MISKIN DAN KAYA
Miskin dan Kaya
MEMBAHAS mengenai kaya dan miskin sejak jaman dahulu
telah berlangsung. Dalam pandangan Islam, perdebatan antara miskin dan kaya
sudah terjadi di masa silam. Pasalnya, dalam setiap kehidupan pasti ada yang
namanya miskin dan kaya.
Inilah yang kembali disinggung oleh ahli hadis asal
Indonesia, Ustad Ahmad Lutfi Fatullah, dalam acara Kajian Hadis Islam di komplek Masjid Baitul Mugni, Kuningan,
Jakarta Selatan, Minggu (15/12/2013) sore.
Soal kekayaan, Islam pun memandang secara positif. Kekayaan
tetap bisa diterima asalkan kekayaan itu untuk hal-hal yang baik. Misalnya,
kata dia, di Islam ada perintah ibadah untuk zakat dan haji.
Kedua perintah tersebut tentu saja memerlukan sebuah
kekayaan. Bila tak kaya, maka mustahil akan bisa menjalankan kedua perintah
tersebut secara maksimal.
Untuk itu, orang menjadi kaya dalam agama Islam tidak
dilarang, apalagi sampai mengharamkan. Seyogyanya, jadilah orang kaya yang
berguna bagi kemaslahatan dirinya dan seluruh umat lainnya.
Pernah ada sebuah riwayat dari Muhammad SAW, ketika
dirinya masih hidup, menginginkan dirinya mati dalam golongan manusia yang
masuk ke dalam orang-orang yang miskin.
Sebenarnya, Muhammad dan juga sahabat-sahabat beliau
lainnya hidup dalam bergelimang harta. Kehidupan mereka kaya harta, hanya saja
mereka sengaja menampakan kesederhanaan yang selalu menyatu bersama kaum-kaum
miskin.
Secara logika, urai Ustad Luthfi, orang kaya itu bisa
beradegan sebagai orang miskin. Namun sebaliknya orang miskin tidak akan
mungkin dapat berperan menjadi orang kaya. Jika pun bisa, itu akan semakin
menambah kemiskinannya.
Di jaman sekarang ini, ungkap Ustad Luthfi, terjadi
kebalikannya. Banyak orang-orang yang secara nyata miskin harta, tetapi gaya
dan sikapnya bak seorang yang kaya raya.
Dan juga ada, orang yang beraktor sebagai orang miskin
untuk mendapatkan keuntungan kekayaan. Jelas ini tidak dibenarkan, sungguh
orang yang berbuat ini merupakan golongan yang merugi.
Terlepas dari itu, sebenarnya manusia hidup di dunia
bukan berpatokan pada kemiskinan atau kekayaan. Tolak ukur manusia itu dilihat
dari keimanan dan ketakwaannya.
Sebagaimana disinggung dalam Al-Quran surah Al Khafi
ayat 28, berbunyi, “dan bersabarlah kamu
bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari
dengan mengharap keridhaan-Nya, dan janganlah kedua matamu berpaling dari
mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini, dan janganlah kamu mengikuti
orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti
hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.”
Pandangan orang awam yang sifat duniawi, menganggap
orang-orang yang kurus kerempeng hidup dalam kemiskinan. Sementara yang gemuk,
subur, dan berpenampilan serba super, masuk sebagai orang-orang terpandang,
punya harta berlimpah, hidup kaya raya.
Padahal itu bukanlah ukuran yang terbaik di mata Allah
SWT. Hal terpenting dari manusia itu adalah mereka yang beriman dan bertakwa.
Dijelaskan oleh Muttafaq Alaih, dari Abu Hurairah dari Rasullah beliau bersabda
“bahwasanya akan datang seorang yang
gemuk lagi besar pada hari kiamat yang di sisi Allah berat (nilai)-nya tidak
sampai seberat sayap nyamuk.”
Gambaran tersebut mencerminkan, bahwa orang kaya itu
akan sia-sia selama di dunia jika harta yang dimilikinya tak bermakna bagi
kehidupan dan berguna bagi umat.
Dan beruntung mereka orang-orang miskin yang beriman
dan bertakwa, sebab di surga nanti, akan
masuk lebih dahulu ketimbang orang kaya yang beriman dan bertakwa.
Karena itu, dari kesimpulan saya pribadi, mari
semuanya kita syukuri hidup ini, apa pun itu kondisinya. Jalani hidup secara
tegar, sabar, dan benar dengan balutan rasa keimanan dan ketakwaan yang
paripurna. Insyaallah hidup kita akan
selamat dan penuh rahmat. ( )
Komentar
Posting Komentar