RUMAH JOKOWI BELUM SIAP PAKAI
Rumah
Masih Belum Siap Pakai
Saat
senja, Eka, 32 tahun, nampak sibuk membersihkan pekarangan rumahnya yang
sebagiannya masih terlihat tanah merah. Wanita yang baru saja menjadi ibu rumah
tangga ini sudah hampir berjalan enam bulan menempati hunian rumah sederhana
bersubsidi.
Tempat perumahannya ini dikenal Pesona Bukit Batuah bagi
Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), kilometer enam, Kelurahan Graha Indah,
Kecamatan Balikpapan Utara. Beberapa bulan yang lalu komplek perumahan ini
dikunjungi Joko Widodo Presiden Republik Indonesia.
Dia mengatakan, sejauh ini kawasan pemukimannya nyaman
dan aman, tidak ada persoalan, suasana kondusif meski masih ada suara berisik
dari pengerjaan proyek perumahan. "Saya dengar rumahnya terus dibangun
sampai ke arah belakang, sampai seribuan lebih," tuturnya kepada
Tribun.
Eka yang mengaku sebagai istri seorang buruh
mengungkapkan, menempati rumah MBR Pesona Bukit Batuah beberapa bulan yang lalu
memiliki kisah yang tidak manis. Dirinya bersama suami tidak bisa langsung
gunakan.
"Lantai belum haluskan, belum keramik. Bagian
pekarangan juga masih tanah-tanah merah. Kotor harus dibersihkan. Kami masuk
rumah harus kerja bakti lagi," ujarnya.
Solusi awal, waktu itu suami Eka membeli sebuah karpet
terpal plastik yang disesuaikan dengan luasan bangunan interior rumah. Fungsi
terpal untuk menutupi lantai rumah, supaya bisa terlihat rapih, bersih dan bisa
digunakan.
![]() |
(Jongfajar Kelana) |
"Mau langsung pasang keramik belum bisa. Kami hitung biaya pasang keramik sekitar Rp 5 juta. Mau mengumpulkan uang dahulu. Kalau sudah ada uang, nanti dibangun," kata perempuan kelahiran Jawa Tengah ini.
Sampai sekarang, rumah Eka masih dalam proses menuju
sempurna. Dinding ruang dalam rumah masih dibiarkan tampil alami. Pola
kotak-kotak batako seakan menjadi lukisan dinding rumahnya. Suami Eka masih
mencari dana dahulu.
Sengaja membiarkan dinding belum di beri warna cat dan
dihaluskan dengan semen, mengingat keuangannya masih terbatas.
"Pelan-pelan saja. Insyaallah kalau ada rezeki dibaguskan lagi,"
tuturnya.
Sempat baru awal menempati, bagian jendela rumah tidak
berfungsi secara baik. Bagian engsel jendela tidak tepat pemasangannya. Saat
jendela akan ditutup rapat tidak bisa dilakukan. Akhirnya, Eka melaporkan
kepada kontraktor developer dan akhirnya diatasi.
Alasan kontraktor waktu itu membangun rumahnya secara
cepat mengejar target. Ada beberapa pekerja tukang yang mengerjakan secara
terburu-buru, kurang fokus memaksimalkan struktur bangunan.
Karena itu, pihak developer telah memberikan jaminan
selama tiga bulan. Apabila ada kerusakan atau kejanggalan pada bagian-bagian
rumah yang bukan karena sengaja rusak oleh penghuni, maka masih dalam
tanggungjawab developer. Selama kerusakan tidak diperbuat oleh penghuni,
developer akan memperbaiki dan sempurnakan.
"Jendela kurang bagus saya lapor langsung ditangani
sama developernya. Langsung dikerjakan, sudah rampung, sekarang sudah tidak
lagi rusak. Jendela rumah berfungsi," ujar Eka.
Satu persoalan yang kini masih dinanti ialah sambungan
air bersih dari Perusahaan Air Minum Daerah (PDAM). Waktu belum ada akad
transaksi kredit rumah, developer menjanjikan akan ada sambungan PDAM.
