WORLD OCEAN BUSINESS FORUM | MANADO | SULAWESI UTARA
DI Manado, Sulut, telah berlangsung World
Coral Reef Conference, pada Rabu 14 Mei 2014 lalu. Di acara ini juga diselingi
pula kegiatan pertemuan World Ocean Business Forum (WOBF)[1]
yang dilangsungkan pada 14 sampai 15 Mei 2014 di Manado Convention Center.
Pelaksanaan event tersebut,
dibuat dalam format dua sesi yaitu membahas mengenai Coral Reef Ecosystem,
Sustainable Business, and Living serta Global Market Development.
Kegiatan WOBF diikuti ratusan peserta
dari 23 negara, termasuk dari Indonesia. Mereka adalah perwakilan duta besar,
utusan negara anggota Coral Triangle Iniciative (CTI), utusan negara
anggota Seaweed Association, anggota Ornamental
Fish International (OFI), Kamar Dagang dan Industri (KADIN)
Indonesia dan pelaku usaha perikanan, dan rumput laut.
Hadir pula biro wisata, akademisi
perguruan tinggi, anggota LSM dan anggota asosiasi. Jumlah peserta dari luar
negeri, mereka berasal antara lain dari, Argentina, Amerika Serikat, Australia
China, Brazil, Belanda, China, FInlandia, Perancis, Gambia, Jerman, Irak,
Malaysia, Norwegia, dan Pakistan.
Selain itu juga dugelar Coral Reef
Exhibition yang menghadirkan 50 booth dari para pelaku usaha kecil
menengah (UKM) bidang pengolahan ikan. Dari unsur pemerintah hadir sebagai
peserta antara lain, Dinas Kelautan Perikanan, Dinas Perdagangan, Dinas
Parawisata, dan sektor perbankan.
Selaku tuan rumah, Gubernur Sulawesi
Utara, Sinyo Harry Sarundajang mengatakan, penyelenggaraan bisnis forum ini
berangkat dari ide gemilang yang berasal pemerintah pusat, pemerintah daerah
dan pihak-pihak terkait. “Forum ini akan memberikan keuntungan bagi Indonesia
di bidang perikanan dan kelautan,” katanya.
Nantinya, janji Sarundajang, hasil
pertemuan dalam forum ini akan berkelanjutan. Caranya, ada koordinasi yang baik
antara KKP, pemerintah daerah yang wilayahnya memiliki basis perikanan dan
kelautan. “Kita akan bersama-sama menangani,” tegasnya.
Mengingat di tahun 2015 nanti, negara
Indonesia bersama negara Asia Tenggara lainnya akan mengalami angin baru ke
dalam bentuk komunitas masyarakat ekonomi ASEAN (Association of Southeast
Asian Nations).
“Daerah-daerah (di negara Indonesia)
yang punya potensi kelautan harus bisa mempersiapkan diri, untuk bisa masuk
menghadapi ASEAN 2015. Kita harus siap,” tutur Sarundajang.
Menurutnya, bisnis perikanan dan
kelautan di Indonesia, bahkan dunia sedang mengalami perkembangan yang bagus.
Istilah yang dikenal sebagai blue economy, jika dapat dimanfaatkan
secara baik, maka akan memberikan kontribusi yang luar biasa.
“Laut kita adalah masa depan kita.
Indonesia punya laut luas ketimbang wilayah daratan,” ujar Sarundajang yang
sudah dua periode menjadi Gubernur Sulawesi Utara.
WOBF tersebut, dihadiri dari berbagai
kalangan di antaranya pelaku usaha perikanan, rumput laut, lembaga sosial
masyarakat, pelaku pariwisata, lembaga riset dan perguruan tinggi, Dinas
Kelautan dan Perikanan Propinsi Kabupaten/Kota.
Sekertaris Jendral Ikan Hias
Internasional, Alex Ploeg mengatakan, pertemuan forum ini bagi
investor sangat berguna. Lewat forum ini, pelaku usaha dapat bertemu satu sama
lain dan bagian dari wujud pembuktian komitmen yang kuat dalam mengelola
keanekaragaman hayati secara berkelanjutan.
