MENYENTUH MUSEUM NASIONAL
Mengiringi
Perjalanan Bangsa Indonesia
MENGISI waktu liburan di hari minggu, asiknya
berkunjung ke museum nasional. Selain murah meriah dan nyaman, ke museum
nasional juga akan peroleh ilmu pengetahuan yang luas.
Inilah kesan yang saya rasakan ketika berkunjung ke
musem nasional pada Minggu (23/2/2014) pagi. Nama lain museum ini orang sering
menyebutnya dengan museum gajah, karena persis di depan museum terdapat patung
gajah berukuran mini[1].
Keberadaan museum nasional terbilang sangat mudah
diakses. Lokasinya berada di pusat kota Jakarta Pusat. Tempatnya berdekatan
dengan taman tugu monumen nasional (Monas).
Wajah halaman depan Museum Nasional (sketsa by budi susilo) |
Juga sangat berdekatan dengan gedung RRI dan tidak
jauh juga dari gedung Mahkamah Konstitusi dan Istana Negara. Karena museum
nasional berada di alamat Jalan Medan Merdeka Barat nomor 12.
Saat itu, waktu saya berkunjung, museum terbilang
ramai. Banyak di antara mereka yang datang sebagian besar adalah anak-anak
muda. Dari kalangan pelajar, mahasiswa, dan komunitas hobi.
Tampak dari luar, museum terlihat hanya berlantai
dasar. Kesan yang terpancar museum kala itu hanya memiliki ruangan yang sempit.
Namun perkiraan ini tidak benar. Setelah dicoba masuk ke dalam ruangan,
ternyata ruangan museum begitu luas.
Masuk ke dalam museum, ada lantai sampai bertingkat
empat. Pasalnya, museum ini mengkoleksi hingga 141 ribu benda-benda benilai
sejarah peninggalan jaman prasejarah, arkeologi, numismatik, heraldik dan
keramik, etnografi, sejarah, dan geografi.
Kunjungan semakin bermakna saat pihak museum
mengkombinasikan dengan iringan nada lagu-lagu orkestra yang bernunsa
kebangsaan Indonesia. Nada lagu yang tanpa diringi lirik vokal ini, seakan
membangkitkan rasa cinta pada bumi pertiwi.
Bagi saya, rasanya belum cukup satu hari berkunjung ke
museum nasional. Tempatnya yang memiliki luas 26.500 meter persegi ini rupanya
harus butuh berhari-hari untuk melihat dan mempelajari barang-barang koleksi
museum.
Siapa sangka, yang dulu tempat ini hanya sekedar dari
sebuah himpunan seni dan ilmu pengetahaun kini sudah beralih sebagai museum
nasional. Mengutip dari brosur Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia yang diberi judul Museum
Nasional, nama awalnya bukanlah museum nasional.
Awalnya museum nasional diawali dari suatu pembentukan
himpunan yang bernama Bataviaasch
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Dan punya prinsip Ten Nutte van het Algemeen atau Untuk
Kepentingan Masyarakat Umum.
Himpunan itu berdiri pada 24 April 1778 yang digawangi
langsung pemerintah Belanda. Di masa itu orang-orang Eropa sedang berproses
revolusi intelektual atau The Age of
Enlightenment, mengembangkan pemikiran-pemikiran ilmiah dan ilmu
pengetahuan.
Setiap komunitas, lembaga, atau organisasi pasti ada
inisiator. Siapakah dia, yang mendirikan himpunan tersebut. Tak lain adalah JCM
Radermacher, terpanggil untuk mendirikan lembaga ini dengan konkritnya
menyumbangkan rumah miliknya di Jalan Kalibesar.
Rumah tersebut saat itu berada di titik strategis.
Bagi kalangan pebisnis, tempat ini seharusnya cocok untuk tempat berekonomi
tapi tidak bagi Radermacher ia punya pola pikir yang berbeda.
Rumahnya yang berada di kawasan perdagangan
Jakarta-Kota dijadikan sumur oase ilmu
pengetahuan di tengah-tengah masyarakat urban. Selain rumah, ia juga menyumbang
koleksi benda budaya dan buku miliknya. Dimulai dari sinilah, kemudian lahir
embrio sebuah museum dan perpustakaan.
Nasib tempat itu kemudian berubah ketika Letnan Gubernur
Sir Stamford Raffles dipercaya menjadi Direktur Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.
Pria yang memimpin pemerintahan Inggris di Jawa ini
menilai, koleksi-koleksi sudah sangat banyak, tidak akan muat ditampung di
rumah itu jika nantinya ada penambahan barang sejarah.
