KENAPA PILIH CALEG PEREMPUAN 3
FIKSI DUNIA NYATA
Pertiwi Tak Mati Hati
“Tiga orang tenaga kerja wanita asal Indonesia akan
menerima hukuman seumur hidup di Arab Saudi. Ketiganya dinyatakan bersalah oleh
pengadilan sebab telah terbukti merugikan majikannya, baik itu kerugian materil
maupun moril.”
Itulah suara laporan
berita utama sebuah stasiun televisi swasta di Indonesia, yang ditonton oleh
Pertiwi Nusantari, di tevisi miliknya yang berukuran 20 inchi merek dari luar negeri.
Serius sekali Pertiwi
melihat berita itu. Padahal ia baru menyaksikan kejadian itu dibatasi oleh
tembok-tembok batas negara, karena ia baru menyaksi di layar kaca televisi yang
di taruh di bagian tengah ruang keluarga, tetapi penjiwaan dan simpati di dalam
dirinya terbilang luar biasa sensitif.
“Sungguh memilukan.
Kenapa harus terjadi demikian. Seharusnya mereka (TKW) bisa mencari nafkah di
negeri ini (Indonesia). Kan sumber daya alam kita kaya,” sesal Pertiwi usai
mengetahui penjelasan berita dari seorang presenter berita tersebut.
(sketsa by budi susilo) |
“Ini tidak bisa
dibiarkan. Sangat memalukan bagi bangsa Indonesia. Kalau terus-terusan terjadi
demikian, mau taruh dimana marwah bangsa ini,” tutur Pertiwi, seperti orang
gila yang berbicara kepada dirinya sendiri.
“Tak bisa dibiarkan.
Ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Harus ada yang bisa memperjuangkan,”
kata Pertiwi lagi, yang berbicara dengan dirinya sendiri, penuh semangat yang
menggelora.
Jangan heran, itulah
fenomena kelam yang masih menggelayut di negeri yang bernama Indonesia. Cerita-cerita
ini akan masih terus berlangsung, mengingat di negara ini, penduduknya sangat
membutuhkan lapangan pekerjaan.
Padahal, Tenaga Kerja
Wanita (TKW) itu adalah penduduk Indonesia yang seharusnya, negara mampu
melindungi mereka. Jangan hanya mau ceruk manisnya saja, mengingat mereka itu
dikenal juga sebagai mesin pencetak pundi-pundi devisa negara.
Jika memang sungkan
untuk melindungi, negara tentunya harus hadir, tuk membina mereka agar
sebaiknya dapat bekerja di dalam negeri saja, ikut membangun negara Indonesia.
Kegelisahan atas
dilema TKW tersebut datang menggerayangi Pertiwi Nusantari, yang merupakan
perempuan yang hanya bergelar ibu rumah tangga dan telah dikarunai satu anak
berjenis kelamin perempuan yang kini sudah beranjak dewasa.
Anaknya bernama
Sumartini. Punya wajah mirip dengan ayahnya. Rambutnya ikal mirip ibunya.
Kebetulan juga, di akhir tahun Sumartini akan masuk ke perguruan tinggi negeri
di Kota Jakarta.
Tiwi, panggilan akrab
Pertiwi Nusantari sudah melangsungkan pernikahan dengan seorang pria kelahiran
tanah Simalungun Sumatera Utara bernama Avip.
Keutuhan rumah tangga
mereka dapat diacungi jempol, hampir masuk 17 tahun lewat, mereka bisa hidup
harmonis. Kisah cintanya selalu mekar bersemi, citra wangi rumah tangganya pun
semerbak kemana-mana.
Sangat luar biasa, Tiwi
yang berlatar belakang dari keluarga terpandang, dari saudagar kaya raya bidang
pertanian, sangat menghormati suaminya yang berangkat dari keluarga sederhana,
kaum pendidik sekolah dasar.
Dan lagi, lebih
menginspirasi, Tiwi yang keturunan darah Sunda dapat hidup akur dengan Avip
yang dari Batak. Mereka bagai Indonesia mini, Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tapi dapat bersatu.
