GO RIMBANI 2
Kesan
Pertama Berjumpa Anak-anak
Hari
mulai larut, sebentar lagi malam akan berganti menjadi pagi. Tak ada
suara jangrik saat itu, yang ada hanya terdengar deru mesin kendaraan
bermotor yang lalu-lalang di Gang Botet Kecamatan Kreo Kota Tangerang
Banten.
“Pulang
dulu Du, kita sudahi dulu. Sudah malam esok kita lanjut ke Gat
Su ( Jalan Gatot Subroto Jakarta Selatan),” kata ku, di
pekarangan rumah Bedu, usai membicarakan topik program mengajar
komunitas Rimbani, Sabtu (14/12/2013).
Secara
singkat Bedu pun menjawab sambil berharap kepada Allah agar esok hari
kegiatannya bisa lancar dan aman. “Insyallah kalau besok
tidak hujan, kita sama-sama berangkat kesana ya,” tutur pria yang
hobi mengaji ini.
Gemar membaca memberi kekuatan pada pembaca (sketsa by budi susilo) |
Singkat
cerita, lalu pagi tiba. Sang Fajar muncul memancarkan sinar
hangatnya, menerangi kawasan Kota Tangerang Banten, Minggu
(15/12/2013). Aku pun merasa lega, menggendong rasa optimisme, bahwa kalau
acara yang telah direncanakan bakalan sukses.
Bersiap-siap,
sarapan pagi di rumah. Berkemas diri, mandi dan sikat gigi,
mengenakan pakaian ciri khas ku, kemeja panjang kotak-kotak dengan dalaman kaos oblong yang kadang berwarna putih atau merah.
Dan seperti biasanya juga, celana panjang yang jadi favorit ialah celana jeans berwarna biru, yang kadang juga berwarna hitam. Dipilih ini, sebab jenis bahannya kuat, sangat cocok untuk kegiatan outdoor.
Membuka garasi motor, langsung bergegas menginjak pedal gas kuda besi, aku menuju ke rumah Bedu yang tak jauh, hanya berjarak sekitar tiga kilometer.
Dan seperti biasanya juga, celana panjang yang jadi favorit ialah celana jeans berwarna biru, yang kadang juga berwarna hitam. Dipilih ini, sebab jenis bahannya kuat, sangat cocok untuk kegiatan outdoor.
Membuka garasi motor, langsung bergegas menginjak pedal gas kuda besi, aku menuju ke rumah Bedu yang tak jauh, hanya berjarak sekitar tiga kilometer.
Dan
setiba di rumah Bedu dengan selamat, ia pun nampak siap tinggalkan rumah. Tak
ada lagi basa-basi dandan bak gadis perempuan, Bedu pun langsung
keluar rumah menghampiri ku. “Ya udah ayo kita jalan,” katanya.
Menuju
ke kegiatan mengajar, kami berdua pergi bersama. Kami ke lokasi
tujuan menggunakan satu motor milik ku, yang kebetulan juga motornya,
ku berinama Lestari. Tampilannya dominasi hitam berkombinasi hijau dan putih.
Tubuhnya masih mulus dan kinclong, serta raungan mesinnya pun masih
terdengar ramah.
Beda
dengan motor ku yang satu lagi, yang ku berinama si Bandel yang kini
masih berada di Kota Manado Sulawesi Utara. Perawakan si Bandel jelas
sangat berbeda dengan si Lestari, umurnya pun lebih tua.
Sebab
ciri yang di miliki si Bandel tubuhnya dekil, maklum, satu sebabnya
jarang dimandikan. Kalau pun mandi, penyebabnya guyuran air hujan
dari langit. Lalu, suara mesinnya sudah agak kasar, karena tak pernah
dimanjakan, dibawa ke salon perawatan. Maafkan aku yah
Bandel.
Begitu
pun kaca spionnya hanya satu buah, tak lagi sepasang seperti pada
motor umumnya. Hilangnya spion motor bagian kanan karena dicuri oleh
orang yang kurang kerjaan, dan mungkin juga lagi kekurangan uang.
Semoga berkah deh.
Dan
kaca lampu belakang si Bandel pun sudah pecah. Penyebabnya, motor
pernah terjatuh ke aspal hitam saat si Bandel dipakai untuk bergaya
standing up
oleh seorang teman akrab saya di Kota Manado, yang mencoba berunjuk gigi bak free
styler cycle.
Aku
bertekad, suatu saat nanti akan menjemput si Bandel di tanah kawanua
Sulawesi Utara sana, dan membawanya pulang ke tanah Benteng Kota
Tangerang, agar bisa kembali bertualang bersama di pulau Jawa,
seperti kala kami di berada pulau Sulawesi.