Jalan keluarnya, Raffles mengeluarkan kebijakan untuk
membangun gedung baru yang bisa berfungsi sebagai museum dan ruang pertemuan
literasi, yang berkaitan dengan pendidikan, sejarah, dan kebudayaan.
Kala itu, gedung ini diberi nama Societeit de
Harmonie. Untuk jaman sekarang, bekasnya bisa dilihat di Jalan Majapahit,
persis berdekatan dengan Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat.
Namun belakangan, jumlah koleksi juga terus meningkat
dan gedung Societeit de Harmonie pun semakin sesak, dipenuhi barang-barang
koleksi bersejarah.
Akhirnya, tepat tahun 1862, di era pemerintahan Hindia
Belanda dilakukan pemindahan tempat.
Pemerintahan ini membangun gedung museum baru yang diberi nama
Koningsplein West.
Di tempat inilah yang kemudian pada jaman sekarang
disebut dengan lokasi musem nasional yang beralamat di Jalan Merdeka Barat
nomor 12 Jakarta Pusat.
Perlu diketahui juga, ketika beranjak ke tahun 1923,
perkumpulan Bataviaasch Genootschap van
Kunsten en Wetenschappen menyabet gelar
koninklijk.
Maksud dari gelar ini adalah karena jasa-jasanya yang
besar dalam memajukan ilmu pengetahuan di bidang ilmiah dan proyek pemerintah.
Walhasil atas gelar itu, namanya pun ditambah lagi
satu kata, sehingga menjadi Koninklijk
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en
Wetenschappen.
Berlanjut ke era setelahnya, situasi kondisi
perpolitikan di kawasan Asia berubah. Jepang sempat berhasil masuk ke
Indonesia, Belanda pun terusir dari Indonesia.
Dan tak berlangsung lama, sejarah berubah lagi. Jepang
kalah dalam perang asia pasifik.
Akibatnya, hanya tiga setengah tahun Jepang berada di Indonesia.
Momentum inilah yang kemudian pada 17 Agustus 1945,
Indonesia mendeklarasikan diri sebagai negara yang merdeka berdaulat secara de jure dan de facto.
Usai mendeklarasikan diri, Belanda pun berupaya
kembali untuk menjajah Indonesia. Terjadilah proses agresi-agresi militer
Belanda terhadap Indonesia. Tapi kondisi ini tidak mempengaruhi eksistensi
museum, tetap terjaga, walaupun terjadi peperangan tak ada pemusahaan
benda-benda di museum.
Singkat cerita takdir berkata, Indonesia memang layak
untuk menjadi negara yang mandiri. Belanda pun pergi dari nusantara, tak lagi
mencengkram kedaulatan Indonesia.
Saat yang tepat juga, pada 26 Januari 1950 perhimpunan
Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen diubah namanya agar tidak berbau Belanda.
Nama yang dipilih adalah Lembaga Kebudayaan Indonesia.
Dan memiliki prinsip teguh yang sekaligus sebagai semboyan lembaga, yakni
Memajukan Ilmu-ilmu Kebudayaan. Tujuannya agar bisa memberikan manfaat dan
meningkatkan pengetahuan mengenai kepulauan Indonesia dan negeri-negeri di
sekelilingnya.
Berlanjut pada 17 September 1962, secara sadar
perhimpunan Lembaga Kebudayaan Indonesia melakukan serah terima museum kepada
pemerintahan Indonesia, untuk dikelola dengan baik, demi tercapai kemajuan
bangsa. Penyerahan ini pun mengubah status museum menjadi museum pusat.
Dan lagi, tepat di 28 Mei 1979, status museum pun naik
tingkat. Dari berstatus pusat kini telah menjadi berkelas nasional. Hal ini
dituangkan dalam Surat Keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan No.092/0/1979.
Itulah sekilas sejarah singkat museum nasional,
sebagai kebanggan milik bangsa Indonesia karena keberadaan museum juga turut
mengiringi perjalanan republik ini.
Sayang jika kemudian museum ini tak dijaga baik dan
ditingkatkan kualitasnnya oleh generasi berikutnya. Ada ungkapan bijak, hanya
bangsa bodoh yang tidak memiliki museum. Karenanya, berbanggalah mereka yang di
negaranya berdiri banyak museum-museum. (
)
[1] Patung gajah perunggu hadiah dari Raja Chulalongkorn (Rama V) dari
Thailand yang pernah berkunjung ke museum pada tahun 1871.
Komentar
Posting Komentar