GALERI INDONESIA KAYA
Melihat Sokola Rimba
Di Jakarta
MENGISI waktu senggang di
Minggu sore, saya bersama teman saya, Alid dan Muchlis, datang ke
Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia, West Mall lantai 8, Jalan MH
Thamrin Jakarta Pusat, pada 27 April 2014 lalu.
Di tempat ini, pada jam
tiga sore ruang auditorium digelar nonton bareng film produksi Miles
Film berjudul Sokola Rimba, sebuah film yang diangkat dari kisah
nyata yang kejadiannya berada di pulau Sumatera.
Walau ruang auditorium
tak seluas gedung bioskop, buat saya menonton film di Galeri
Indonesia Kaya tak mengurangi rasa nyaman. Dan inilah untuk pertama
kalinya buat saya, menonton film dan menginjakan kaki di Galeri
Indonesia Kaya.
Buat saya, kesan pertama
ke Galeri Indonesia Kaya begitu indah nan bermakna. Selanjutnya,
pasti saya akan tambah betah datang berkunjung ke tempat yang
didirikan pada Oktober 2013 ini.
Panorama pelataran depan Galeri Indonesia Kaya (photo by khalid nurdien) |
Satu hal yang paling
joss, adalah hembusan udara sejuk dari mesin pendingin (AC).
Daya terjang udaranya hingga menusuk kulit tubuh, sangat dingin.
Saya pun yang sudah
hampir satu jam lebih di dalam ruangan menggigil kedinginan, maklum
tak menggunakan baju tebal seperti jaket dan penutup kepala.
Saya rasa, atmosfir
ruangan pemutaran film di Galeri Indonesia Kaya tidak jauh berbeda
dengan yang ada di gedung-gedung bioskop komersil.
Yang membedakan hanya
bangku penontonnya dan luas ruangan lokasi tontonan Indonesia Kaya
yang lebih mungil dari gedung bioskop pada umumnya.
Tempat itu punya daya
tampung 150 orang. Ada tiga buah screen dilengkapi projector
utama 10 ribu lumens dan projector pendukung 7 ribu
lumens, sound system dengan audio power mencapai 5 ribu
watt.
Saat itu, jumlah penonton
terbilang banyak. Hampir mencapai lima puluh orang lebih. Mereka para
penontonnya beragam dari anak-anak sampai umuran orang tua.
Cuplikan film Sokala Rimba di Galeri Indonesia Kaya (photo by budi susilo) |
Di antara adegan film yang paling saya anggap klimaks, ketika penampilan kedua bocah bernama Beindah dan Nengkabau berjalan-jalan bersama Butet Manurung berjumpa dengan penjahat-penjahat perusak hutan.
Awalnya
mereka, Beindah, Nengkabau, Butet menyusuri hutan belantara, mereka
berjalan-jalan menikmati rimbanya hutan. Ada yang sambil
memotret-potret dengan kamera, bahkan ada yang memanjat dan
bergelantungan di pohon-pohon.
Tiba-tiba,
tak disangka, dalam perjalanan mereka kemudian berjumpa dengan
sekelompok orang. Mereka berpapasan langsung dengan orang-orang yang
selama ini dikenal sebagai penebang pohon hutan.
Mereka
pun akhirnya lari, karena para pembalak liar merasa tidak senang
aktivitasnya dilihat mereka. Pembalak liar menembaki mereka dengan
senjata api, tapi syukurnya mereka bertiga dapat selamat dari ancaman
bahaya pembalak liar.
Adegan tersebut bagi saya
itu menyampaikan sebuah pesan bagus kepada para penonton. Bahwa
selama ini, suku-suku yang tinggal di hutan dianggap sebagai orang
yang primitif dan bodoh.
Padahal sesungguhnya,
mereka itu suku rimba adalah orang-orang yang pintar dalam mengelola
kelestarian alam. Mereka lebih punya hati baik, rasa bijak, dan
cerdas.
Sebaliknya, mereka
orang-orang yang berada di luar suku itu, yang hobinya hanya merusak
hutan adalah orang tercela. Mereka masuk dalam golongan orang-orang
bodoh yang tak punya pikiran jangka panjang.
Cuplikan film Sokala Rimba di Galeri Indonesia Kaya (photo by budi susilo) |
Nah, berikut ini ada sebuah resensi singkat dari film Sokola Rimba, yang saya kutip dari berbagai sumber. Setelah hampir tiga tahun bekerja di sebuah lembaga konservasi di wilayah Jambi, Butet Manurung yang diperankan oleh Prisia Nasution telah menemukan hidup yang diinginkannya.
Ia mengajarkan baca tulis
dan menghitung kepada anak-anak masyarakat suku anak dalam, yang
dikenal sebagai Orang Rimba, yang tinggal di hulu sungai Makekal di
hutan bukit Duabelas.
Hingga suatu hari Butet terserang demam
malaria di tengah hutan, seorang anak tak dikenal datang
menyelamatkannya. Nyungsang Bungo nama anak itu.
Ia berasal dari Hilir sungai Makekal,
yang jaraknya sekitar 7 jam perjalanan untuk bisa mencapai hulu
sungai, tempat Butet mengajar.
Diam-diam Bungo telah lama
memperhatikan ibu guru Butet mengajar membaca. Ia membawa segulung
kertas perjanjian yang telah di’cap jempol’ oleh kepala adatnya,
sebuah surat persetujuan orang desa mengeksploitasi tanah adat
mereka.
Bungo ingin belajar membaca dengan
Butet agar dapat membaca surat perjanjian itu. Pertemuan dengan Bungo
menyadarkan Butet untuk memperluas wilayah kerjanya ke arah hilir
sungai Makekal.
Namun keinginannya itu tidak
mendapatkan restu baik dari tempatnya bekerja, maupun dari kelompok
rombong Bungo yang masih percaya bahwa belajar baca tulis bisa
membawa malapetaka bagi mereka.
Namun melihat keteguhan hati Bungo dan
kecerdasannya membuat Butet mencari segala cara agar ia bisa tetap
mengajar ke Bungo.
Butet pun terus bertekad, dan ingin
membuktikan bahwa malapetaka baca dan tulis yang ditakuti oleh
kelompok Bungo, tak akan benar-benar terjadi. Terbukti, usaha Butet
pun berhasil. Sungguh luar biasa perjuangannya. ( )
Komentar
Posting Komentar