TAMBANG LIAR SEKATAK BUJI
Buaian Emas yang Belum Pasti
Praktek pertambangan
liar yang kerap dilakukan di daerah Sekatak, tak banyak disadari akan bahaya
negatifnya. Padahal kerugian yang ditimbulkannya jauh lebih besar dan meluas,
ketimbang perolehan keuntungannya, yang mengancam nyawa dan kerusakan
lingkungan.
BULATAN
matahari hampir berada di atas kepala. Panas terik mulai menghujani tubuh.
Pakaian yang menempel di badan basah keringat. Siang itu, saya sedang berada di
Pelabuhan Ancam, Desa Ardi Mulyo, Kecamatan Tanjung Palas Utara, Kabupaten
Bulungan, Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara).
Di Ancam
hanya melihat-lihat sejenak suasana infrastruktur pelabuhan, satu di antaranya
tanggul dermaga yang mulai timbul benih-benih longsor. Hawa panas mataharinya
kala itu begitu terasa. Tidak lama kemudian, saya menaiki perahu speedboat, pergi menuju ke Desa Sekatak Buji
melalui jalur sungai, pada Sabtu 31 Oktober 2015.
Alasan
menggunakan transportasi air karena jarak tempuhnya lebih singkat ketimbang
melalui jalur darat. Naik perahu, hanya butuh setengah jam saja, sementara naik
mobil, bisa memakan waktu satu jam lebih.
Lokasi Desa
Sekatak Buji berada di Kecamatan Sekatak, Kabupaten Bulungan, Provinsi Kaltara.
Desa ini terdapat banyak hamparan perkebunan sawit. Saya pergi ke desa ini tidak sendiri, namun ikut menumpang bersama
rombongan Penjabat Bupati Bulungan Syaiful Herman dan Kapolres Bulungan, AKBP Ahmad
Sulaiman yang juga membawa puluhan anak buahnya.
Ada dua
perahu speedboat yang mengangkut orang-orang ke Desa Sekatak Buji. “Kepala
Dinas Pertambangan. Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan ikut saya. Yang tidak
berkepentingan, tidak usah ikut ke lokasi,” tegas Syaiful.
Pergi ke Desa
Sekatak Buji untuk meninjau lokasi pertambangan emas ilegal, yang digarap oleh
oknum-oknum masyarakat yang tidak bertanggungjawab. Tim reskrim Polres Bulungan
beberapa minggu yang lalu telah menemukan titik lokasinya.
Selama di
perjalanan menuju Desa Sekatak Buji, dua perahu speedboat menerobos aliran
sungai Sekatak yang berwarna agak coklat hijau. Melewati bentangan hutan bakau
yang hijau permai, sesekali melihat beberapa burung bangau putih nemplok di semak-semak pohon bakau.
Singkat
cerita, kami tiba di lokasi, menepi di dermaga Desa Sekatak Buji. Dermaganya
berkondisi alami, daratannya masih tanah merah, tanggul-tanggul pinggiran
dermaga terbuat dari gelondongan pohon-pohon besar dan tidak dilengkapi atap
peneduh.
Tidak jauh
dari bibir dermaga itu, terdapat sebuah papan kayu yang berdiri, memuat
keterangan tulisan, “Selamat Datang di Perkebunan Sawit Bulungan Estate.” Para
rombongan meninggalkan dermaga, menggunakan mobil bak terbuka jenis off road
yang difasilitasi perusahaan perkebunan sawit.
Memakai tipe mobil-mobil
tersebut harap maklum, sebab medan jalan yang kami lintasi ialah tanah yang bergelombang,
dataran yang cadas, jalanan menanjak dan menurun, serta berbatu dan berlumpur. Jika
memakai mobil jenis biasa, tentu akan lama sekali tiba di lokasi.
Naik mobil
bersama seorang sopir, yang sudah setahun bekerja pada sebuah perusahaan sawit
setempat. Selama dalam perjalanan menuju ke lokasi tambang ilegal, sopir ini
bercerita, praktik tambang ilegal ada di atas perbukitan. Sudah berlangsung di
pertengahan tahun.