"Sekarang belum ada, katannya mau ada. Antisipasinya buat penampuangan air
hujan, kadang beli sama tukang air keliling," ungkapnya.
Dia pun memaklumi, harga rumahnya dianggap terjangkau
bila dibandingkan dengan pasaran harga rumah di tempat lainnya. Rumah Pesona
Bukit Batuah ini dianggap sudah sesuai dengan kemampuan keuangan keluarganya.
Suami Eka hanya bergaji upah minimum kota per bulan,
setidaknya ada kebanggaan bisa memiliki rumah sendiri. "Dahulu pernah
kontrak rumah. Nekat ambil rumah disini. Daripada bayar kontrakkan bagusnya
ambil rumah dengan mencicil. Bayaran cicilan sama seperti mengontrak rumah
orang," ungkapnya.
Eka untuk mendapatkan satu unit rumah ini diperlukan dana
sebesar Rp 135 juta dengan memilih membayar secara kredit perbankan. Uang
kontan tidak dimiliki, cara mencicil adalah jalan pilihan terbaik untuk bisa
mendapatkan hak milik rumah di Kota Balikpapan.
Awalnya, Eka disuruh membayar uang tanda jadi sebesar Rp
2 juta dan uang muka Rp 5 juta. Saat itu dianggap memenuhi persyaratan
perbankan, Eka pun melanjutkan bisa menghuni rumah. Cicilan yang diambil ialah
Rp 800 ribu, dibayar selama 20 tahun dengan nilai kredit yang sama dari awal
hingga akhir.
Seminggu
Belanja Air Sampai Rp 90 Ribu
Persoalan pun masih di alami juga penghuni lainnya,
Suparno. Sejak awal Suprat sudah berpikir, rumahnya dalam waktu dekat pasti
belum bisa dipenuhi fasilitas PDAM. Fasilitas listrik sudah mengalir namun air
yang juga kebutuhan utama belum terwujudkan.
"Kalau mengharapkan PDAM masih lama. Saya terus
tagih sama developer untuk supaya cepat buat sambungan PDAM. Air itu utama.
Kalau tidak ada air pasti kami yang disini kesusahan," ujarnya.
Dia pun tidak mau mengambil resiko menggali sumur tanah.
Selain akan tambah biaya yang bisa dibilang cukup mahal, belum tentu kualitas
air di bawah rumahnya itu layak pakai. Dimaklumi, air tanah di Kota Balikpapan
sangat tidak baik, kalau pun bisa keluar, warnanya kuning, paling buruknya air
bercampur lumpur.
Rumah yang sudah masuk kredit. Rumah perlu ditinggali,
mengingat selama ini Suparno selalu mengkontrak rumah, keluarkan uang namun
tidak bernilai investasi. Mengambil rumah dan menempati merupakan pilihan
dirinya yang paling tepat meski rumah masih terdapat kekurangannya.
"Saluran air drainse sudah tersedia. Listrik sudah berfungsi, tinggal airnya saja. Pokoknya rumah harus ditinggali. Apa pun yang terjadi, harus dijalani," tutur bapak beranak dua ini.
"Saluran air drainse sudah tersedia. Listrik sudah berfungsi, tinggal airnya saja. Pokoknya rumah harus ditinggali. Apa pun yang terjadi, harus dijalani," tutur bapak beranak dua ini.
Antisipasinya, Suparno pun mengakali dengan menampung air
hujan ke dalam wadah tandon 1100 liter, atau kalau sedang jarang hujan, dirinya
mengandalkan konsumsi air yang dibeli dari penjual air keliling. Itu pun kalau
sedang beruntung, kadang pedagang penjual air libur atau tidak berjualan susah
mendapatkan air, terpaksa mencari pedagang air yang lain.
Secara hitung-hitungan dirinya harus rutin membeli air
bersih keliling sebanyak 1.100 liter mengeluarkan uang sampai Rp 90 ribu per
tiap minggu, bahkan bisa seminggu mengisi dua kali kalau tidak sampai turun
hujan. "Penghuni rumah ada banyak. Lima orang. Istri, saya, dua anak sama
satu ponakan. Butuh air banyak," tuturnya.
