DESA PIMPING | BULUNGAN | KALIMANTAN UTARA 3
Menjalani Hidup Tenguyun
MASYARAKAT Desa Pimping, Kecamatan Tanjung Palas Utara,
Kabupaten Bulungan Provinsi Kalimantan Utara dihuni puluhan suku. Warganya
hidup bercampur baur. Akan tetapi, aneka ragamnya suku ini tidak membuat
kemunduran desa, sebaliknya, gabungan suku-suku yang berbeda itu menjadi
kekuatan untuk menuju desa yang maju.
Itulah mengapa kemudian terbentuk sarana publik Rumah
Adat Pimping, yang sudah dibangun sejak tahun 1993. Hingga kini, setelah
renovasi tahap dua, tahun 2015, rumah adat ini telah diresmikan oleh Bupati
Bulungan Budiman Arifin pada Sabtu, 29 Agustus 2015.
Dikesempatan memberikan pidato peresmian rumah adat,
Budiman mengatakan, sejak dirinya memimpin Bulungan selama 10 tahun, Desa
Pimping dikenal wilayah yang aman dan damai. Karena itu, dia pun mengharapkan,
kesetabilan sosial Desa Pimping tetap dipertahankan.
“Kita punya prinsip hidup Tenguyun. Yang artinya hidup bersama,
hidup dalam suasana kekeluargaan. Segala persoalan desa diselesaikan secara
musyawarah, dipecahkan lewat cara gotong-royong,” ujarnya.
Tampilan seni budaya khas Desa Pimping Kabupaten Bulungan Provinsi Kalimantan Utara (photo by budi susilo) |
Kehidupan di perkampungan Desa Pimping Kabupaten Bulungan Provinsi Kalimantan Utara (photo by budi susilo) |
Bupati menjelaskan, sarana rumah adat Pimping difungsikan
sebagai tempat pertemuan warga dan pengembangan seni budaya masyarakat desa.
Seni budaya leluhur jangan ditinggalkan, wajib dilestarikan demi kejayaan warga
dan menjadi ciri khas unik desa.
Pembangunan rumah adat itu terbuat dari kayu ulin,
memiliki panjang bangunan 40 meter dan lebar 20 meter, yang telah menelan dana
mencapai ratusan juta, yang diambil dari dana hibah Pemkab Bulungan sebesar Rp
875 juta. Dan sisanya, selebihnya juga datang dari dana swadaya
masyarakat.
Sejarahnya, ungkap Sudylawai (64), rumah adat memiliki
delapan tiang penyangga kayu ulin yang sudah terukir aneka-ragam khas dayak.
Daya tahun kayu ulin akan sampai bertahun-tahun.
“Menonjolkan ukiran dayak, yang telah berkembang di
masyarakat kami. Seperti ada dekorasi warna-warni biru, kuning, merah, dan
putih. Ada ukiran naga, beruang dan burung enggang,” urai pria yang
mengarsiteki bangunan ini.
Di masyarakat dayak,
warna-warni itu memiliki makna. Kata Ajang Lajang (56), Kepala Adat Desa
Pimping, merah melambangkan semangat hidup, berani menantang rintangan. Warna kuning
artinya selalu bergembira, bersyukur pada Tuhan sementara warna biru adalah
kehidupan yang sejuk dan putih itu tulus. ( )
Komentar
Posting Komentar