BALIK BADAN
Balik Badan
SEBUAH pertempuran militer di pedalaman hutan
belantara terjadi dengan heroiknya. Prajurit-prajurit yang bertempur dengan gagah
berani menusuk jantung pertahanan lawan yang memiliki barisan yang kokoh,
dilapisi benteng dan senjata meriam.
Serangan yang dilakukan para prajurit itu hanya
bermodalkan sebilah pedang panjang yang sangat tajam, hasil dari buatan
kerajinan tangan sendiri yang telah dibalut dengan spirit kemandirian dan
keberanian.
Walau hanya bermodal senjata tajam pedang besi, nyali
dan rasa percaya diri mereka bisa dibilang hebat, seperti berperang membawa
senjata bom nuklir, yang dengan sejuta optimis akan mampu memenangi peperangan.
![]() |
Menunjukan balik badan (photo by abdillah) |
Dalam kamus hidupnya, para prajurit itu, tak mengenal
apa yang disebut dengan balik badan. Bagi mereka ada prinsip hidup atau mati. Mereka
para prajurit, dengan tulus terpanggil mau berperang, demi kejayaan dan
kebanggan mimpinya yang luhur bagi rahmat seluruh alam.
Tak heran kemudian, para prajurit tersebut tak gentar,
terus maju apa pun itu kondisinya. Yang terpenting bagi para prajurit, perang
harus ditaklukan. Perang harus dimenangkan. Perang sebagai pembukitan sebuah
kekuatan prajurit.
Badan, hati, dan rasa berani mereka tak diragukan
lagi. Mereka terus menerobos ke depan, apa pun itu rintangannya. Prinsipnya,
para prajurit wajib tak gentar, menyerang dan menaklukan lawan.
Tanpa kenal lelah, para prajurit yang berwibawa
memamerkan bahasa tubuh berupa membusungkan dada, sebagai isyarat musuh harus
menyerah secepatnya.
Musuh harus dibuat tunduk, atau minimal balik badan
sebagai pertanda musuh menerima kekalahan. Tidak sebaliknya, mereka para
prajurit yang harus mengibarkan bendera putih, menyampaikan kegagalan
berperang, menyerah pada musuh.
Itulah sepenggalan diskripsi cerita-cerita heroik
peperangan jaman masa lampau. Keberadaan cerita tersebut telah banyak
disinggung dalam karya novel-novel kolosal, atau komik bergambar.
Jika ditarik jaman sekarang, perang fisik antar
manusia bukan lagi eranya. Perang bukan lagi peradaban manusia modern. Sebab
perang itu banyak mudharat ketimbang maslahat.
Bencana kelaparan, pelanggaran hak asasi manusia,
malapetaka kerusakan lingkungan alam, dan dendam kesumat, saling membenci,
adalah di antara efek negatifnya perang.
Anggap saja, fakta kehidupan berupa peristiwa fasisme di perang dunia pertama dan
kedua, serta perang Asia Pasifik sebagai goresan sejarah yang kelam dan tak
perlu lagi terjadi untuk kesekian kalinya.
Catatan tinta ini bisa menjadi pelajaran berguna bagi
manusia generasi biru yang baru, bahwa perang itu, yang menang jadi arang, yang
kalah jadi abu. Satu sama lain saling dirugikan, tak ada yang menguntungkan.
Namun jika dinilai secara maknawi, gambaran cerita perang
itu mengajarkan kepada setiap manusia untuk selalu berusaha, tanpa mengenal
putus asa dalam menghadapi setiap persoalan kehidupan.
Segala keterbatasan yang dimiliki manusia, atau
hadangan batu sandungan, bukanlah faktor alasan manusia untuk mengambil sikap
balik badan, menyerah, lalu bunuh diri melakukan pelarian menghindari kehidupan
dunia yang sifatnya fana ini.
Hidup adalah perjuangan. Beginilah ungkapan emas yang
umum beredar di tengah kehidupan masyarakat, walaupun ada juga sebagian yang
kadang lupa akan kalimat emas tersebut.
Hidup itu seperti orang berperang di medan laga, harus
berpikir, bertenaga, berzikir, dan bergerak. Hadapi kenyataan, apa pun itu, dan
jangan mengenal kalimat yang bernama, balik badan atau menyerah. ( )
Komentar
Posting Komentar