Air bersih itu digunakan untuk keperluan mandi dan
mencuci. Sementara untuk kebutuhan air minum konsumsi tubuh, dirinya membeli di
air isi ulang yang per galon harganya Rp 5 ribu. Dalam seminggu dirinya membeli
air galon bisa dua buah. "Beli air isi ulang, yang bisa langsung
diminum," katanya.
Karena itu, dia pun sangat berharap, PDAM bisa segera
masuk ke kawasan pemukiman Pesona Bukit Batuah, mengingat warga yang menempati
rumahnya semakin meningkat. Jumlah unit rumah bertambah padat, air kebutuhan
utama.
"Developer ditanya juga masih tunggu proses dari
pihak PDAM. Sebagai warga harusnya PDAM harus segera pasang. Sudah jadi
kebutuhan warga. PDAM harusnya untung dapat konsumen baru tapi bingung kenapa
belum juga masuk layanannya," tutur Suparno.
Menunggu
Sampai Penghuni Ramai
Menanggapi hal itu, Haidir Effendy, Direktur PDAM
Balikpapan, menuturkan, pelayanan air bersih dari PDAM ke kawasan perumahan MBR
ibaratnya menjadi sebuah kewajiban yang tidak boleh dibiarkan. Layanan air
bersih harus masuk ke rumah MBR dengan segala kemudahan, mengungat program
rumah MBR merupakan bagian dari kebijakan dari pemerintah pusat.
"Sekarang masih berproses. Sudah banyak yang sudah
mengajukan sambungan baru, terutama untuk rumah-rumah MBR. Sudah mencapai
ratusan lebih yang memohon," ungkapnya kepada Tribun belum lama ini.
Dia menjelaskan, program rumah MBR mendapat dukungan
penuh dari pemerintah pusat, diberikan subsidi bagi masyarakat yang
membutuhkan, yang selama ini tidak mampu membeli rumah akhirnya bisa
mendapatkan hunian hak milik.
PDAM sebagai bagian integral fasilitas penyediaan air
bersih tentu saja ikut berusaha berkontribusi untuk ikut memberi layanan.
"Kami senang saja. Ada pelanggan baru berarti ada potensi untuk
pengembangan. Kami sedang proses belum bisa cepat selesaikan," tuturnya.
Haidir menegaskan, intinya bila kawasan perumahan sudah
terbangun mencapai ribuan unit tentu saja akan bisa tersambung. Logikanya,
rumah banyak yang belum terbangun namun PDAM sudah membangun jaringan airnya
tentu saja nanti akan mubazir. Pihaknya mengantisipasi supaya penggarapan
instalasi PDAM tidak terbuang sia-sia.
"Rumah kalau sudah ada yang menghuni banyak kami
bisa pasang. Kalau rumahnya masih sedikit, lalu kosong tidak ada penghuni lalu
siapa yang mau pakai airnya," katanya.
Selain itu, tantangan terbesar PDAM Balikpapan selama ini
soal pasokan sumber air bersih, masih sangat mengandalkan dari volume air yang
tertampung di waduk. Ketika waduk mengalami kekeringan hebat, tentu saja
mempengaruhi pasokan air bersih ke sambungan rumah warga.
Selama ini, pasokan air baku hanya sebesar 1.000 liter
per detik yang dipasok dari Bendungan Manggar. Belum lama ini ada ketambahan
lagi dengan keberadaan Waduk Teritip, maka pasokan air bersih Kota Balikpapan
mendapat tambahan air baku 250 liter per detik.
Semua infrastruktur ini sangat bergantung pada intensitas
air hujan dan sumber air dari daerah hulu aliran sungai.
"Sekarang juga sedang dicari solusi lain membuat infrastruktur menampung sumber air bersih, sampai ada yang juga mengusulkan desilinasi air laut. Daya dukung infrastruktur penting untuk memperlancar pasokan air bersih ke rumah-rumah," tegasnya.[1]
"Sekarang juga sedang dicari solusi lain membuat infrastruktur menampung sumber air bersih, sampai ada yang juga mengusulkan desilinasi air laut. Daya dukung infrastruktur penting untuk memperlancar pasokan air bersih ke rumah-rumah," tegasnya.[1]
Pengembang Memohon Sampai Capek
Rumah Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yang berada
di Kota Balikpapan menemui tantangan dan rintangan, termasuk satu di antaranya
fasilitas sarana pendukung pemukiman. Banyak di antara penghuni yang mengambil
rumah MBR mengeluh.
