KEMBALI KE FITRI

Kembali Ke Fitri


IDUL Fitri momen berkumpulnya masyarakat muslim untuk merayakan kemenangan, usai melawan hawa nafsu di bulan ramadhan selama tiga puluh hari lamanya. Idul Fitri, liburan yang setiap setahun sekali yang memiliki banyak makna.  

Masyarakat kota yang mencari rezeki di pusat kota, pulang ke kampung halaman bertemu sanak famili. Berjumpa orang tua kandung, sahabat, saudara, dan teman lama, bersilaturahmi melepas rindu, menciptakan kedamaian. 

Kebahagiaan ini turut diiringi pula dengan kemenangan yang membawa jati diri sebagai manusia yang fitrah, suci dari dosa-dosa yang nista. 

Berpuasa ramadhan adalah upaya untuk mengendalikan hawa nafsu yang merusak jiwa dan raga. Berpuasa sebagai sarana pemupukan rasa iman dan ketakwaan kepada Allah SWT. 

Memang, untuk melawan hawa nafsu bukanlah pekerjaan ringan, namun tugas yang sangat berat. Godaan hawa nafsu yang setiap hari menghantui manusia adalah cobaan tersulit untuk menghindarinya.

(sketsa by budi susilo)

Dalam kutbah sholat sunnah Idul Fitri di Masjid At Taubah, Kelurahan Larangan Utara, Kecamatan Larangan, Kota Tangerang, Banten, Ustad Mulham mengingatkan kembali ke tempo dulu, saat jaman rasulullah SAW, dalam peristiwa perang Badar.

“Berperang secara fisik dengan kaum kafir masuk jihad yang kecil. Karena jihad yang besar itu adalah berperang, melawan hawa nafsu yang ada di diri masing-masing,” tuturnya pada Senin 28 Juli 2014.

Menurutnya, suatu kaum atau bangsa akan jatuh terpuruk karena hawa nafsunya. Suatu bangsa akan hancur berantakan jika dalam kehidupannya mengandalkan hawa nafsu semata. “Hidup berfoya-foya mengikuti hawa nafsu, tidak taat pada Allah,” urai Ustad Mulham.

Allah sebagai Maha Pengasih dan Maha Penyayang selalu menunjukan kasih sayang pada hambanya yang beriman. Ini dibuktikan dengan diberikan bulan ramadhan yang penuh rahmat dan berkah.

Perintah wajib untuk berpuasa ramadhan di dalam Al Quran sangat menyentuh orang-orang yang beriman. Ayat ini memberikan makna tersirat, akan rasa simpatinya Allah kepada hambanya yang beriman. “Mereka yang beriman pasti akan tersentuh hatinya,” ujarnya. 

Suatu kaum, katanya, beriman kepada Allah maka akan selalu menghidupkan malam harinya dengan sholat malam. Berdiam diri di masjid, membaca Al Quran, mendengar ceramah-ceramah agama, bersedekah, zakat. “Memupuk solidaritas sosial,” ungkapnya.

Bulan ramadhan yang mengandung ajaran Islam memiliki keutamaan dalam nilai-nilai pendidikan keimanan, yang memiliki makna pancasila, atau lima dasar ajaran pokok. 

Cerminan ini tergambar dalam ajaran Islam yang memerintahkan untuk ruku dan sujud dalam sholat. “Manifestasi pengakuan ketuhanan Allah yang Maha Esa, pengakuan keagungan Allah,” ujarnya.

Kemudian yang kedua, cermin perikemanusiaan yang adil dan beradab, yang menegaskan ajaran manusia harus juga bisa merasakan solidaritas. Harus bisa merasakan nasib saudara yang lainnya. “Allah akan menolong bila dia mau menolong saudaranya sendiri,” tuturnya.

Cerminan ketiga, mengikat rasa persatuan. Lewat ini akan ada ikatan ilahiah, bukanlah ikatan berdasarkan materialistik. Memegang teguh pada ajaran agama, dan tidak untuk bercerai-berai.

Keempatnya, kunjung-mengunjungi satu sama lain, yang melandaskan kerakyatan. Ini bagian dari tradisi yang sudah berkembang di Indonesia, adanya gelaran halal bi halal serta pelaksanaan musyawarah sebagai solusi mengatasi masalah.

Yang kelima, cerminan keadilan sosial, yang dianjurkan untuk selalu bersedekah, infak, zakat, dengan tujuan menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial, sebab Allah memerintahkan untuk berbuat adil. “Merekatkan kesatuan kita,” tegasnya. ( )

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

CANDI GARUDA YOGYAKARTA

MACACA NIGRA PRIMATA SEMENANJUNG MINAHASA I