Sekertaris Jendral Ikan Hias International Alex Ploeg (photo by budi susilo) |
Sementara, Menteri Kelautan dan
Perikanan RI, Sharif Cicip Sutarjo, mengatakan, pertemuan WOBF adalah langkah
pemerintah dalam melakukan pengurangan emisi karbon.
Yang pasti, tegasnya,
semenjak adanya Undang-undang nomor 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, diharapkan tidak akan terjadi tumpang tindih.
“Pelestarian lingkungan kelautan
seperti terumbu karang akan banyak dialihkan, dari kementrian kehutanan ke
dirjen kelautan dan perikanan,” katanya.
Dalam kesempatannya,
Saut Hutagalung,
Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan
Perikanan RI mengatakan, pengembangan industri kelautan sangat prospektif.
“Industri tuna, terumbu karang untuk obat-obatan,” ujarnya.
Selama ini, Indonesia mampu hasilkan
19 juta ton ikan. Di tahun depan, target akan ditingkatkan menjadi 23 juta ton
per tahun. Hal sama investasi di bidang kelautan yang totalnya 4,2 milyar
menjadi 5 milyar lebih di tahun 2014 ini. “Peluang bagi kita,” katanya.
Selain itu tambahnya, Indonesia masuk
dalam kategori negara produsen ikan hias terbesar di dunia, mampu hasilkan 660
ribu ton, cakalang 400 ribu ton tongkol, dan 800 juta dollar ekspor tuna.
“Ekosistem terumbu karang kita harus
dijaga agar bisa berjangka panjang. Berbisnis tanpa merusak lingkungan hidup,”
tutur Saut.
Sulut Lumbung Hasil Laut
Pasaran industri perikanan Sulawesi
Utara sangat merajai dunia. Satu di antaranya dibuktikan oleh PT Sinar Pure
Foods International, yang secara statistik 99 persen hasil olahannya diekspor
ke pasar eropa 40 persen, Timur tengah 10 sampai 25 persen, Amerika Serikat 15
persen, Jepang 5 persen, dan Australia 5 persen.
Kata Ivonne S Peleh, Quality
Assurance Manager PT Sinar Pure Foods International, mengatakan, ikan hasil
tangkapan diambil dari wilayah laut Sulawesi. “Ada tuna, dan cakalang,”
urainya, pada Rabu 14 Mei 2014.
Dari kegiatan industri itu, ungkap
Peleh, perusahaanya sudah menerapkan industri berbasis ramah lingkungan. Sebab
dari hasil produksinya, tidak satu pun menjadi barang limbah. Dari daging ikan
sampai air buangan produksi dapat dimanfaatkan.
“Kami punya pengelolaan tepung ikan,
juga water treatment. Air limbah produksi diubah menjadi air nitrogen
yang bisa buat menyiram tanaman,” katanya.
Terpisah, Wali Kota Bitung, Hanny
Sondakh mengatakan, basis kota industri kelautan (Minapolitan) dinilai sudah
selangkah lebih maju, termasuk Kawasan Ekonomi Khusus sudah ada 10 investor
yang mau menanamkan modalnya. “Mereka tinggal menunggu kepastian hukumnya,”
ujarnya.
Namun, pasar perikanan Indonesia di
dunia masih terkendala. Menurut Thomas Darmawan, Chairman of The Indonesian
Fisheries Product Processing and Marketing KADIN, mengungkapkan, perlakuan
biaya ekspor ikan Indonesia ke Uni Eropa sangat berbeda bila dibandingkan
dengan negara Papua Nugini. “Indonesia masih dirugikan,” tuturnya.
Akan tetapi, janji Saut Hutagalung,
Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan
Perikanan RI akan mendekati ke Uni Eropa, membuat diplomasi lebih kuat ke
mereka.
Punya Nilai Sosial dan Ekonomi
Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil
Perikanan (P2HP), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Saut P. Hutagalung,
mengatakan bahwa wilayah CTI sebagai pusat keanekaragaman hayati perikanan
memiliki nilai sosial dan ekonomi yang tinggi.
