PERS FILIPINA KEMBALILAH KE PEOPLE POWER

Pers Filipina 
Kembalilah Ke People Power
Oleh: Budi Susilo

MANUSIA diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk berakal yang berkarakter rasional. Makhluk lainnya, hewan dan tumbuhan tak diberikan Tuhan berupa akal. 

Dan manusia disimpulkan oleh George Herbert Mead sosiolog Amerika, adalah makhluk rasional dan punya kesadaran akan dirinya.

Manusia diberi akal agar mampu berproses sebagai makhluk pemikir bagi bekal kehidupan di bumi ini. Mengingat, sebutan manusia sendiri diambil dari kata bahasa sansekerta “manu” yang berarti berpikir atau berakal budi. 

Jika melihat fenomena ‘hukum alam’ tersebut, maka pantas manusia melalui akalnya disebut makhluk yang selalu menyukai pada perubahan, dinamis sepanjang masa.

Dari proses itulah, dapat ditebak manusia selalu memiliki gagasan yang tersimpan dalam mimpi. Meminjam pendapat Goeorge Boeree dalam Personality Theories (2008), setiap manusia ingin kepada tujuan, harapan dan cita-citanya. 

Manusia untuk mencapai itu, perlu ada Cogito Ergo Sum, ungkapan yang digagas oleh filsuf Perancis bernama René Descartes, yang artinya “aku berpikir maka aku ada.” 

Maka dari sebuah akal ini akan lanjut dengan aksi berpikir. Disinilah kemudian timbul apa yang disebut rasa keinginan untuk berpendapat dan berekspresi di setiap manusia.

Sebagai bentuk konkrit jaminan penegakan hak berpendapat dan berekspresi pada jaman modern sekarang, manusia menyebutnya dunia demokrasi, jaman era Muhammad bernama syura

Kebebasan berpendapat dan berekspresi_ictwatch.com

Lewat cara demokrasi, tentu manusia dijunjung tinggi akan hak-haknya dalam kebebasan untuk berpendapat dan berekspresi. Aroma politik modern memberi arti bagi demokrasi yang memiliki pilar hak untuk bersuara dan berkarya.

Berdemokrasi ada tujuannya ? Bagi Francis Fukuyama (2005) dalam Memperkuat Negara, bahwa untuk menjinakan kekuasaan negara, mengarahkan kegiatan-kegiatannya ke arah tujuan yang dianggap sah oleh rakyat yang dilayaninya dan menjalankan kekuasaan di bawah aturan hukum. 

Perwujudan hak kebebasan berpendapat dan berekspresi dikejewantahkan dalam ‘produk’ bernama pers dan jurnalisme warga. Pilar dalam berdemokrasi selain konstitusi adalah pers yang merdeka. 

Karena tak lain dan tak bukan, menurut BJ Habibie (2013), pers yang merdeka itu kepentingannya untuk masyarakat, bangsa dan negara. Penyajian pers pun lebih kepada kebenaran, kejujuran, dan objektif.

Sebaliknya, tolak ukur kualitas pers dan juga jurnalisme warga ada pada kebebasan untuk berpendapat dan berekspresi. Dan menginginkan adanya kebebasan agar sumber informasi yang disampaikan dapat dipercaya.

Sekarang ini yang menjadi pertanyaan, apakah ada sebuah negara yang masih membungkam hak-hak kemerdekaan pers dan jurnalisme warga. Jika ada, langkah apa yang harus diambil agar mengembalikan kemerdekaan pers dan hak bebasnya jurnalisme warga sebagai pilar bernegara demokrasi.

Tergadainya Pers Merdeka
Khusus negara-negara di kawasan Asia Tenggara, melihat dinamika yang ada, masih ada satu dua negara yang bertentangan dengan prinsip demokrasi karena mencoba untuk membrangus pers yang merdeka dan pembatasan pada jurnalisme warga.

Satu diantara ‘tumbangnya’ tiang kebebasan pers ada di negara yang beribukota Manila, Filipina. Berdasarkan data yang disaji oleh Reporters Sans Frontieres (RSF) tahun 2013, negara yang berdekatan dengan laut Sulawesi Indonesia tersebut turun peringkat dari 140 ke angka 147.

Data lainnya dari Committe to Protect Journalists (2013), sedikitnya ada 70 jurnalis di dunia terbunuh sepanjang 2012. Hampir 10 persen jurnalis terbunuh di Asia Tenggara, satu di antaranya di negara Filipina.

Dipaparkan pula negara Filipina berada pada posisi puncak dengan 32 kematian. Di antaranya 31 tewas dalam pembantaian di Provinsi Manguindanao 23 November 2012. Para korban ini merupakan reporter lokal yang meliput di komunitasnya.

Jika melihat sejarahnya, di era tahun 1980-an, negara yang memiliki bahasa resmi Tagalog ini dikenal negara yang hebat dalam penerapan kebebasan persnya. 

Kala itu momen yang menjadikan negara Filipina bebas pers adalah persitiwa People Power yang menumbangkan rezim diktator Ferdinand Marcos pada tahun 1986. 