Setelah berita di
televisi habis, Tiwi pun mematikan televisinya. Ia langsung berpindah tempat,
menggerakan badannya mengarah ke ruang tamu yang kebetulan sedang ada suaminya
disana, yang sedang duduk bersantai di kursi sofa, membaca majalah otomotif.
Tiwi mendekat ke
suaminya. Duduk di sofa juga, kira-kira berjarak tak sampai tiga meter. “Hufft,”
hela napas Tiwi saat detik dirinya duduk di sofa.
Dan suaminya pun
langsung menatap ke wajah Tiwi, menebarkan senyum manis. “Hallo Bu, sudah selesai menonton televisinya,” tanyanya. “Iya,
sudah kelar Yah,” jawab Tiwi.
“Yah, anak kita
sebentar lagi akan lanjutkan kuliah. Kita harus motivasi dia agar mau kuliah,
supaya nanti punya bekal ilmu yang bermanfaat bagi dirinya dan negaranya,” kata
Tiwi kepada suaminya, di ruang tamu rumahnya.
Sambil berbatuk
sampai dua kali, Avip mencerna semua penjelasan istrinya. Lalu Avip bekomentar,
“Ya, saya setuju untuk itu. Ia harus lanjut kuliah. Sebab tantangan ke depan bangsa
ini akan lebih kompetitif. Ia harus punya modal ilmu tinggi,” ujarnya.
Ingat Bu, di tahun
2015 bangsa kita Indonesia sudah memasuki sebuah konsep masyarakat ASEAN. Kalau
Indonesia tidak siap, maka kita hanya jadi negara konsumen, jadi bulan-bulanan
serangan dari negara lain.
Makanya, sedari
sekarang generasi muda harus punya ilmu yang tinggi. “Ilmu itu ibarat seperti
senjata. Kalau kita tidak punya senjata maka akan kalah,” tegas Avip. “Betul
Yah, aku sangat setuju dengan mu,” jawab Tiwi.
Tapi, tambah Avip,
“Bagaimana dengan kamu. Apakah rencana kamu terjun ke dunia politik, duduk di
kursi legislatif tetap akan dijalani.
Apa kamu nanti tidak merasa kerepotan,” tutur pria yang kesehariannya bekerja
sebagai mantri di sebuah puskesmas ini.
Usai mendengar
pertanyaan dari suaminya, Tiwi menghela nafas. Tiwi diam sejenak. Kedua matanya
menatap ke atas, pelapon atap rumah. Satu menit kemudian, pandangan Tiwi kembali
dialihkan ke wajah suaminya.
“Iya Yah. Saya akan
tetap maju. Mau ikut turun tangan membenahi kondisi negeri ini, yang masih
butuh perbaikan disana-sini,” tegas Tiwi, meyakinkan kembali ke suaminya.
“Cobalah kau pikir
lagi. Apa kamu siap. Karena jadi wakil rakyat itu harus siap menderita. Siap
dikritik, dan harus siap miskin harta juga, segalanya yang kau miliki harus
direlakan untuk rakyat,” imbuh Avip dengan nada suara yang lembut.
“Risiko jadi wakil
rakyat sudah saya pikirkan matang Yah. Semua konsekuensi sudah saya rekam dalam
pikiran saya,” ungkap Tiwi, sambil mengangguk-anggukan kepalanya.
Jam bundar yang
menempel di dinding rumah menunjukan pukul delapan malam, ditatap oleh Avip.
Kemudian, tak lama sampai empat detik, pandangan Avip mengarah kepada istrinya
lagi.
“Baiklah sayang, tadi
aku hanya mencoba mengingatkan kamu lagi dan mau memantapkan dirimu saja, apa
memang benar-benar kamu niat,” tutur Avip.
Tapi sekali lagi
tegas Avip, kalau itu memang berasal dari panggilan hati mu, maka berangkatlah
!. Berjuang untuk rakyat, memajukan Indonesia menuju kejayaan sentosa.
“Jangan lagi berpikir
untuk kepentingan keluarga kita saja, tapi juga untuk keseluruhan rakyat,”
katanya, sambil memegang secangkir gelas berisi air kopi susu hangat.