Satu di antaranya mereka yang menghuni di perumahan MBR
Pesona Bukit Batuah, di Kelurahan Graha Indah, Kecamatan Balikpapan Utara,
belum secara maksimal tersedia saluran air bersih dari Perusahaan Air Minum
Daerah (PDAM).
Pemilik properti ini, Edi Djuwadi, menanggapinya, terkait
persoalan saluran air bersih itu semua bergantung pada pihak PDAM Kota Balikpapan.
Pengembang rumah MBR sudah mengajukan permohonan baik secara lisan maupun
tulisan namun sampai sekarang tidak ada respon positif.
"Sudah mohon kepada PDAM beberapa kali. Sering buat
permohonan. Sampai sudah capek saya. Selama ini PDAM diam saja, tidak mau
respon. Kalau tidak mampu bilang saja. Kalau tidak mampu nanti kami bisa cari
jalan keluar lain," ujarnya kepada Tribun.
Tidak semestinya pihak PDAM menunggu keramaian penduduk.
Pengadaan air bersih seharunya segera dibuat, tidak perlu ada pembangunan
ribuan unit rumah. Perusahaan Listrik Negara bisa lakukan, sebelum ada rumah
sudah bangun jaringan namun tidak dengan PDAM.
"Masa harus tunggu rumah banyak dahulu baru mau buat
saluran air. Kami akan banyak bangun nanti sampai empat ribuan rumah. Ke depan
akan banyak yang tinggal. PDAM tidak perlu takut," tuturnya.
Seharusnya, PDAM harus melihat sebagai peluang. Banyaknya
konsumen yang mengambil rumah MBR menjadi potensi pendapatan baru bagi PDAM
dalam penyediaan jasa air bersih. Bukan sebaliknya, PDAM takut melakukan
terobosan.
"Kalau menunggu sampai ribuan unit rumah nanti siapa
yang mau datang. Harusnya tidak perlu tunggu banyak. 50 rumah unit PDAM harus
berani sambung, jangan diam saja," kata Edi, yang juga Ketua Real Estate
Indonesia wilayah Kota Balikpapan ini.
Saat ditanya mengenai rencana pembangunan Water Treatment
Plant (WTP) di lokasi rumah MBR Pesona Bukit Batuah, pihaknya belum mengambil
keputusan secara dini, sebab masih sangat bergantung pada PDAM yang sampai
sejauh ini belum ada jawaban apakah PDAM mampu atau tidak.
Berdasarkan proyek pengerjaan, rumah MBR di Pesona Bukit
Batuah sudah rampung 700 unit rumah. Sisanya masih dalam proses pembangunan,
rencananya akan mencapai empat ribu unit rumah.
Pengembang rumah MBR lainnya, Susilo Nurdianto,
mengungkapkan, selain pengadaan air bersih dari PDAM, persoalan lain yang
membelit ialah pembebasan tanah. Susilo mengembangkan perumahan subsidi ini di
daerah Jalan Soekarno Hatta, Kilometer 11, bernama perumahan Batu Ratna Indah.
"Pembebasan lahan selalu kendala. Tiap saat susah
lakukan pembebasan lahan. Sulitnya soal negosiasi harga. Membebani kami selaku
pengembang. Pemerintah tidak tangani pembiayaan subsidi pembebasan lahan,"
ungkapnya kepada Tribun.
Sebagai contoh, setiap bulan harga tanah berubah,
harganya terus semakin naik. Ketika pengembang akan melakukan perluasan
perumahan tentu saja terkendala harga, mengingat menjalankan usaha properti
rumah MBR tidak terlalu banyak untungnya, tidak seperti rumah komersil.
