DESA JELARAI SELOR | BULUNGAN | KALIMANTAN UTARA
Tersasar
ke dalam Desa Jelarai Selor
MEMULAI perjalanan dari Jalan Rambai Padi mengarah ke
Jalan Jelarai Raya, Kabupaten Bulungan di siang hari. Saya pergi sendiri menggunakan
sepeda motor. Saya sampai menyasar di daerah Jalan Trans Kaltim. Kondisinya
sungguh tidak nyaman, perjalanan sangat tidak mengenakkan.
Melintasi Jalan Trans Kaltim dengan menggunakan sepeda
motor ibarat bunuh diri. Jalanan kawasan ini tidak mulus, berdebu dan
berkerikil, serta banyak sekali lalu-lalang kendaraan truk.
Akhirnya saya tidak melanjutkan perjalanan, balik arah.
Dan peristiwa inilah yang kemudian membuat saya bertemu dengan sebuah desa yang
masih banyak dihuni masyarakat Dayak.
Kala itu, hari Sabtu 7 Maret 2015 siang. Saya melihat
sebuah jalan bernama Jalan Bilung Lung. Ini nama jalan yang unik, saya belum
pernah mendengarnya. Tanpa berpikir panjang saya pun mencoba masuk ke lorong
jalanan ini.
Memasuki daerah ini saya melihat lahan pekuburan khas orang Dayak. Terlihat dari ornamen-ornamen makamnya dihiasi ukiran-ukiran kayu khas dayak. Masuk lebih dalam, ternyata tembus ke sebuah tempat bernama Desa Jelarai Selor.
Desa ini masih masuk Kecamatan Tanjung Selor, Kabupaten
Bulungan, Provinsi Kalimantan Utara. Rumah-rumah warganya tidak berhimpitan,
masih banyak lahan yang kosong. Sebagian besar rumah warganya pun bermodel
rumah panggung yang terbuat dari kayu.
Saat saya melintasi jalan turunan, yang menuju arah
perkampungan desa ini, kedua mata saya disuguhkan sebuah pemandangan bangunan
rumah adat yang besar. Rumah adat ini terdapat papan keterangan yang
bertuliskan, Uma Biling Lung Jelarai Selor.
Bangunan rumah itu berdiri di sebuah lapangan yang masih
luas, ditumbuhi rerumputan pendek yang hijau. Sepertinya lahan ini juga
berfungsi sebagai lapangan sepak bola, terlihat di bagian sisi kanan dan kiri
pinggir lapangan terdapat tiang gawang.
Saya susuri jalan utama desa ini sampai ke ujung. Jalan
yang paling ujung sudah tidak bisa lagi dilewati kendaraan bermotor sebab
jalannya sudah setapak, tidak beraspal, sulit dijelajah dengan sepeda motor.
Saya pun balik arah.
Tidak berselang lama, saya berjumpa dengan anak-anak
setempat. Mereka rupanya senang untuk dimintai photo yang kebetulan saya sedang
sibuk mengambil gambar suasana desa. “Ayo Om, photo kesini Om,” pinta
anak-anak, yang kemudian saya turuti permintaan mereka.
Usai berphoto-photo, saya pun bergegas melanjutkan
perjalanan ke arah ‘pintu masuk’ desa. Di tengah perjalanan, persisnya sebuah
pertigaan jalan desa, saya berhenti sejenak, melihat anak-anak muda dan remaja
setempat asyik bermain kelereng di sebuah halaman rumah yang masih bertanah. Mereka
tampak menikmatinya, desa seakan jadi ramai oleh ulang permainan mereka.
Kalau ada yang bermain kelereng serperti itu, saya jadi
ingat masa kecil, waktu masih tinggal di daerah Cempaka Baru Jakarta Pusat,
sering bermain kelereng bersama teman-teman sebaya saya di lingkungan halaman
Sekolah Dasar Cempaka Baru.
Nah, kemudian, tak jauh dari tempat permainan kelereng
itu, saya menyempatkan diri mengobrol dengan seorang ibu, yang saat itu sedang
duduk bersantai di depan sebuah warung kecil.
Kami berbincang-bincang. “Waktu banjir daerah disini
banjir ya bu,” tanya saya. Dia menuturkan, Desa Jelarai Selor kerendam banjir
karena letak desanya dilewati anak Sungai Kayan. “Desa kami kebanjiran, tapi
tidak sampai masuk ke rumah saya. Rumah-rumah disini masih model panggung,”
ujarnya.
Kebanyakan, warga-warga desa disini tidak banyak
mengungsi. Warga hanya menetap di dalam rumah saja. Kalau pun mau berpergian
keluar rumah, menggunakan perahu ketinting atau benda mengapung lainnya. “Di
desa kami tidak ada korban,” katanya yang kala itu mengenakan baju putih. ( )
sederhana, namun sangatbagus penulisannya, trimd
BalasHapusTerimakasih ya, sudah mau berkunjung ke Blog ini, Salam kenal ya Bro :D
BalasHapusterima kasih informasinya mas Budi.
BalasHapus