“Mereka
datang berkelompok. Kadang sampai ada yang membuat tenda darurat untuk
persinggahan jika hujan turun. Kadang juga buat tidur, menginap berhari-hari,”
tutur pria berbadan tambun dan gelap ini.
Sebelum tiba
di lokasi pertambangan, rombongan mampir sejenak di sebuah markas perusahaan sawit
yang jaraknya sekitar 20 menit dari dermaga, untuk bersilaturahmi dengan
beberapa pekerja sawit, warga, dan manajemen perusahaan.
Tidak lama kemudian,
rombongan melanjutkan ke sasaran utama. Sengatan matahari menemani perjalanan. Kala
itu, langit biru yang dilengkapi kapas-kapas awan putih adalah pemandangan yang
dilihat mata, menandakan cuaca sedang cerah.
Deretan
mobil-mobil terus melaju, membelah jalan yang dipagari pohon-pohon sawit yang
belum berbuah matang. Ada lima mobil yang iring-iringan mengular panjang ke
belakang. Yang paling depan ialah mobil yang memuat Penjabat Bupati, Ketua
Pengadilan Negeri Tanjung Selor dan Kapolres Bulungan.
Jarak langkah
antara satu mobil dengan mobil yang lain terjaga, sekitar 20 meter, supaya saat
gas ditancap menanjak tinggi mobil tidak mengalami tabrakan beruntun. Menjaga
saja agar selamat, sebab jarang yang mulus kala melaju di daratan tinggi yang
curam.
Lubangnya Dilengkapi Selang Memanjang
Ketika tiba
di tempat yang tepat, yang memakan waktu sekitar 45 menit, hasilnya nihil.
Tidak ada orang-orang yang melakukan aktivitas pertambangan. “Disini tempat
mereka menambang. Mereka sepertinya tahu kalau kita akan kesini,” ungkap Ahmad,
tangannya sambil menunjukkan ke arah lahan tambang.
Para pejabat
teras tersebut pun tidak sungkan mendekati ke lokasi tambang. Satu di
antaranya, Pj Bupati, “Dalam sekali lubangnya. Gelap. Ada (genangan) airnya.
Bagaimana caranya mereka menggali ya,” tanya Syaiful, yang sambil melongkokkan
kepalanya ke bawah bagian salah satu galian lubang.
Desa Sekatak Buji Kabupaten Bulungan Kalimantan Utara (Photo By Budi Susilo) |
Lubang itu
sebagai tempat lokasi penggalian bongkahan, yang dipercaya ada kandungan
material logam emas. Terlihat lubang tersebut berbentuk persegi, berukuran
sekitar 90x90 Centimeter. Bagian dalam lubang itu pinggirannnya diberi papan
yang fungsinya untuk mengindari longsoran.
Jumlah lubang
yang terlacak di awal, sekitar ada delapan lubang, baik itu yang masih baru maupun
lubang lama. Setiap pinggiran lubang, ada ciri dua apitan balok yang digunakan
sebagai sanggahan penarik karung hasil galian, layaknya cara kerja alat timba
air.
Juga
dilengkapi selang dan plastik transparan yang berukuran panjang, menjuntai ke
bawah lubang. Diduga, selang dan plastik ini dimanfaatkan sebagai alat saluran
pernapasan bagi penambang yang ada di dalam lubang. “Mereka membuat lubangnya
sempit sekali. Saya sendiri (tubuhnya) kalau masuk ke dalam lubang ini
sepertinya tidak muat,” tutur Syaiful, terheran-heran.
Tambang Liar Banyak Ruginya
Menurut
Kapolres, lokasi pertambangan masih aktif. Ini didasarkan pada temuan barang
bukti berupa selang dan plastik yang berkondisi masih bagus, belum usang
robek-robek. Bekas galian lubangnya pun masih lembab, dan ada beberapa lubang
yang ditutupi dengan papan sebagai kamuflase.