"Saya beri gambaran awal Rp 50 ribu per meter nanti
harga tanah per meternya di tahun depan bisa naik sampai tiga kali lipat. Kalau
sudah naik kami terhambat, tidak bisa tambah lagi unit rumah," ujarnya.
Dua Tahun Belum Dapat Unit
Program rumah murah MBR banyak yang diminati. Saking
banyak peminat, ada calon penghuni yang harus rela menunggu mendapat unit rumah
sampai dua tahun. Seperti halnya, Agus Prasetyo, mengambil kredit rumah MBR di
Pesona Bukit Batuah.
Pria yang bekerja sebagai pegawai swasta tersebut sudah
membayar uang tanda jadi sebesar Rp 2 juta dan telah melunasi uang muka
sebanyak Rp 5 juta. Transasksi sudah dilakukan sekitar akhir tahun 2015 namun
sampai sekarang Agus belum mendapat panggilan dari perbankan.
"Bilang menunggu dari perbankan. Nanti dipanggil,
diwawancarai. Kalau layak, bisa disetujui pengajuan kreditnya," kata pria
berkulit warna sawo matang ini.
Agus mengambil rumah unit rumah tersebut karena harganya
terjangkau. Sesuai dengan penghasilan bidang pekerjaan yang digeluti. "Harganya
terjangkau. Cicilan kreditnya bisa saya bayar. Tidak seperti rumah komersil
harus keluarkan cicilan sampai jutaan," tuturnya.
Dia sangat berharap, pihak pengembang semestinya cepat
mengerjakan. Agus mendapat nomor antrian 1100. Uang tanda jadi dan uang muka
sudah dilunasi namun prosesnya lamban, tentu saja membuat Agus harap-harap
cemas.
Meskipun kalau konsumen membatalkan, uang bisa diambil
tetapi setidaknya pengembang harus kerja cepat. "Butuh rumah. Sangat
membantu. Bagus sekali kalau cepat," tuturnya.
Soal adanya calon penghuni yang sudah hampir dua tahun
menunggu tak kunjung mendapat unit rumah, Edi menjelaskan, proses pembangunan
masih terus berlangsung. Pembangunan selama ini terkendala cuaca. Perolehan
unit rumah berdasarkan nomor antrian, yang sekarang baru mencapai 700 unit.
"Kalau yang nomor antriannya ribuan orang memang
belum bisa dapat sekarang ini. Mungkin saja tahun depan," tutur pria yang
menjabat sebagai pemilik perumahan MBR Pesona Bukit Batuah ini.
Di tempat terpisah, Tribun mengkonfirmasi kepada konsumen
rumah MBR Pesona Bukit Batuah. Yadi, bapak beranak satu ini sudah melalui
proses akad rumah pada Februari 2017, namun dirinya bersama istrinya belum mau
menempatinya.
"Masih tunggu uang. Mau membuat lantainya dahulu.
Kalau sudah jadi kami mau tempati. Sekarang lantai masih semen saja. Tidak
nyaman kalau dipakai. Mungkin awal tahun baru bisa jadi. Butuh biaya sendiri Rp
5 juta untuk buat lantai keramik," katanya.
Dia pun mengetahui, di tempat tersebut belum ada akses
air bersih dari PDAM. Namun nanti kalau lantai sudah rampung dirinya tetap
memakai rumahnya, sebagai tempat tinggal. "Air nanti bisa cari cara lain.
Sementara bisa beli sama tukang air isi ulang tandon," ujar Yadi.
Murah Bukan Murahan
Ir Wahyullah Pengamat Tata Kota Kota
Balikpapan menjelaskan, Keberadaan rumah MBR di Kalimantan Timur
paling banyak karena alasan mengejar banyak target. Rumah MBR ini diproduksi
secara massal agar target yang ditentukan bisa dicapai, supaya banyak
masyarakat yang tidak mampu meraih rumah, punya aset hak milik.
Tidak heran, rumah MBR yang dibangun tidak memperhatikan
estetika bangunan, kualitas ruangnya pun minim. Sementara untuk kualitas
bangunan saya melihat sudah cukup baik. Yang saya sayangkan, kualitas ruang
rumah di nomor dua, sementara yang utama adalah membangun rumah
sebanyak-banyaknya.