"Wilayah CTI antara lain
menghasilkan ikan hias dan seafood yang bernilai ekonomi bagi jutaan orang di
wilayah itu dan sekitarnya," kata Saut.
Namun, kata Saut, wilayah CTI juga
menjadi wilayah yang paling terancam di dunia akibat overfishing, cara
penangkapan ikan yang merusak, dan polusi. Ancaman lainnya adalah tata ruang
yang tidak semestinya dan parawisata yang tidak ramah lingkungan, serta
pengaruh perubahan iklim.
"Dengan semakin meningkatnya
populasi dunia dan pertumbuhan ekonomi yang cepat, serta tekanan dari
perdagangan dunia, sektor bisnis yang bergerak di wilayah CTI semakin ketat
berkompetisi," kata Saut.
Karena itu, lanjut Saut, diperlukan
kemitraan bisnis pada wilayah CTI untuk mendorong tumbuhnya pembangunan yang
berkelanjutan, sehingga akan mendorong pula tumbuhnya bisnis-bisnis yang
berkelanjutan.
Menurut Saut, usaha yang dilakukan
melalui manajemen sumberdaya secara bertanggungjawab dan penanganan pemasaran
yang efektif dalam jangka panjang akan memberikan keuntungan bagi usaha,
termasuk keuntungan kelestarian lingkungan.
Saut menjelaskan, bahwa untuk
mengoptimalkan kontribusi dari sektor pesisir, ada 3 hal utama yang perlu
diperhatikan. Pertama, menekankan bahwa manfaat sektor pesisir dapat dinikmati
oleh seluruh pihak. Kedua, kontribusi perikanan secara langsung menyediakan
lapangan kerja. Dan ketiga, menyediakan penghidupan bagi masyarakat.
Dan lagi, Saut mengungkapkan, lebih
dari 90 persen perdagangan ikan hias dunia berasal dari hasil tangkapan dan
berkaitan erat dengan ekosistem terumbu karang.
Data menunjukkan, perdagangan
ikan hias dunia terdiri dari 14 hingga 30 juta ikan yang terdiri dari sekitar
1.800 spesies ikan karang, 1,5 juta karang hidup dengan 150 spesies, serta
1.814 ton koral skeleton.
"Dari 200 spesies ikan yang
diperdagangkan (10 persen dari total 2.250 spesies ikan hias) berasal dari
Indonesia," ungkap Saut. "Indonesia merupakan produsen kelima ikan
hias dunia dan khusus untuk ikan hias laut, Indonesia memasok 80 persen dari
kebutuhan pasar ikan hias laut dunia," papar Saut.
Karena itu, menurut Saut, pengembangan
budidaya koral menjadi upaya alternatif dalam pelestarian ekosistem terumbu
karang, dan menjadi pendorong peningkatan pendapatan masyarakat pesisir.
Keberlanjutan Sektor Perikanan
Saut Hutagalung menjelaskan bahwa
dalam rangka mendukung keberlanjutan sektor perikanan, Sustainable Fisheries
Partnership (SFP) telah menginisiasi kerjasama antara KKP dengan eksportir
tuna di Indonesia. Kerjasama bertujuan untuk melaksanakan Fisheries Improvement
Program pada perikanan tuna longline di Benoa, Bali.
Dalam program ini SFP mendukung
penggunaan Observer Peneliti untuk memastikan jumlah hasil tangkapan dan
pengisian log book kapal milik eksportir tuna. "Kerjasama ini sangat baik
dan perlu dilanjutkan oleh perusahaan perikanan lainnya," ujar Saut.
Saut menegaskan, industri perikanan
tuna masih memiliki prospek pengembangan yang cukup baik sepanjang
memperhatikan pengelolaan perikanan tuna yang berkelanjutan.
Selain itu, untuk meningkatkan daya
saing produk perikanan Indonesia, KKP telah mengembangkan program Seafood
Savers. Seafood Savers bertujuan untuk membantu dan memfasilitasi industri
pengolahan (eksportir) perikanan untuk memenuhi standar MSC dan ASC.