“Timbun semua
lubang-lubangnya. Diratakan semua, jangan ada yang tersisa. Amanakan beberapa
barang bukti yang ada. Mulai hari ini tidak ada lagi pertambangan disini,”
tegas Sulaiman, yang memerintahkan ke anak buahnya yang juga berada di lokasi.
Tak lama
kemudian, Kapolres bersama Pj Bupati meninggalkan anak buahnya. Pucuk pimpinan
ini turun bukit, mengarah ke pemukiman penduduk di Balai Pertemuan Umum, Desa
Sekatak Buji, Jl Lapangan. Di bangunan rumah panggung ini, Kapolres memberikan
edukasi kepada seluruh warga Sekatak, terkait pertambangan ilegal.
Katanya,
pembiaran praktik tambang ilegal itu bisa meresahkan kehidupan dan melanggar
aturan perundang-undangan.[1]
Ancaman kematian bagi petambang begitu besar, dengan melihat kondisi galian
lubang yang seperti itu.
Termasuk
masyarakat yang tidak ikut menambang juga kena imbasnya karena lingkungan
rusak. Merkuri atau air raksa (Hg) zat yang mudah diperoleh dan penggunaannya
sangat sederhana.
Namun
penggunaan ini berbanding terbalik dengan dampak yang dihasilkannya, terutama
pada lingkungan alam dan kesehatan manusia. Prakteknya, merkuri dipakai sebagai
bahan pengikat biji emas yang banyak digunakan petambang emas liar atau
tradisional.
Penggunaannya,
merkuri dicampur dengan biji emas dan kemudian merkuri akan menyatu bersama
emas membentuk amalgam. Biasanya, proses
pengayakan bongkahan menggunakan zat merkuri, sisa-sisanya akan terbuang ke
aliran sungai.
“Air yang
biasa buat kita mandi dan mencuci pakaian ikut tercemar. Ikan-ikan di sungai
kena merkuri. Lalu ikannya kita tangkap. Ikannya yang sudah kena merkuri kita makan.
Kemudian zat merkuri masuk ke dalam tubuh. Kita akan kena pengaruhnya,”
ungkapnya, dihadapan puluhan warga.
Nantinya,
mereka yang positif terkena dampak merkuri akan mengalami gejala gangguan
koordinasi otot, gangguan pada selaput mata dan saluran pernapasan, gangguan
pendengaran, merusak kulit dan lumpuh fisik, gagal ginjal, mengalami tuli, daya
tahan tubuh berkurang, keguguran janin pada ibu hamil dan cacat pada bayi.
Menanggapi
hal itu, satu di antara tokoh masyarakat Sekatak, Usnan Jambir, 48 tahun, menjelaskan,
mewakili masyarakat adat, setelah mengetahui dampak-dampak buruk tambang
ilegal, menolak adanya tambang emas liar.
“Saya nanti
akan membuat surat penegasan penolakan tambang emas liar ke semua kepala desa
yang ada di Kecamatan Sekatak. Untuk bisa mengawasi dan melarang daerahnya
melakukan praktik penambangan emas ilegal,” tegas pria yang menjabat Ketua Adat
Bulusu Sekatak ini.
Menurut
sumber terpercaya, kegiatan pertambangan ilegal itu dilakukan oleh orang-orang
yang berasal dari luar daerah Sekatak. Seperti di antaranya dari wilayah Bolaangmonodow
Sulawesi Utara dan Gorontalo.
“Didatangkan
dari Sulawesi karena punya pengalaman, membuat lubang tambang. Mereka hanya
dijadikan pekerja lapangan. Yang memberi sokongan modal kemungkinan dari
orang-orang di Kaltara.”
Sementara,
terpisah, pengakuan Polres Bulungan, pihaknya sedang mendalami kasusnya. Waktu
itu ada 23 orang pelaku di lapangan dan kemudian dikerucutkan menjadi 4
tersangka yang telah diajukan ke meja hijau.[2]
Kepolisian sedang fokus mengadili, dan sambil berusaha membongkar siapa dalang
dibalik itu semua. ( )
Komentar
Posting Komentar