BANJIR MUSUH BERSAMA
Banjir Musuh
Bersama
MELIHAT air banjir teringat pada minuman tradisional
bajigur yang memancarkan warna coklat. Bedanya, air banjir tak baik untuk
diminum, sedangkan air bajigur layak diserumput dalam keadaan hangat.
Memang sejak memasuki bulan November ini, cuaca telah
memberi tanda bahwa bulan ini sudah masuk ke musim penghujan. Keadaan ini telah
melanda untuk di berbagai wilayah Jakarta, Tangerang, dan sekitarnya.
Tidak heran, ketika masuk musim penghujan
daerah-daerah ini tidak luput dari bencana alam akibat perbuatan manusia itu
sendiri, yakni bencana banjir dan tanah longsor.
Mengutip dari Badan Meteorologi Kilmatologi dan
Geofisika (BMKG), bahwa musim hujan dimulai awal November dan mencapai
puncaknya dibulan antara Januari hingga Februari tahun 2014. Karena itu, warga
pun diimbau untuk tetap waspada.
Banjir tidak pernah absen saat dalam situasi hujan
deras dengan intensitas yang panjang. Jalan-jalan pusat kota yang berkondisi
baik pun tak luput kena terjangan banjir, apalagi yang berada dalam kampung
pinggiran sungai-sungai.
Antisipasi pencegahan banjir sudah dilakukan berbagai
cara oleh manusia, tetapi tetap saja bencana ini selalu mampir ke pemukiman
penduduk, masuk ke rumah menyulap isi rumah menjadi karpet air.
Ibarat setan jalangkung, banjir itu tamu yang datang
tak diundang dan pergi pun begitu saja tanpa diketahui. Orang-orang tidak bisa
memprediksi, kapan banjir bisa pergi surut menjauh dari tempat tinggal rumah.
Persoalan klasik di Jakarta, banjir disebabkan oleh
kurang baiknya pemerintah daerah mengelola kota agar bebas banjir. Tanah-tanah
di Jakarta begitu mudahnya diubah oleh pemerintah daerah menjadi lahan bangunan
berbeton.
Akibatnya, resapan air berkurang. Ketika air hujan
turun deras mengguyur kota, air tidak bisa mengalir ke dalam tanah. Belum lagi
daya tampung air sungai dan danau di Jakarta juga sudah melebihi kapasitas,
akibat adanya tambahan banjir kiriman dari daerah Jawa Barat.
Belum lama ini juga, untuk di DKI Jakarta, mulai tahun
2013 ini sudah ada revitalisasi waduk sebagai penampung air hujan yang gunanya
untuk meminimalisir genangan air ke daratan.
Menurut pemerintah daerah DKI Jakarta, penanganan
banjir bukan persoalan mudah seperti membalikan telapak tangan. Penuntasan
persolan banjir butuh waktu dan dana yang besar.
Tahapan sekarang saja baru
sanggup mengerjakan kemantapan fungsi Waduk Pluit, sedangkan 42 waduk lainnya
baru akan berjalan di tahun depan.
Pemerintah daerah terus di kritik. Masyarakatnya
menanti gebrakan pemerintahnya untuk mampu menangani banjir secara baik. Tidak
peduli siapa itu gubernurnya, banjir seolah menghiasi Jakarta dan Tangerang
kala musim hujan berlangsung.
Banjir memberikan banyak masalah. Tapi juga ada
anggapan bagi mereka yang sering kena
banjir tak menjadi persoalan, sebab banjir itu kawan tahunan. Bukan lagi
sebagai bencana tapi musim tahunan yang selalu akrab dalam kehidupan.
Lihat saja beberapa lokasi yang sering kena banjir
seperti kampung pinggir kali menyambut banjir dengan pasrah, tak merasa kecewa
berat. Mereka sudah mahfum dengan banjir.
Di tempat lain seperti di komplek perumahan daerah
Ciledug Tangerang Banten Jalan Hasyim Asyari pun tak pernah alpa kena genangan
banjir di musim penghujan. Akibat ini, jalanan macet, aktivitas warga yang dari
dan menuju Tangerang dan Jakarta akhirnya terhambat.
Rasanya mereka tidak ada rasa jera. Solusinya saat
banjir datang mereka mengungsi ke daerah bebas banjir. Tetapi jika banjir sudah
kembali surut, warga kembali menempati wilayah rawan banjir tersebut. Lagi-lagi
Ini menandakan, bahwa oleh warga banjir sudah sebagai teman keseharian.
Lalu banjir di DKI Jakarta dan Tangerang itu salah
siapa ? Tentu saja sebenarnya ini tidak bisa dicarikan siapa yang salah apalagi
harus sampai ada yang jadi kambing hitamnya. Problematika banjir sudah ada
sejak Jakarta dan Tangerang diduduki oleh pemerintahan kolonial Belanda.
Sekarang yang terpenting itu diperlukan kesadaran
bersama dalam mengatasi bancana banjir agar tidak terus-menerus rutin
menggenangi Jakarta dan Tangerang.
Selain pemerintah daerah, juga perlu kesadaran dari
masyarakatnya. Tidak sekedar mengkritik kinerja pemerintah saja tetapi juga
dibarengi kesadaran bersama-sama. Untuk apa jika pemerintah sudah maksimal
bekerja, namun warga tidak mengimbanginya. Apa yang dihasilkan tidak ada, hanya
mubazir saja.
Contoh upaya sumbangsih dalam mencegah banjir, yakni
tidak membuang sampah di sembarangan tempat. Kesadaran ini harus dibangun,
sadarnya pun bukan karena ada Peraturan Daerah Sampah yang punya sanksi berat
ketika terbukti melanggar membuang sampah sembarangan.
Kemudian dalam setiap kesempatan, warga diimbau untuk
tidak merusak tanaman, sebisa mungkin juga turut ikut menanam, memperbanyak
pohon untuk penghijauan dan resapan air.
Mengatasi banjir bukan satu dua orang saja. Dibutuhkan
kerja keras dan gotong-royong dalam menyelesaikan dilema banjir. Kesengsaraan
yang diakibatkan dari bencana banjir sebenarnya sudah banyak dirasakan banyak
orang.
Maka dari itu, mari jadikan bencana banjir sebagai
‘musuh’ bersama, mengatasinya dengan kesadaran bersama. Cara sederhananya
menerapkan pola ‘hidup hijau’, yang berbasiskan ramah lingkungan bagi semua
alam semesta. ( )
Komentar
Posting Komentar