KELANA KOTA TUA

Kelana Kota Tua


MENYUSURI jalan beraspal di Jalan Maritim Jakarta Utara pada Sabtu 21 Juni 2014 pagi hari, sekitar jam setengah tujuh terbilang cukup sukar, membuat rasa kesal. Pasalnya, jalanan agak berdebu dan temukan jebakan lubang-lubang kecil. 

Kala itu, saya mengenakan sepeda motor, melintasi Jalan Maritim dengan tujuan mengarah ke pelabuhan laut, yang katanya punya sejarah panjang di Kota Jakarta. Pelabuhan yang dimaksud adalah Pelabuhan Sunda Kelapa. 

Soal jumlah kendaraan bermotor yang beredar di jalan terbilang masih sedikit, sehingga tidak sampai harus terjebak oleh ‘penyakit kota’ berupa kemacetan lalu-lintas. Laju motor saya bisa melanggang kangkung.

Setibanya di depan pintu gerbang Pelabuhan Sunda Kelapa, tampak sudah ada beberapa petugas jaga, berpakaian kemeja biru muda khas Pelindo. Petugas berjenis kelamin pria ini berdiri di depan pos pintu masuk pelabuhan. 

Memang, buat mereka yang memasuki komplek pelabuhan tidak asal sembarangan, mesti memenuhi persyaratan yakni harus membayar retribusi, kecuali mereka yang datang dengan berjalan kaki, tak membawa kendaraan. 

Berkumpul bersama di dermaga Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara, Sabtu 21 Juni 2014. Ditempat ini dahulunya dikenal sebagai satu di antara pelabuhan laut tersibuk di dunia. (photo by Komunitas Historia Indonesia)

Khusus roda dua seperti saya, dikenakan biaya tiga ribu rupiah. Biaya ini tidak dibatasi waktu. Karcis berharga tiga ribu rupiah bisa dipakai sepuasnya menikmati komplek Pelabuhan Sunda Kelapa. 

Kendaraan truk yang masuk ke Pelabuhan Sunda Kelapa saat itu terbilang masih sedikit. Hanya satu dua truk yang masuk, jadi atmosfir seputaran pelabuhan masih berudara sejuk, tak dipenuhi asap klnalpot truk.

Saya masuk melewati gapura Pelabuhan. Laju motor, saya putar sana, putar sini. Masuk lorong ke satu, lanjut ke lorong berikutnya. Ini saya lakukan karena mencari titik lokasi start kegiatan sepeda ria Kelana Kota Tua.

Dan tak sampai berjam-jam, berkat info akurat dari sobat bernama Asyh Yanti melalui telepon genggam, akhirnya saya dapat keterangan tempat berkumpulnya para pesepeda Kelana Kota Tua. 

Sih, emang lokasi persisnya dimana ya ? Kalau dari pintu masuk harus ke arah mana nih ?,” tanya saya lewat telepon kepada Asyh. “Gampang. Dari pintu masuk langsung terus saja sampai mentok. Terus ambil ke kiri. Cari yang ada mesin ATM, semuanya sudah kumpul disini,” jawab si Asyh. “Oke sip, sip,” sahut ku. “Tliiiit,” telepon genggam pun mati. 

Setibanya di lokasi kumpul, rupanya beberapa orang masih ada yang menganggur. Sebab keberlangsungan acara Kelana Kota Tua belum berjalan, masih menunggu beberapa peserta yang belum hadir. 

Di lokasi, saya pun menyibukan diri tengok kesana-kemari untuk mencari lahan parkir motor yang aman. Dan saya menemukan, saya memutuskan parkir sepeda motor di perkantoran Pelindo, yang tak jauh dari lokasi acara.  

Usai parkir, lalu saya ikut berkumpul ke tengah para pesepeda ria Kelana Kota Tua. Dan belum lama menghela napas, tiba-tiba langsung disodorkan sarapan roti dan minuman air putih berwadah botol plastik berukuran 600 mililiter. 

Absen dulu mas. Registrasi ulang. Biar terdaftar! Ini ada sarapan sedikit dari kami,” imbuh seorang panitia berjenis kelamin wanita yang masih berumur sekitar duapuluhan dengan tampilan busana kaus merah menyala, dan setelan celana panjang berbahan jeans.  

Jadi acaranya sangat sederhana. Menemukan lokasinya mudah dijangkau. Persisnya berdekatan dengan penjangkaran kapal-kapal laut. Pagi itu, memang masih tampak kapal-kapal laut bertubuh besar berjejer, terpakir dipinggir dermaga. 

Bentuk kapalnya tak tanggung-tanggung, semua kapal yang berjumlah puluhan berukuran besar. Untuk satu kapal, ukurannya bisa hampir delapan kali tubuh hewan gajah, pokoknya bisa memuat sampai ratusan ton ikan.

Sykurnya lagi, sepanjang dermaga pun sepi. Tidak ada lalu-lalang yang ramai berjubel oleh kendaraan bermotor. Sekalipun ada, itu hanya satu, atau dua sepeda motor dan sepeda kayuh melintasi sepanjang jalan dermaga Pelabuhan Sunda Kelapa.    

Nah, berkaitan dengan event Kelana Kota Tua, merupakan kegiatan yang diselenggarakan oleh Komunitas Historia Indonesia, sebuah komunitas para pecinta sejarah yang didirikan oleh Asep Kambali. 

Konsep kegiatan Kelana Kota Tua pun terbilang bernuansa kekeluargaan. Ikatan kebersamaan sangat dikuatkan, dan kebanyakan diikuti oleh para muda-mudi yang masih mengenyam di bangku sekolah dan perguruan tinggi.

Mereka yang ikut Kelana Kota Tua diwajibkan berkelana memakai sepeda kayuh. “Bawa sepeda sendiri dari rumah langsung kesini. Lumayan jauh sih, tapi sekalian olah-raga. Mumpung lagi libur kerja,” kata Nugie, yang membawa sepeda balapnya di even Kelana Kota Tua kali ini.  

Tapi bagi yang tidak sempat membawa sepeda, tenang saja karena sudah disediakan puluhan sepeda kayuh gratis berjenis sepeda onthel yang dimiliki oleh komunitas ojeg sepeda Kota Tua Jakarta. 

Mereka ini para tukang ojeg kebanyakan sudah berumur tua, dan sangat berpengalaman untuk wilayah Kota Tua. Tukang ojeg sangat berbaik hati, mau mengantarkan ke lokasi-lokasi bersejarah. Jadi, buat yang merasa lelah menggenjot sepeda, tentu akan dibonceng. 

Sepedanya bebas pilih. Bisa dipakai sesuai selera. Mau mengemudi sendiri boleh. Atau mau diboncengkan sama pak Ojeg juga boleh. Terserah saja,” tutur Dimas Ekamitra Nugraha, yang kini berkecimpung sebagai relawan Komunitas Historia. 

Rute Kelana Kota Tua mencakup daerah Kota Tua, yang dahulu pernah ‘disentuh’ oleh orang-orang Portugis, Arab, Tiongkok, pemerintahan kerajaan Pajajaran, pemerintahan kerajaan Demak, dan pemerintahan Hindia Belanda. 

Selain keliling-keliling di komplek Pelabuhan Sunda Kelapa, juga ke daerah lain, di antaranya ke bangunan Menara Syahbandar jaman Portugis, gedung VOC, jembatan Kota Intan, stasiun kereta api Beos, dan Toko Merah. 

Juga berkelana ke Museum Fatahillah, Museum Wayang, Museum Keramik dan Seni Rupa. Intinya, mengenali sejarah peradaban manusia melalui museum. Sungguh kegiatan yang kaya manfaat. Menambah pengetahuan dan memperluas cakrawala kebangsaan.

Kegiatan itu juga berkaitan dengan perayaan hari ulang tahun Kota Jakarta yang ke 487. Kata relawan Komunitas Historia, Achmad Sofiyan mengatakan, Kota Jakarta punya sejarah perjuangan yang panjang, terutama keberadaan Kota Tua yang sejak lama telah dikenal sebagai daerah yang ramai, dianggap strategis, dan menjadi kawasan perkotaan kaum urban.

Berkumpul memupuk rasa kekeluargaan di pelataran Museum Fatahillah Jakarta pada Sabtu 21 Juni 2014. Belakangan lingkungan Kota Tua Jakarta akan dilakukan revitalisasi agar menjadi tempat favorit wisata bertaraf international. (photo by Komunitas Historia Indonesia)

Nah, laju sepeda kumbang di jalan aspal mulus Pelabuhan Sunda Kelapa berlangsung sekitar jam delapan kurang. Rombongan para pesepeda keluar dari pelabuhan, mengarah ke menara Syahbandar. 

Sebelum ini, kami semua berjalan kaki melihat-lihat geliat Pelabuhan Sunda Kepala. Memandangi para buruh mengangkut barang. Melihat kapal yang berwarna-warni berdiam diri di dermaga pelabuhan. 

Saya sendiri dan teman-teman satu kelompok merasakan atmosfir pelabuhan yang tenang nan damai. Kami dibimbing seorang aktivis Komunitas Historia bernama Dimas Nugraha. Pria bertubuh gempal ini bercerita banyak kepada kami, mengenai sejarah pelabuhan tempoe doeloe dari A sampai Z.

Tentu saja, acara itu sangat berkesan dan membahagiakan. Seperti di antaranya Dara Vebry, wanita yang tinggal di daerah Kebon Jeruk Jakarta Barat ini mengungkapkan, senang bisa ikut Kelana Kota Tua. “Mengisi liburan dengan jalan-jalan. Ya senang bisa dapat wawasan sejarah,” katanya.

Hal sama dialami Chatarina Eka, pergi pagi buta ke Kota Tua naik Taxi. Walau matanya masih kantuk berat, masih setengah sadar, Eka tetap nekat berangkat dari rumahnya di Kota Tangerang Banten.

Menurut cerita darinya, ketika naik Taxi dari Ciledug Tangerang, dia salah mengucap kepada supir Taxi. “Gue bilang, Bang tolong antar ke pelabuhan Merak ya.” 

Tak disangka, permintaan Eka langsung ditolak supir Taxi. “Maaf mbak, Taxi-nya tidak boleh menjelajah sampai Pelabuhan Merak, terlalu jauh,” kata Eka mengulangi perkataan supir Taxi.

Dan dari situ, Eka langsung tersadar. Penolakan sang supir ibarat suara halilintar yang membangunkan dirinya dari tidur lelap. “Ouh iya salah. Bukan ke Pelabuhan Merak.  Gue yang salah hahaha,” ceritanya, mentertawakan dirinya sendiri.  

Sejak itulah dia langsung bilang, “Ouh ya Bang, maaf maksud saya itu mau ke Pelabuhan Sunda Kelapa. Maaf Bang, saya masih ngantuk nih, jadi salah ucap deh,” ungkap Eka, mengulangi pengalaman pahitnya itu. 

Yang lainnya, Maya Costanza, mengaku jauh-jauh dari Kota Bekasi untuk datang ke Kota Tua mengikuti Kelana Kota Tua demi untuk menambah wawasan sejarah. “Enaknya ikut gabung tidak dipungut biaya. Dapat makan siang. Aduh, kok perut saya jadi lapar ya, kapan nih kita dapat makan siangnya,” celetuknya yang diakhiri dengan muka mesam-mesem.   
    
Dan untung saja, puji Tuhan, cuaca sangat bersahabat. Selama kegiatan Kelana Kota Tua berlangsung, tanpa ada kendala guyuran hujan dan tiupan angin topan. Kami pun, dapat berbahagia, dan pintar bersama-sama. Selamat ulang tahun Kota Jakarta, kita tercinta. Jaya selalu ya. ( )

    

Komentar

  1. oooh kelompoknya kak dimas ya... makasih udah ikutan mas :D

    BalasHapus
  2. YUPS begitulah Hehehe Next, kemungkinan plesiran di Kampung Pekojan pada bulan Ramadhan ini, yah.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

CANDI GARUDA YOGYAKARTA

MACACA NIGRA PRIMATA SEMENANJUNG MINAHASA I