Itulah
cerita sedikit soal koleksi kuda besi yang saya miliki. Nah,
berlanjut kenapa saya dan Bedu naik satu motor, tidak membawa motor
sendiri-sendiri, karena dengan membawa satu motor meraih keuntungan
efisiensi, tak boros tenaga dan uang, serta bisa kompak akrab.
Untung
saja jalanan lancar, wes ewes ewes,
babalas pokoke. Alhamdulillah,
kemacetan tidak terlalu parah. Mungkin karena hari minggu, arus
lalu-lintas menuju Jalan Gatot Subroto agak sepi dari sentuhan
kendaraan bermotor.
Walhasil,
jarak tempuh yang dicapai ke lokasi hanya butuh sekitar 45 menit.
Andaikan saat itu terjebak macet, maka akan memakan waktu hingga satu
setengah jam, capek tenaga, juga boros bensin toh.
Setibanya
di tempat lahan parkir Masjid Al Mugni, tampak anak-anak yang
sebagian besar masih bersekolah dasar, ramai berkerumun di pelataran masjid yang adem. Mereka ada yang sekedar duduk-duduk mengobrol dengan teman sebayanya, atau
berlari-lari, bermain riang gembira.
Inilah
peristiwa pertama kali bagi saya, bisa berjumpa dengan anak-anak yang
mau bersemangat belajar di komunitas Rimbani, Masjid Al Mugni Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan.
Kata Bedu, di lokasi ini, untuk pagi harinya di jam delapan diisi belajar mengaji agama Islam, dan dilanjutkan pada jam 10 paginya belajar pengetahuan umum.
Kata Bedu, di lokasi ini, untuk pagi harinya di jam delapan diisi belajar mengaji agama Islam, dan dilanjutkan pada jam 10 paginya belajar pengetahuan umum.
Nah,
di sesi kedua inilah, saya dan Bedu berpartisipasi berbagi ilmu
pengetahauan umum ke anak-anak. Belajar matematika, bahasa Indonesia,
bahasa Inggris, pengetahuan alam dan seni menggambar. Juga menebar
motivasi hidup dan penanaman nilai-nilai positif ke mereka, para
anak-anak.
Bagi
Bedu sendiri, bukan lagi persoalan. Anak-anak sudah menganggapnya bak
kakak kandung. Tak heran, begitu kami berdua masuk ke arena masjid,
yang disambut hangat adalah Bedu seorang.
“Kak Bedu. Kak Bedu,” teriak anak-anak menyambut kedatangan Bedu dengan rasa riang. Dan saya pun, hanya bisa mengeluarkan jurus senyum-senyum sok kenal ke mereka, para anak-anak.
“Kak Bedu. Kak Bedu,” teriak anak-anak menyambut kedatangan Bedu dengan rasa riang. Dan saya pun, hanya bisa mengeluarkan jurus senyum-senyum sok kenal ke mereka, para anak-anak.
Kesan
pertama agak canggung. Kehadiran saya bagi anak-anak adalah hal yang
baru, dianggap orang asing gituh deh.
Di antara mereka ada yang saya tegur siapa namanya, tapi tak dijawab,
mereka masih malu-malu, banyak yang buang muka. Yah,
Kacang,
kacang.
Mengawali
debut sebagai aktivis pengajar, saya diberikan tanggung jawab untuk mengajar
anak-anak yang masih duduk di bangku kelas dua Sekolah Dasar. Jumlahnya tidak banyak, tujuh orang siswa.
Tak mengira, ternyata menghadapi anak-anak itu bukan persoalan gampang seperti melepas kulit pisang dari buah dagingnya. Butuh waktu dan tenaga untuk menaklukan mereka. Soal mata pelajarannya sih mudah, tapi cara untuk menyampaikannya itu loh, yang butuh kerja ekstra keras.
Tak mengira, ternyata menghadapi anak-anak itu bukan persoalan gampang seperti melepas kulit pisang dari buah dagingnya. Butuh waktu dan tenaga untuk menaklukan mereka. Soal mata pelajarannya sih mudah, tapi cara untuk menyampaikannya itu loh, yang butuh kerja ekstra keras.
“Mau
belajar apa nih
hari ini. Ayo semuanya mau belajar apa,” tawaran saya ke anak-anak
sambil menatap wajah-wajah polosnya. Dan memang, harus butuh modal
berhati baja, saat berhadapan dengan anak-anak.