“Terima kasih Yah
atas doa dan restunya. Saya sudah tak sabar lagi mau berjuang, membenahi bangsa
ini, agar lebih baik lagi,” timpal Tiwi kepada suaminya.
Karena tegas Tiwi,
persoalan bangsa, khususnya di bidang perempuan dan dunia anak masih
menyedihkan. Kasus kekerasan terhadap perempuan dan penistaan hak-hak anak akan
terus mempengaruhi perjalanan negara ini.
“Selama perempuan dan
anak-anak kita tertindas, maka selama itu pula bangsa kita masih berada dalam
lubang kegelapan,” katanya.
“Hemmm. Ouh ya ?,” rasa
penasaran Avip. Sebab, jelas Tiwi,
perempuan dan anak itu penentu dari generasi bangsa yang berkualitas. Bila
sarah urus, dan kita tidak melindungi, mengayomi dan membenahi maka jangan
diharapkan nasib bangsa ke depan akan muram.
“Saya mau berjuang di
parlemen. Mau menyuarakan kepentingan kaum-kaum perempuan, dan mementingkan
dunia anak,” kata Tiwi. Saksikan informasi yang sehari-hari kita konsumsi, bahwa
kejahatan terhadap wanita dan dunia anak statistiknya masih tinggi.
“Ada kekerasan perempuan
tenaga kerja di luar negeri. Kekerasan perempuan di rumah tangga. Lalu ada
eksplotasi anak-anak untuk jadi pekerja atau kekerasan seksual,” urai Tiwi.
Belum lagi dunia
pendidikan kita pun masih karut-marut. Dunia pendidikan kita begitu mahal,
terutama pendidikan di perguruan tinggi. “Kasihan mereka yang ekonomi lemah,
tak bisa lanjut ke bangku kuliah.”
Seharusnya, negara mau memberikan fasilitas anggaran
negara untuk mereka orang-orang miskin agar dapat bisa bersekolah hingga ke
perguruan tinggi.
“Kita melihat
orang-orang yang kuliah itu yang hanya punya uang banyak saja. Mereka anak-anak
kurang mampu harus putus sekolah sampai
sekolah menengah saja,” sesal Tiwi.
Negara Indonesia ke
depan harus meningkatkan dunia pendidikan, mudah diakses oleh mereka warga
negara Indonesia. Amanah konstitusi mencerdaskan kehiduan bangsa harus dapat
diwujudkan, jangan lagi ditunda-tunda mengingat tantangan kehidupan semakin luar
biasa kompetitif.
“Jepang saja waktu di
bom atom hancur berkeping-keping. Lalu mereka dapat bangkit lagi lewat jalan
dunia pendidikan. Membangun sumber daya manusianya sehingga sampai sekarang
Jepang telah berhasil, jadi bagian negara maju,” ungkap Tiwi.
Di Indonesia sendiri,
masih sibuk dengan perdebatan politik pragmatis yang tidak penting.
Progam-progam rakyat tidak jelas, mau dibawa ke arah mana. Di tataran
masyarakat, program dari pemerintah belum terlalu dirasakan oleh masyarakat
luas.
“Kita masih suka gontok-gontokan ketimbang bekerja untuk
kepentingan rakyat. Pejabat-pejabat kita masih hobi memperkaya diri. Makanya
korupsi masih merebak dimana-mana,” sesal Tiwi.
“Iya, sungguh
menyedihkan Bu. Mereka-mereka memang harus ada yang memperjuangkan. Ada yang
mau memperbaiki,” kata Avip. Untuk itulah, tambah Avip, rasanya pas jika kamu
merasa terpanggil untuk memperjuangkan mereka.
“Ada kalimat nasihat
bagus Bu dari Napoleon. Dunia ini jadi jahat bukan karena orang jahat. Dunia
ini jahat karena orang-orang baiknya tidak mau berbuat untuk menumpas
kejahatan,” ungkap Avip, menasehati istrinya.
