KEDAULATAN KAUM PEDESTARIAN



Kedaulatan Kaum Pedestarian

SENGSARA jika berjalan kaki di trotoar daerah Jabodetabek. Betapa sulitnya hidup di kota metropolitan, seakan hidup tanpa ada aturan, siapa yang kuat ialah yang menang.

Persoalannya pejalan kaki atau pedestarian yang punya hak mutlak jalur trotoar harus dipaksa untuk berebut area dengan kendaraan bermotor roda dua dan pedagang kaki lima. 

Serba salah, mau jalan kaki di trotoar, tiba-tiba sepeda motor tanpa merasa berdosa melenggang kangkung di jalur trotoar, akibatnya kaum pedestarian harus mengalah, menyikir dari trotoar. 

(repro budi susilo)
Hak kaum pedestarian direbut oleh para pengendara sepeda motor yang katanya punya alasan untuk menghindari kemacetan arus lalu-lintas jalanan aspal. Weleh-weleh, sungguh tak masuk akal, egoisme sekali ya.  

Sialnya lagi, saat si pedestarian kembali melanjutkan langkah kaki, ketika situasi lajur trotoar sudah sepi dari lalu-lalang sepeda motor, kemudian tiba-tiba si pedestarian bertemu dengan sebuah lubang saluran air yang baunya tidak karuan. 
 
Si pedestarian tentu mendadak kaget melihat kondisi trotoar menganga, memamerkan saluran air yang kotor hitam pekat dan dipenuhi genangan sampah-sampah rumah tangga. 

Untung saja secara sadar, si pedestarian berjalan dengan sikap waspada. Jika tidak, sudah celaka. Makanya harap berhati-hati ketika berjalan di trotoar sebab masih banyak ranjau-ranjau yang tak terduga.

Belum ada seratus langkah, para kaum pedestarian kadang juga harus mengalah, menyingkir ke jalan aspal, sebab jalur trotoar terhalang oleh pedagang kaki lima yang sedang asik berdagang mencari uang.

Contoh kecilnya, lihat di Jalan Kamal Raya, Cengkareng, Jakarta Barat. Bak pemilik mutlak trotoar, para pedagang kaki lima eksis berkegiatan ekonomi di atas trotoar. Begitu pun di kawasan Kebayoran Lama Jakarta Selatan dan kawasan Ciledug Kota Tangerang provinsi Banten.  

Selain itu, di pasar Tanah Abang juga ada. Padahal sudah diberikan gedung yang cocok untuk berjualan, namun masih ada satu dua oknum pedagang yang masih bandel berjualan di trotoar demi satu alasan yang tidak masuk akal, yakni mengejar para konsumen.

Sebenarnya tidak hanya terjadi di empat tempat itu, tentu masih banyak lagi lokasi-lokasi yang serupa. Sekarang yang penting, tinggal menunggu kesadaran dari para pedagang, pengguna sepeda motor, serta adanya ketegasan dari aparatur pemerintah dan penegak hukumnya.

Mereka para pedagang yang menggelar usahanya di atas trotoar dinilai bukan lagi kaki lima, tetapi sudah berubah menjadi pedagang kaki seribu yang menggunakan ruang umum untuk kegiatan komersil, sementara hak publik ditiadakan. Sungguh terlalu.

Begitu pun pengguna sepeda motor yang berjalan di trotoar bukan lagi dinilai sebagai pengemudi sepeda yang memakai tenaga mesin motor. Tetapi mereka pantasnya disebut pengemudi sepeda yang mengenakan kaca mata kuda, pandangan etika berlalu-lintasnya sangat sempit. Dan alangkah baiknya, surat izin mengemudinya dicabut.

Di sisi kaum pedestarian, melihat fenomena itu tentu hanya bisa berdoa, bersabar, atau bahkan hanya bisa mencaci maki di dalam hatinya. Sebab tak berdaya untuk menegur, apalagi melawan dan mengusirnya. 

Padahal kaum pedestarian menggunakan trotoar punya tujuan agar perjalanan nyaman dan aman tiba dengan selamat. Dan satu lagi, ingin mencari kesehatan tubuh, karena dengan berjalan kaki ibarat melakukan olah-raga ringan.

Perbandingan di Tokyo Jepang, orang-orang lebih gemar berjalan kaki di trotoar. Pergi beraktivitas menggunakan kendaraan umum. Setelah tiba di tujuan, penumpang turun dari kendaraan umum, lalu dilanjutkan berjalan kaki menuju tempat tujuan yang jaraknya sangat tak jauh.

Sementara orang-orang di Indonesia, masih ada sebagian yang menganggap pergi aktivitas dengan diselingi jalan kaki di trotoar itu bisa menurunkan nilai status sosial. Selalu jaga gengsi, tak mau dilihat berlalu-lalang berjalan kaki di jalur trotoar.

Tak heran, karena konsep berpikirnya masih seperti itu, maka di jalan raya pun masih terjadi kemacetan yang parah. Volume kendaraan bermotor yang beredar di jalan sudah tak terhitung lagi jumlahnya. Jalan raya sudah padat dipenuhi kendaraan bermotor.

Dampaknya, kota diselimuti asap knalpot kendaraan bermotor. Mencari udara yang bersih di kota sudah barang yang langka, karena telah tercemar gas buang emisi kendaraan. 

Banyaknya kendaraan bermotor yang beredar membuat lingkungan kota tak lagi sehat, dan kota pun turut menyumbang bagi dampak bencana pemanasan global yang belakangan ini semakin parah.

Karena itu, sampai kapan para kaum pedestarian di Indonesia bisa berdaulat 100 persen merdeka menggunakan lajur trotoar tanpa ada gangguan dari pedagang liar dan pengendara motor ? 

Sampai kapan pula, luas trotoar yang sempit kemudian melebar dan tak berlubang-lubang ? Dan apa mungkin, harapan terwujudnya trotoar yang baik bisa juga terjadi secara meluas di berbagai daerah Jabodetabek ? 

Hingga kini, lajur trotoar yang ideal di antaranya baru tampak di kawasan pusat bisnis sepanjang Jalan Sudirman-Thamrin dan kawasan Monas. Karena itu, untuk memulai perubahan, mari hargai dan menjunjung tinggi hak kaum pedestarian. Berikan kedaulatan penuh. Dengan alasan apa pun, jangan merampasnya. Betulkan. ( )

    

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MACACA NIGRA PRIMATA SEMENANJUNG MINAHASA I

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

CANDI GARUDA YOGYAKARTA