Sejak itulah, kemudian Hari Kebebasan Pers Sedunia yang pertama kali digelar pada 3 Mei 1993 telah dinikmati negara Filipina, yang saat itu tidak seberuntung dengan negara tetangganya, Indonesia, Vietnam, dan Myanmar yang alam kebebasan persnya masih suram. 

Sejarah telah berubah, angin politik berhembus ke penjuru yang berbeda dengan sebelumnya. Situasi ekonomi negara yang berubah drastis belakangan juga menimpa Filipina, membuat negara yang merdeka pada 4 Juli 1946 ini berwajah beda.

Lain halnya lagi, mengutip dari The Guardian.com,  sejak tahun 1992 sejumlah wartawan di Filipina tewas dengan total 73 orang. Untung saja, dalam tahun terakhir ini, 55 pemunuh jurnalis sudah diadili. Namun ketika memasuki awal Agustus 3013, dalam hitungan 48 jam, jurnalis di Filipina ada yang terbunuh sebanyak tiga orang.

Gambaran kasus tersebut dapat dilihat saat 2 Juni, seorang jurnalis stasiun radio dyDD El Nuevo Bantay Radyo di Kota Cebu provinsi Pulau Tengah Masbate bernama Miguelito Rueras atau sapaan akrabnya Mike, tewas ditembak. 

Kemudian ada lagi pada 22 April terbunuhnya jurnalis di Kota Kabasalan provinsi selatan Zambnoanga Sibugay. Yang menjadi korban adalah Mario Vendiola Bayliss. Ia tewas diduga oleh pelaku dua orang bersenjata. Sejauh ini para pelaku belum ada yang dihukum. 

Dan di 2 Juli, jurnalis bernama Jaime G Aquino, yang bekerja pada surat kabar Star Utara mengalami luka berat saat tiga oknum berjenis kelamin pria menembakan ke dirinya. 

Kejadian ini saat ia sedang bertugas di provinsi Pangasinan. Namun atas peristiwa ini, polisi telah meringkusnya. Para tersangka telah ditangkap polisi dengan perkara kasus sebab sengketa pribadi.

Profesi jurnalis beresiko butuh perlindungan semua pihak_istimewa
Gejala tersebut bagi Institut Pers Internasional (IPI) dan Komite untuk Perlindungan Jurnalis, menyatakan secara tegas Filipina negara berbahaya bagi pekerja pers. Terbunuhnya para awak media tersebut menyebabkan Filipina dijuluki sebagai negara paling mematikan kedua di dunia bagi para jurnalis. 

Atas kasus ekstrim kematian jurnalis di Filipina tersebut, maka dapat disimpulkan negara Filipina tak mampu ‘melestarikan’ gairah pers yang merdeka. Tak heran, jika Filipina sekarang ini dinyatakan sebagai negara yang berbahaya bagi para pekerja media. Dari fenomena ini, seolah kehidupan pers di Filipina masih memasuki masa labil.

Hidupnya Jurnalisme Warga
Namun masih ada kabar gembira bagi catatan perjalanan bagi jurnalisme warga. Penampakan Filipina bersahabat dengan jurnalisme warga dilihat pada penempatan jurnalisme warga pada acara tayangan televisi swasta. 

Ini terjadi pada tahun 2010, saat bertepatan pemilihan umum di Filipina. Konsepnya melakukan kombinasi antara mainstream media dengan jurnalisme warga telvisi terbesar ABS CBN. Program tayangan itu diberi isilah “Boto Moto. I Patrot Mo” yang memiliki makna lindungi dan laporkan pilihan mu. 

Sungguh menarik program tayangan televisi itu, melibatkan warga untuk berpendapat dan berekspresi di media masa. Bagi perkembangan jurnalisme modern, model media seperti ini telah membangun pondasi pers seutuhnya bersama masyarakat. 

Lewat jurnalisme warga, media tak lagi bagai menara gading yang tinggi, merasa sebagai penguasa mutlak yang tak menyentuh seluruh lapisan masyarakat. 

Media memposisikan jurnalisme warga dalam kesejajaran eksistensi, maka media tersebut bukan lagi semata-mata milik wartawan dan pemilik media. Pers telah berganti jubah menjadi milik semua. Satu untuk semua, milik seluruh rakyat tanpa terkecuali.

Pers Pilar Demokrasi
Pilar demokrasi menutut adanya kebebasan berpendapat dan berekspresi. Pers yang merdeka dan berkualitas adalah bagian perwujudan demokrasi yang mapan dalam suatu bangsa. 

Apalagi, berbicara kemerdekaan pers pun secara maknawi telah tertuang dalam aturan kehidupan masyarkat internasional. Yakni pikiran dan perasaan mengeluarkan pendapat dijamin haknya dalam Pernyataan Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia  (Universal Declaration of Human Rights).

Melansir dari situs Reuters, Sekjen Perserikatan Bangsa Bangsa, Ban Ki-moon, berceramah bahwa semua pemerintah harus berbuat lebih banyak dan memastikan keamanan, kemerdekaan dan kebebasan bagi jurnalis.