Tak berselang lama, dari
sebuah kamar belakang rumah, terdengar suara pintu kayu terbuka. “Kreeek...” Beginilah bunyinya yang tak
terlalu terdengar nyaring.
Ya, ternyata itu Tari,
sapaan akrab Sumantari, yang keluar dari kamar tidurnya. Ia menutup kembali
pintu kamarnya dan langsung menuju ke ruang tamu, ikut berkumpul bersama kedua
orang tuanya.
“Wah, Ayah dan Ibu lagi bahas apa nih. Sepertinya serius sekali ya,”
katanya dengan membuang wajah penuh senyum riang ke kedua orang tuanya.
“Ia betul nak,” ujar
Avip. Kami berdua lagi membicarakan
topik tempo lalu, yang pernah kita bahas
bersama. “Ouh soal Ibu mau terjun ke dunia politik ?, betul begitu Bu,” tanya
Tari dengan rasa penasaran.
“Iya betul Nak. Kita
lagi bahas soal ibu mu mau masuk ke gelanggang politik,” ungkap Avip, tangan
kanannya sambil menunjuk ke arah Tiwi, istri tercintanya.
“Bagaimana pandangan
terakhir mu soal Ibu mu ini akan terjun ke politik praktis,” kata Avip kepada
Tari, yang duduk persis di samping kirinya.
“Kalau aku pribadi sih mendukung saja langkah Ibu. Aku
sudah siap kalau nanti sudah tak lagi diperhatikan lebih oleh Ibu. Aku sudah
merelakan kalau Ibu nanti akan lebih memikirkan rakyat,” tutur Tari.
“Lho kenapa bisa begitu jawaban mu. Itu tidak salah jawab kan,” ujar
Avip dengan rasa penasaran. Tenang saja
Ayah, tegas Tari. “Aku sudah dewasa, bisa mandiri. Tak seperti masa kecil dulu,
harus minta dimanja, diperhatikan penuh sama Ibu,” katanya.
“Ouh, itu toh alasan mu. Oke rasional juga. Wah, hebat juga anak ayah ini, ternyata sudah mengerti akan sifat legowo ya,” puji Avip, langsung memeluk
menyamping si Tari.
“Iya yang penting Ibu
benar-benar serius. Bisa amanah menjalankan tanggungjawabnya sebagai wakil
rakyat,” kata Tiwi. Ya andaikata jika tak amanah yang malu kita semua, karena
banyak juga politisi-politisi baik itu muda dan tua, pria dan wanita, terjerat
tindak pidana korupsi. “Ibu tidak akan begitu kan ?,” tanya Tari kepada Ibunya.
“Berkat doa dan restu
kalian, saya tidak akan seperti itu. Ibu terjun ke politik tidak mau mencari
masalah, tapi terpanggil ingin menyelesaikan masalah,” tegas Tiwi.
Dan lagi, maju dalam
perhelatan pesta demokrasi, mengincar kursi di legislatif tujuannya mencari
sarana perjuangan. Senjata yang ampuh untuk membuat perubahan bagi bangsa ini.
“Ibu maju ke
gelanggang politik bukan mau cari pangkat jabatan, popularitas, sanjungan dari
masyarakat dan menambah pundi-pundi harta kekayaan. Tidak, tidak akan Nak,” urai
Tiwi.
“Wah, luar biasa. Aku sangat bangga dan bersyukur kepada Tuhan,
telah diberikan seorang Ibu yang berkarakter mulia, baik hati, penyayang dan
peduli,” puji Tari kepada Ibunya.
“Iya, kamu sebagai
anak, sepatutnya bisa meniru tindak tanduk Ibu mu ya. Ambil banyak pelajaran
berharga dari Ibu mu, sangat berguna juga buat kamu nak,” Avip menimpal. “Iya
Yah, pasti dong. Semoga seperti buah
jatuh tak jauh dari pohonnya. He he he.”
Ungkap Tari.
“Baiklah hari sudah
larut malam. Ayo kita pergi ke kamar tidur masing-masing. Kita istirahat agar
esok bisa bangun pagi, bisa beraktivitas kembali dengan baik,” imbuh Avip. ( )
Komentar
Posting Komentar