tak mampu memunculkan rasa sabar saat menghadapi ujian, tentu saja
kita akan celaka di dunia dan akhirat kelak. Yang terpenting, katanya, kita
mesti tetap konsisten dalam beriman dan bertakwa kepada Allah SWT. Amin ya
robal alamain. ( )
Komentar
Posting Komentar