BANJIR LAGI


Banjir Lagi

SEKALI lagi, saat bencana banjir melanda secara merata di berbagai pusat kota dan desa di Indonesia, membuat pikiran manusia kembali terbuka atas sebuah kebenaran alam yang sesungguhnya. Manusia harus dituntut lebih untuk bersahabat dengan pohon. 

Mengingat pohon rindang yang lestari merupakan obat penghilang penyakit musiman bernama banjir. Pada hakikatnya, pohon itu sumber kehidupan. Tanpa pohon rindang, hidup di muka bumi ini akan mengalami kepincangan, hari-harinya manusia akan selalu merasakan kiamat kecil.  

Hujan deras tanpa henti. Bertubi-tubi langit ‘menghujam’ bumi dengan air. Warga yang bertempat tinggal di daerah rawan bencana banjir tentu merasa was-was. 

Pemandangan alam yang asri memberikan kedamaian (repro by budi susilo)
Dan mereka yang terbiasa menghadapi bencana banjir, tentu semangatnya akan beringas, siap berbasah-basahan dan menerabas terjangan banjir.  

Daratan pemukiman penduduk yang semula kering oleh banjir disulap menjadi lapisan ‘karpet air’ coklat. Mereka yang biasa melintas di jalan itu akhirnya terhalang genangan, pola kerja dan pergerakan pun terhambat.   

Itulah dia risiko, jikalau musim hujan melanda dengan intensitas tinggi, warga yang di rawan bencana harus siap-siap bersedia merelakan tempat tinggal dan jalanannya terendam air banjir. 

Serta daerah itu akan mendadak terkenal, sebab media massa akan menghampiri untuk mengupas liputan bencana banjir, dari para penghuninya sampai kondisi harta bendanya.  

Misalnya di sebuah daerah perumahan Ciledug, Kota Tangerang, Banten setiap harinya kawasan ini selalu tampil di layar kaca televisi dan lembaran media cetak lainnya dengan tema besar banjir kepung Ciledug.  
  
Sampah rumah tangga dan curah hujan deras adalah sepasang sahabat paling setia yang punya prinsip hidup, banyak jalan menuju bencana banjir untuk memberi rasa duka nestapa ke para manusia. 

Sungai-sungai yang lebar dan panjang seolah tak mampu menampung volume air sebab sebagian besar keberadaan tanah di beberapa daerah sudah di alihfungsikan jadi daratan beton semen.

Sungai-sungai yang semestinya dihiasi ikan-ikan, ironinya hanya sampah-sampah yang berenang bebas. Ada kasur, sandal, batangan bambu, tas kresek, dahan pohon, gabus, kardus dan sampah-sampah rumah tangga lainnya.

Mau tak mau, pemerintah daerah akan kewalahan. Namun bagi pemerintah daerah yang tak empati pada warganya yang kena bencana banjir, tentu saja merasa tak terbebani, dibawa santai saja. 

Kerena mungkin kepala daerah model seperti ini sudah terbius oleh nikmatnya kursi kekuasaan politik yang suatu saat nanti akan dipertanggungjawabkan di akhirat nanti.

Buruknya tata kota, sistem pengairan yang lemah, dan langkanya lahan terbuka hijau merupakan lemahnya tanggungjawab pemerintah kepada rakyat banyak. 

Andai pemerintahnya punya karakter kuat, bertekuk lutut pada kepentingan publik, maka yang namanya keteraturan hidup akan tumbuh merekah, penuh kaya manfaat bagi orang banyak. Walhasil juga, insyaallah sebuah daerah itu akan mapan, dan dalam kondisi baik-baik saja. 

Terlepas dari itu, perlu juga diimbangi warganya, untuk mau menyadari hidup bersih, gaya hidup yang ramah lingkungan, tetap menjaga lingkungan pemukiman masing-masing untuk tetap lestari agar tak banjir lagi, banjir lagi, dan banjir lagi. ( )


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MACACA NIGRA PRIMATA SEMENANJUNG MINAHASA I

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

CANDI GARUDA YOGYAKARTA