MENGEJAR FAJAR KAYUWANGI
cerita fiksi
GEMERICIK air sungai terdengar merdu. Inilah yang
membuat Dadu tertarik duduk di pinggiran sungai Kayuwangi. Dadu
sejak subuh tadi sudah lama duduk di pinggiran sungai yang masih bersih
dari sampah-sampah rumah tangga.
Ya, inilah sungai Kayuwangi yang disukai Dadu, sebuah
sungai yang dimiliki Desa Kayuwangi Kabupaten Semarang, yang sampai sejauh ini
belum tersentuh oleh birahi perkotaaan, belum tercemar limbah-limbah pabrik
industri.
Di tepi sungai, Dadu duduk seorang diri.
Dia hanya ditemani secarik kertas putih yang polos, papan kertas yang
terbuat dari triplek, dan sebatang pencil yang ia beli di pusat
kota. Dadu memang bukan lagi bocah lugu yang dahulu sangat takut dengan
tempat sepi dari kerumunan orang-orang.
Kini Dadu telah tumbuh menjadi orang dewasa,
umurnya sudah beranjak ke 25 tahun pada November nanti. Tak hanya itu,
ciri kedewasaannya diiringi juga dengan daya kreativitasnya yang semakin
bergejolak, dan ia selalu bertekad untuk terus mengasahnya agar nanti,
cita-cita luhurnya sebagai orang berguna, bisa terlaksana.
Kedua bola matanya yang hitam terus menatap ke arah
timur, yang tersuguhkan hamparan sawah dan pegunungan hijau dengan
aksesori gumpalan awan-awan putih yang menyerupai kapas. Sawah dan
gunung yang bernama Gajah Mungkur itu dianggap oleh Dadu sebagai sesuatu
hal yang menawan.
Alam semesta raya (skesta by budi susilo) |
"Sungguh Indah alam ini. Manusia pasti tidak akan
bisa membuatnya. Semakin yakin kalau Tuhan itu memang ada. Alam sebagai
bukti kalau Tuhan itu Maha Kuasa, sang Maha Pencipta," kata Dadu dalam
benak hatinya.
Sinar fajar mulai berbinar di balik gunung itu, hati
Dadu pun semakin riang tak karuan. Sangat bahagia dapat merasakan atmosfir alam
raya desa. Dadu semakin betah duduk berdekatan dengan
sungai Kayuwangi yang jernih dan dangkal.
Dadu tak mau beranjak dari tempat duduknya yang hanya
berlapiskan rumput hijau dan beberapa batu-batu kerikil. Alasannya, Dadu
ingin merekam proses merekahnya sang fajar yang menempel di pegunungan itu
di atas kertas putihnya.
Dadu ingin menggoreskan tinta pencilnya di lembaran
kertas yang dia bawa, menjadi sebuah sketsa pemandangan berjudul alam pagi
Desa Kayuwangi.
Semakin fajar naik tinggi ke atas, melebihi puncak
gunung Gajah Mungkur, maka Dadu pun semakin gusar. Hatinya semakin
berdebar-debar kalau hari telah mendekati siang bolong. Dia seakan
dikejar oleh waktu.
Dirinya merasa dipaksa, harus tergesa-gesa mengejar
momen yang tak boleh terlewatkan. Celaka jika tak terkejar, sebab tentu saja,
Dadu tak akan sukses menciptakan sebuah karya seni sketsa gambar
pemandangan pagi di pegunungan Kayuwangi. ( )
Komentar
Posting Komentar