Terutama mereka yang baru menggunakan media. Tegasnya, siapapun yang menargetkan atau membunuh orang media, hanya karena pekerjaan mereka, harus diselidiki dan dibawa ke pengadilan.

Bendera negara Filipina_istimewa

Ban Ki-moon berani berbicara seperti itu karena melihat fenomena di lapangan masih ada pembungkaman terhadap para jurnalis di seluruh dunia. Sadisnya, berujung pada tindakan pembunuhan kala jurnalis sedang menjalankan tugas profesinya.

Berdasarkan catatan PBB, dalam sepuluh tahun terakhir lebih dari 600 wartawan telah dibunuh. Di tahun 2012, ada 121 jurnalis dibungkam dengan cara dibunuh, kiriman teror ancaman, intimidasi dan pelecehan.

Sebenarnya, keberadaan pers dalam sebuah negara memiliki nilai penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Satu manfaat jika pers itu merdeka adalah terciptanya sebuah sistem pengawasan yang terbangun baik. Roda media akan berfungsi menebarkan informasi berbagai hal, di antaranya pemerintahan, sosial budaya, politik dan ekonomi.

Sisi lainnya, pers yang merdeka akan memberikan jembatan antara kebijakan pemerintah dengan rakyatnya, terutama dalam mencari solusi dalam setiap persoalan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dan tak lupa juga, pers yang merdeka akan menjamin adanya kebebasan dalam berekspresi bagi setiap warga negara. Media sebagai alat untuk transfer pendidikan dan budaya serta hiburan bagi warganya.

Karena itu, tak wajar jika Filipina yang memiliki luas negara 300 ribu kilometer persegi membungkam para pekerja media, mematikan tumbuh kembangnya kehidupan pers yang merdeka. 

Jika dibiarkan terus menerus media dalam kondisi mati suri dan pemerintah penguasa seolah acuh tak acuh dan tak menjamin kemerdekaan pers di negara Filipina, maka negara ini kedepan akan sulit mengalami perkembangan dan akan terkucil dalam pergaulan masyarakat internasional.

Pemerintah Wajib Menjamin
Pemerintah selaku penyelenggara pemerintahan harus mengambil sikap. Mampu menjunjung tinggi pers yang merdeka dan profesional, terutama jaminan perlindungan bagi pekerja media di Filipina.

Mengingat pada Desember 2015, Filipina bersama negara-negara Asia Tenggara lainnya akan memasuki paradigma baru, bernama komunitas Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) dengan tiga pilar kerjasama bidang politik keamanan, sosial budaya dan ekonomi.

Untuk mewujudkan itu, diperlukan satu visi, satu identitas dan satu komunitas di semua negara Asia Tenggara. Termasuk dalam hal perwujudan hak-hak kebebasan berpendapat dan berekspresi melalui jaminan perlindungan pers yang merdeka dan profesional.  

Hal ini dibuktian dalam butir piagam The Establishment of The ASEAN Charter yang dideklarasikan di Kuala Lumpur. Bahwa tujuan dibentuknya ASEAN komunitas tahun 2015 satu di antaranya melakukan promosi demokrasi dan penguatan institusi demokrasi.

Intinya, harus ada penghormatan pada hak asasi manusia dan kebebasan, rule of law, termasuk hukum humaniter internasional. Kemudian penolakan terhadap perubahan pemerintahan yang tidak konstitusional dan tidak demokratis. Harus berbasis pada tranparansi dan tata kelola pemerintahan yang baik pula.

Untuk menjamin terciptanya atmosfir tersebut tentu saja dibutuhkan sebuah pers yang merdeka berdaulat. Sekarang yang menjadi persoalannya, masyarakat ASEAN itu tidak hampa akan visi, gagasan atau rencana tindakan. 

Tetapi dilema yang dihadapi itu terkait dengan perwujudannya. Sejauh mana keefektifannya dan jaminan dari negara-negara ASEAN seperti Filipina untuk mentaatinya agar cita-cita masyarakat ASEAN yang berperadaban tercipta. 

Karena itu, bagi negara Filipina harus mengembangkan kebiasaan berupa komitmen untuk menghormati prinsip dan pelaksanaan keputusan, kesepakatan dan komitmen pada ide pelaksanaan. Satu diantaranya dengan menelurkan pers yang merdeka sebagai jaminan penegakan hak untuk berpendapat dan berekspresi. 

Meminjam bahasa pemimpin umat Khatolik dunia, Paus Johanes Paulus II, “jurnalisme harus  dihayati sebagai misi yang dalam batas tertentu dianggap suci, bertindak-tanduk dengan pemahaman bahwa cara berkomunikasi yang kuat telah dipercayakan kepada anda demi kebaikan kita semua.”
 
Maka dari itu, jurnalisme yang merupakan satu darah, senafas sehidup semati dengan kehidupan bernegara, maka negara Filipina harus bisa menjamin tegaknya pers yang merdeka, seperti sediakala di jaman people power menggema di Republik Filipina. ( )

Kota Tangerang2013

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MACACA NIGRA PRIMATA SEMENANJUNG MINAHASA I

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

CANDI GARUDA YOGYAKARTA