Wajar kemudian masih ada titik kelemahan. Seperti halnya,
karena mengejar target, membuat secara massal, di antara rumah ada yang
mengganjal, seperti kurangnya ukuran, sampai ada bagian pintu atau jendela yang
kurang pas pemasangannya.
Bukan berarti rumah MBR itu rumah murah tapi murahan.
Buat saya, membangun rumah murah itu tidak harus murahan, bisa kita bangun
dengan kualitas ruang yang baik. Butuh sentuhan arsitektur.
Kalau kita bicara kualitas ruang, perlu memperhatikan
beberapa hal seperti di antaranya posisi rumah, ventilasi rumah, sumber air
bersih, dan atap yang kuat dan nyaman. Pandangan seorang arsitek, tentu saja
kualias ruang sebuah rumah itu yang paling utama.
Bagi saya, kualitas ruang akan mempengaruhi kualitas
hidup juga si penghuninya. Rumahnya bagus kualitas ruangnya, akan membuat betah
si penghuni. Hidup sehat, harmonis. Suasana selalu aman dan nyaman.
Kalau memang peduli, pemerintah harusnya menekankan rumah
MBR yang mengutamakan kualitas ruang. Bisa dilakukan. Hanya butuh sentuhan
saja, biasa dibuat konsep rumah yang berkualitas. Saya melihat rumah MBR yang
sekarang kurang kualitas ruangnnya, seakan konsumen tidak membeli rumah tetapi
seperti membeli tanah saja.
Rumah terbangun yang penting terbangun nantinya
dalam waktu beberapa tahun kemudian si penghuni membangun lagi, entah itu
menambah atau mengubah. Bangunan awal hanya sekedar terbangun dan punya hak
milik tanah dan bangunan.
Selanjutnya rumah mau dijadikan seperti apa, itu butuh
proses ke depan tergantung daya kekuatan ekonomi si penghuni. Kalau ada
peningkatan ekonomi pasti si penghuni akan lakukan tambahan kekurangannya.
Pemohon Tak Bergaji Sulit Kredit Rumah
Subsidi
Satu di antara kendala yang dihadapi pengadaan rumah
murah Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), sulitnya akses pengajuan kredit
rumah bagi para pekerja non penghasilan tetap. Para pekerja yang statusnya
bukan pegawai, bakal temui terjal rintangan dalam proses tahapan perbankan.
Demikian disampaikan Ketua Asosiasi Pengembang Perumahan
dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) wilayah Kalimantan Timur, Sunarti
Amirullah, mengatakan, pangsa pasar rumah MBR selama ini banyak mencari
konsumen yang memiliki pendapatan tetap seperti pegawai negeri sipil dan
pegawai sektor swasta.
Seperti halnya pedagang yang penghasilan tidak tetap akan
terkendala di perbankan. Pedagang selama ini banyak yang gagal diterima saat
masuk penjaringan kandiat kredit rumah. Alasannya tidak masuk kriteria.
"Perbankan yang ada di daerah kita belum bisa. Di
Jawa sudah ada yang bisa terapkan," ungkapnya kepada Tribun belum lama
ini.
Sebenarnya, pernah ada usulan terobosan mencari solusi
bagi para calon yang tidak memiliki penghasilan tetap namun sampai sekarang
belum ada keputusan yang pas. Apresi sudah memberikan masukkan dan berpendapat
terkait diakomodasinya warga yang tidak ada gaji rutin.
"Kami sudah mengejar diperbankan tetapi masih ada
beberapa persyaratan yang belum terpenuhi," ujarnya.
Satu di antara cara yang ditawarkan perbankan ialah
penerapan pembukaan tabungan rumah rakyat bagi konsumen yang tidak bergaji
tetap, seperti pedagang atau buruh harian.
"Disuruh ikut menabung dulu selama lima sampai enam
bulan dalam program tabungan perumahan. Tapi ini baru usul, teknisnya belum
tahu seperti apa, belum bisa terlaksana," katanya.
Apersi selalu mendorong penuh masyarakat yang tidak
berpengasilan tetap mampu menjangkau dan memiliki rumah hak milik. Apersi
berupaya memperjuangkan bagaimana caranya lapisan masyarakat berpenghasilan
minim mampu meraih rumah yang diimpikannya.
Pandangan Apersi, berdasarkan persentase konsumen rumah
MBR sebenarnya berada di kalangan masyarakat yang tidak memiliki penghasilan
tetap.
Berdasarkan analisis Apersi, konsumen yang pengasilan
tetap tidak banyak, mengingat rumah MBR memang peruntukkan bagi kalangan
menengah ke bawah dan cocok bagi masyarakat kurang mampu.
"Banyak sekali permintaan. Sangat besar, jika
dipersentasekan bisa mencapai 60 persen pasar warga yang tidak memiliki
penghasilan tidak tetap," ungkapnya.
Padahal, menurut Sunarti, tipe masyarakat yang tidak
memiliki penghasilan yang sesungguhnya benar‑benar serius memiliki rumah MBR.
Seandainya disetujui mengukuti program rumah MBR, terang saja akan dijalankan
secara baik.
"Justru karyawan yang tidak tetap itu yang lebih
komit, jarang ada penunggakan. Mungkin merasa membutuhkan jadi mereka
berkomitmen. Berusaha disiplin bayar kredit, tidak akan macet‑macet,"
tuturnya.[2]
Bank Tabungan Negara (BTN) Kota Balikpapan selaku perbankan yang selenggarakan kredit rumah murah Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) enggan mengomentari soal sulitnya calon konsumen non pegawai mengajukan kredit rumah murah MBR.
Saat Tribun bersua dengan Kepala BTN Kota Balikpapan, Januardi, mengungkapkan, program kredit rumah murah MBR merupakan sepenuhnya program dari pemerintah pusat, mendapat dukungan penuh dari Presiden Republik Indonesia.
Pihak BTN hanya mendukung dari sisi perbankan yang selenggarakan kredit rumah.
Dirinya tidak mau memberikan pernyataan soal susahnya calon konsumen non pegawai mengajukan kredit rumah MBR.
“Saya no coment. Itu kebijakan pemerintah. Saya tidak mau mengomentari. BTN pusat (di Kota Jakarta) saja yang bisa berikan penjelasan. Saya yang disini tidak berani. Takut salah,” ungkapnya pada Selasa (5/12/2017) di ruang kerjanya, Jalan Jenderal Sudirman.
Saat ditanya mengenai seberapa besarnya antusias warga masyarakat Kota Balikpapan yang ikut terlibat dalam kredit rumah subsidi MBR, dirinya pun enggan menjelaskan. Dirinya hanya memastikan, memang betul kredit rumah MBR ditangani pihak BTN.
“Soal berapa besar yang sudah ikut kredit MBR saya tidak bisa menjawab. Harus orang (BTN) pusat yang bisa jelaskan. Mohon maaf,” tutur Januardi, menutup pembicaraan bersama Tribun.
Sebelumnya, ada pernyataan yang terlontar dari Ketua Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) wilayah Kalimantan Timur, Sunarti Amirullah, mengatakan, pangsa pasar rumah MBR selama ini banyak mencari konsumen yang memiliki pendapatan tetap seperti pegawai negeri sipil dan pegawai sektor swasta.
Seperti halnya pedagang yang penghasilan tidak tetap akan terkendala di perbankan. Pedagang selama ini banyak yang gagal diterima saat masuk penjaringan kandiat kredit rumah. Alasannya tidak masuk kriteria.
“Perbankan yang ada di daerah kita belum bisa. Di Jawa sudah ada yang bisa terapkan,” ungkapnya.
Sebenarnya, pernah ada usulan terobosan mencari solusi bagi para calon yang tidak memiliki penghasilan tetap namun sampai sekarang belum ada keputusan yang pas. Apresi sudah memberikan masukkan dan berpendapat terkait diakomodasinya warga yang tidak ada gaji rutin.
“Kami sudah mengejar diperbankan tetapi masih ada beberapa persyaratan yang belum terpenuhi,” ujarnya.
Satu di antara cara yang ditawarkan perbankan ialah penerapan pembukaan tabungan rumah rakyat bagi konsumen yang tidak bergaji tetap, seperti pedagang atau buruh harian.
“Disuruh ikut menabung dulu selama lima sampai enam bulan dalam program tabungan perumahan. Tapi ini baru usul, teknisnya belum tahu seperti apa, belum bisa terlaksana,” katanya.
Apersi selalu mendorong penuh masyarakat yang tidak berpengasilan tetap mampu menjangkau dan memiliki rumah hak milik. Apersi berupaya memperjuangkan bagaimana caranya lapisan masyarakat berpenghasilan minim mampu meraih rumah yang diimpikannya.
Pandangan Apersi, berdasarkan persentase konsumen rumah MBR sebenarnya berada di kalangan masyarakat yang tidak memiliki penghasilan tetap.
Berdasarkan analisis Apersi, konsumen yang pengasilan tetap tidak banyak, mengingat rumah MBR memang peruntukkan bagi kalangan menengah ke bawah dan cocok bagi masyarakat kurang mampu.
“Banyak sekali permintaan. Sangat besar, jika dipersentasekan bisa mencapai 60 persen pasar warga yang tidak memiliki penghasilan tidak tetap,” ungkapnya.
Padahal, menurut Sunarti, tipe masyarakat yang tidak memiliki penghasilan yang sesungguhnya benar-benar serius memiliki rumah MBR. Seandainya disetujui mengukuti program rumah MBR, terang saja akan dijalankan secara baik.
“Justru karyawan yang tidak tetap itu yang lebih komit, jarang ada penunggakan. Mungkin merasa membutuhkan jadi mereka berkomitmen. Berusaha disiplin bayar kredit, tidak akan macet-macet,” tuturnya.
Idealnya Bangun Hunian Vertikal
Fenomena pengerjaan proyek perumahan bagi masyarakat menengah ke bawah secara besar-besaran di wilayah Balikpapan, mendapat sorotan tajam dari ahli penataan kota.
Ini disampaikan Ir Wahyullah, Ketua Ikatan Arsitektur Indonesia (IAI) Kota Balikpapan, yang menegaskan, pemerintah seharusnya mulai menyadari bahwa konsep pembangunan pemukiman penduduk mesti berkonsep vertikal.
Sekarang pemerintah memberi keleluasaan izin pengadaan rumah murah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Di berbagai tempat bisa temukan pengerjaan proyek ini, semestinya harus disadari, cara seperti ini sebenarnya kurang tepat.
“Di negara-negara maju, di luar negeri sekarang pembangunan properti, pemukiman untuk penduduk lebih condong ke atas vertikal. Bisa dalam bentuk rusunawa atau apartemen,” katanya kepada Tribun, Selasa 5 Desmber 2017.
Dia melihat, ke depan akan sangat beresiko bila terus dipaksakan melakukan pembukaan lahan untuk pemukiman penduduk yang sifatnya horizontal. Ruang serapan air dan terbuka hijau akan semakin berkurang.
Sudah seharusnya, pemerintah harus menyadari, konsep yang paling ideal membangun properti harus mengambil cara vertikal. Pertumbuhan manusia semakin meningkat tetapi lahan kosong semakin langka. Saat sudah sulit mendapatkan lahan, kota akan padat, akan kesulitan mencari ruang leluasa.
“Negara-negara yang sudah terlanjur sekarang sudah mengarah ke vertikal. Sekarang belum terlambat harus kita coba. Kalau belum budaya saya yakin bisa diterapkan,” tegasnya.
Asalkan, pembangunan hunian vertikalnya berada di tempat yang tepat, terhubung dengan transportasi massal yang baik, serta mudah akses dari tempat hunian ke lokasi aktivitas kerja mencari kehidupan ekonomi, maka akan berhasil.
“Bisa saja bangun rusunawa di kilometer puluhan tetapi harus ditunjang dengan akses transportasi yang mudah, sedia angkutan umum yang bisa hubungkan ke tempat kerja di pusat kota,” katanya.[3]
Komentar
Posting Komentar