Untuk itu, kata Saut, Seafood Saver
bekerjasama dengan Ditjen P2HP, KKP, Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi DKI
Jakarta, Sumatera Utara, dan Jawa Timur akan mengadakan Bisnis Forum tentang Fisheries
Improvement Program (FIP), sebagai tindak lanjut dari matriks FIP yang
telah disusun oleh WWF sejak 2009.
Saut juga menekankan pentingnya
Sertifikasi Ecolabel di pasar internasional khususnya Eropa yang telah menjadi
keharusan (wajib). "Untuk itu Indonesia berkomitmen memfasilitasi industri
perikanan dalam negeri untuk mendapatkan sertifikat MSC," kata Saut.
Saat ini pemerintah Indonesia
bekerjasama dengan WWF memfasilitasi proses mendapatkan sertifikat MSC untuk
komoditi tuna mata besar, tuna sirip kuning, cakalang, kerapu, kakap merah, dan
rajungan.
Serta Indonesia juga sedang dalam
proses mendapatkan sertifikasi MSC untuk perikanan pole and line di
Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, serta handline di Samudera Pasifik
dan di Samudera Hindia.
Saut mengingatkan, untuk memenuhi
persyaratan pasar global yang semakin ketat disarankan Indonesia untuk terus
mempercepat proses pemenuhan persyaratan memasuki pasar global khususnya Eropa
dan Amerika Serikat.
Untuk rumput laut, saut mengingatkan
perlunya peningkatan kerjasama lingkup negara-negara ASEAN dalam rangka
harmonisasi produksi bahan baku rumput laut dan produk hasil olahannya.
Perlu juga penyusunan pemetaan
pengembangan industri rumput laut di Indonesia untuk pengembangan industri
rumput laut secara terintegrasi yang tersambung dari hulu hingga hilir.
Selain itu, perlu penelitian dan
pengembangan jenis rumput laut yang mempunyai prospek bisnis tinggi, yaitu
jenis brown algae (alginat) dan green alga (ulva) khususnya untuk
industri kosmetik. "Perlu research and development, mulai dari
pemilihan lokasi, dan bibit, hingga pengembangan teknologi pengolahan,"
kata Saut.
Dalam rangka pembangunan perikanan
yang berkelanjutan, kata Saut, pengembangan industri ikan hias laut dan coral
reef di masa datang diarahkan pada kegiatan budidaya coral atau
transplantation. Penting pula peningkatan penelitian dan pengembangan oleh
Balitbang Kelautan dan Perikanan serta perguruan tinggi.
Selain itu perlu juga upaya menyelesaikan
hambatan-hambatan berkaitan dengan kelangsungan usaha ikan hias laut di masa
datang.
Masalah yang dihadapi antara lain, dualisme pengelolaan perikanan (fisheries
management) antara Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian
Kehutanan, serta proses perijinandan sertifikasi yang masih rumit.
Untuk pengembangan pariwisata,
Provinsi Sulawesi Utara memiliki banyak potensi pariwisata (coastal and
marine tourism) yang prospektif untuk investasi dan bisnis.
"Semua
pemangku kepentingan pariwisata harus bekerja sama dalam menjaga sumberdaya
alam agar bisa berkelanjutan bagi generasi mendatang," ujar Saut.
"Pemanfaatan daerah pariwisata
untuk kegiatan pertambangan dan kegiatan industri lainnya harus melalui kajian
yang komprehensif agar kelestarian alamnya tetap terjaga," Saut
mengingatkan.
Saut menekankan, perlu mendorong
kepada para pelaku usaha untuk mengembangkan potensi wisata bahari di
pulau-pulau kecil, baik oleh investor dalam negeri maupun investor asing. Untuk
itu, perlu didukung dengan infrastruktur dan iklim usaha yang kondusif. ( )
[1] Catatan ringkas yang diambil langsung dari penyelenggaraan WOBF di
Kota Manado. Semoga dapat memberi manfaat di masa mendatang. Sebab lewat
catatan ini, kita dapat mengingat ide yang beragam dan janji-janji program yang
telah mereka luncurkan.
Komentar
Posting Komentar