Mereka
tak satu pun ada yang menyahut tawaran dari saya. Terlihat mereka
masih malu, dan di hati mereka mungkin masih bertanya-tanya siapa
gerangan orang baru ini. Tapi buat saya tak jadi soal, suatu saat
pasti anak-anak akan bisa menerimanya dan bisa akrab bersama.
Berhubung
aksi perdana berjumpa dengan mereka, maka saya pun harus lebih banyak
beradaptasi, mengikuti arus keinginan mereka dahulu. Saya mengajak
ngobrol
satu-satu ke mereka.
Topiknya bukan soal mata pelajaran di sekolahan, tetapi lebih kepada dunia keseharian mereka, cita-citanya dan kesukaan mereka, supaya suasana lebih cair dan santai.
Topiknya bukan soal mata pelajaran di sekolahan, tetapi lebih kepada dunia keseharian mereka, cita-citanya dan kesukaan mereka, supaya suasana lebih cair dan santai.
Satu
di antarnya ada anak bernama Mario dan Feri. Kesan pertama yang
muncul buat saya, Mario dan Feri merupakan anak yang lincah, tidak
bisa diam di satu tempat. Diajak untuk duduk tenang dan belajar buat
Mario dan Feri merupakan kegiatan yang membosankan.
Cari
cara untuk taklukan mereka yakni saya mengajaknya berbicara tentang
klub-klub sepak bola serta gaya permainannya. Dan terbukti, perkiraan
saya ternyata benar.
Lewat jalur diplomasi sepak bola, saya dan mereka berdua bisa akur, memperolah suasana akrab, lebih dekat satu sama lain, bisa saling kenal dekat.
Lewat jalur diplomasi sepak bola, saya dan mereka berdua bisa akur, memperolah suasana akrab, lebih dekat satu sama lain, bisa saling kenal dekat.
Berbeda
dengan Mario dan Feri, ada satu anak lagi yang berkarakter pendiam.
Namanya Syamsul, vokal suaranya kecil mengikuti perawakannya yang mungil. Kulit tubuhnya berwarna sawo matang, karena memang anak ini kelahiran Kota Jakarta.
Jika diajak berbincang, Syamsul terbilang irit bicara, tak terlalu aktif. Dan suara yang keluar dari mulut pun hanya terdengar samar-samar, solusi tepatnya telinga kita harus di dekatkan ke mulutnya.
Mungkin karena Syamsul merasa bertemu dengan orang yang baru dikenal, maka pisikologi Syamsul akhirnya memancarkan aura sifat pemalu. Siapa tahu saja karena belum mengenal wataknya, sebenarnya Syamsul itu orang yang berkarakter lugas.
Jika diajak berbincang, Syamsul terbilang irit bicara, tak terlalu aktif. Dan suara yang keluar dari mulut pun hanya terdengar samar-samar, solusi tepatnya telinga kita harus di dekatkan ke mulutnya.
Mungkin karena Syamsul merasa bertemu dengan orang yang baru dikenal, maka pisikologi Syamsul akhirnya memancarkan aura sifat pemalu. Siapa tahu saja karena belum mengenal wataknya, sebenarnya Syamsul itu orang yang berkarakter lugas.
Waktu
terus bergulir, waktu shalat Zuhur pun akan tiba. Melihat tanda-tanda
ini, anak-anak kelas dua sudah ada yang mau segera pulang ke rumahnya
masing-masing.
Peralatan tulis yang mereka bawa mereka benahi, dimasukan ke dalam tasnya masing-masing. “Kak pulang ya,” teriak satu dua sampai tiga anak ke saya.
Peralatan tulis yang mereka bawa mereka benahi, dimasukan ke dalam tasnya masing-masing. “Kak pulang ya,” teriak satu dua sampai tiga anak ke saya.
Tak
bisa dibantah lagi, permintaan mereka pun dituruti, mengingat
begitulah aturannya. Di saat jarum jam menunjukan pukul 11.30 wib,
maka kegiatan belajar mengajar mulai bubar, bersiap-siap untuk sambut
pelaksanaan ibadah sholat Zuhur.
Mereka
satu persatu pamit, dan syukurnya, mereka masih mau menunjukan budaya
sopan santun adat ketimuran, yakni berjabat tangan, mencium tangan
kepada orang yang lebih tua umurnya.
“Alhamdulillah,
semoga bermanfaat,” ucap dalam benak ku. “Sampai jumpa lagi ya,
di minggu depan,” kata ku kepada masing-masing anak di saat saling bersalaman. (
)
Komentar
Posting Komentar