BANJIR MUSUH BERSAMA



Banjir Musuh Bersama

MELIHAT air banjir teringat pada minuman tradisional bajigur yang memancarkan warna coklat. Bedanya, air banjir tak baik untuk diminum, sedangkan air bajigur layak diserumput dalam keadaan hangat. 

Memang sejak memasuki bulan November ini, cuaca telah memberi tanda bahwa bulan ini sudah masuk ke musim penghujan. Keadaan ini telah melanda untuk di berbagai wilayah Jakarta, Tangerang, dan sekitarnya.

Tidak heran, ketika masuk musim penghujan daerah-daerah ini tidak luput dari bencana alam akibat perbuatan manusia itu sendiri, yakni bencana banjir dan tanah longsor. 

Mengutip dari Badan Meteorologi Kilmatologi dan Geofisika (BMKG), bahwa musim hujan dimulai awal November dan mencapai puncaknya dibulan antara Januari hingga Februari tahun 2014. Karena itu, warga pun diimbau untuk tetap waspada.

Masuk musim penghujan beberapa jalan di ibu kota Jakarta ada yang tergenang air akibat kondisi jalan yang rusak, Jumat (13/11/2013). Tampak susana Jalan Rasuna Said di Kuningan, Jakarta Selatan. (photo by budi susilo)

Banjir tidak pernah absen saat dalam situasi hujan deras dengan intensitas yang panjang. Jalan-jalan pusat kota yang berkondisi baik pun tak luput kena terjangan banjir, apalagi yang berada dalam kampung pinggiran sungai-sungai.

Antisipasi pencegahan banjir sudah dilakukan berbagai cara oleh manusia, tetapi tetap saja bencana ini selalu mampir ke pemukiman penduduk, masuk ke rumah menyulap isi rumah menjadi karpet air. 

Ibarat setan jalangkung, banjir itu tamu yang datang tak diundang dan pergi pun begitu saja tanpa diketahui. Orang-orang tidak bisa memprediksi, kapan banjir bisa pergi surut menjauh dari tempat tinggal rumah. 

Persoalan klasik di Jakarta, banjir disebabkan oleh kurang baiknya pemerintah daerah mengelola kota agar bebas banjir. Tanah-tanah di Jakarta begitu mudahnya diubah oleh pemerintah daerah menjadi lahan bangunan berbeton.

Akibatnya, resapan air berkurang. Ketika air hujan turun deras mengguyur kota, air tidak bisa mengalir ke dalam tanah. Belum lagi daya tampung air sungai dan danau di Jakarta juga sudah melebihi kapasitas, akibat adanya tambahan banjir kiriman dari daerah Jawa Barat.

Belum lama ini juga, untuk di DKI Jakarta, mulai tahun 2013 ini sudah ada revitalisasi waduk sebagai penampung air hujan yang gunanya untuk meminimalisir genangan air ke daratan. 

Menurut pemerintah daerah DKI Jakarta, penanganan banjir bukan persoalan mudah seperti membalikan telapak tangan. Penuntasan persolan banjir butuh waktu dan dana yang besar. 

Tahapan sekarang saja baru sanggup mengerjakan kemantapan fungsi Waduk Pluit, sedangkan 42 waduk lainnya baru akan berjalan di tahun depan. 

Pemerintah daerah terus di kritik. Masyarakatnya menanti gebrakan pemerintahnya untuk mampu menangani banjir secara baik. Tidak peduli siapa itu gubernurnya, banjir seolah menghiasi Jakarta dan Tangerang kala musim hujan berlangsung.

Banjir memberikan banyak masalah. Tapi juga ada anggapan bagi mereka yang   sering kena banjir tak menjadi persoalan, sebab banjir itu kawan tahunan. Bukan lagi sebagai bencana tapi musim tahunan yang selalu akrab dalam kehidupan.

Lihat saja beberapa lokasi yang sering kena banjir seperti kampung pinggir kali menyambut banjir dengan pasrah, tak merasa kecewa berat. Mereka sudah mahfum dengan banjir. 

Di tempat lain seperti di komplek perumahan daerah Ciledug Tangerang Banten Jalan Hasyim Asyari pun tak pernah alpa kena genangan banjir di musim penghujan. Akibat ini, jalanan macet, aktivitas warga yang dari dan menuju Tangerang dan Jakarta akhirnya terhambat.

Rasanya mereka tidak ada rasa jera. Solusinya saat banjir datang mereka mengungsi ke daerah bebas banjir. Tetapi jika banjir sudah kembali surut, warga kembali menempati wilayah rawan banjir tersebut. Lagi-lagi Ini menandakan, bahwa oleh warga banjir sudah sebagai teman keseharian. 

Musim penghujan Jakarta rawan banjir termasuk satu di antaranya daerah Jakarta Utara, Rabu (13/11/2012). Sebuah sungai yang ada di Jalan Danau Sunter Utara, Kecamatan Sunter Agung Jakarta Utara. (photo by budi susilo)

Lalu banjir di DKI Jakarta dan Tangerang itu salah siapa ? Tentu saja sebenarnya ini tidak bisa dicarikan siapa yang salah apalagi harus sampai ada yang jadi kambing hitamnya. Problematika banjir sudah ada sejak Jakarta dan Tangerang diduduki oleh pemerintahan kolonial Belanda.

Sekarang yang terpenting itu diperlukan kesadaran bersama dalam mengatasi bancana banjir agar tidak terus-menerus rutin menggenangi Jakarta dan Tangerang.

Selain pemerintah daerah, juga perlu kesadaran dari masyarakatnya. Tidak sekedar mengkritik kinerja pemerintah saja tetapi juga dibarengi kesadaran bersama-sama. Untuk apa jika pemerintah sudah maksimal bekerja, namun warga tidak mengimbanginya. Apa yang dihasilkan tidak ada, hanya mubazir saja.

Contoh upaya sumbangsih dalam mencegah banjir, yakni tidak membuang sampah di sembarangan tempat. Kesadaran ini harus dibangun, sadarnya pun bukan karena ada Peraturan Daerah Sampah yang punya sanksi berat ketika terbukti melanggar membuang sampah sembarangan. 

Kemudian dalam setiap kesempatan, warga diimbau untuk tidak merusak tanaman, sebisa mungkin juga turut ikut menanam, memperbanyak pohon untuk penghijauan dan resapan air.

Mengatasi banjir bukan satu dua orang saja. Dibutuhkan kerja keras dan gotong-royong dalam menyelesaikan dilema banjir. Kesengsaraan yang diakibatkan dari bencana banjir sebenarnya sudah banyak dirasakan banyak orang. 

Maka dari itu, mari jadikan bencana banjir sebagai ‘musuh’ bersama, mengatasinya dengan kesadaran bersama. Cara sederhananya menerapkan pola ‘hidup hijau’, yang berbasiskan ramah lingkungan bagi semua alam semesta. ( )


  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MACACA NIGRA PRIMATA SEMENANJUNG MINAHASA I

CANDI GARUDA YOGYAKARTA

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA