MENEROPONG TRAGEDI 1965

Memutar Film-film Aroma Politik 

SIANG itu boleh saja terik matahari bersinar cerah, namun tak menyurutkan pergerakan saya dalam menyusuri Kota Jakarta. Hari itu, menerabas korden-korden ultra violet dengan bersenjatakan semangat, Jumat (21/9/2013).

Kesempatan kali ini, menyambangi komplek Palmerah Jakarta Selatan, kandangnya perusahaan media Kompas Gramedia. Tetapi disini, hanya mampir ke tempat ladang seni budaya bernama Bentara Budaya Jakarta.

Kebetulan saja ditempat tersebut digelar acara nonton bareng film dokumenter yang bertemakan Meneropong Tragedi 1965, sebagai ingatan tentang tragedi kemanusiaan dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965.

Namun sayang, saya datang ke acara ini terlambat, tidak tepat waktu, tiba di tempat sekitar jam 14.30 WIB. Beberapa menit adegan film yang diputar sempat tertinggal. Film yang sempat tidak saya saksikan ini ialah berjudul Yang Bertanah Air Tak Bertanah, yang diputar sekitar jam 14.00 wib.

Datang terlambat ke Bentara Budaya alasannya terjebak macet, maklum saja Jakarta pusat ibukota sejak dahulu kala masih saja menyimpan kebiasaan buruk berupa kemacetan arus lalu-lintas. Padahal ini naik sepeda motor, tetap saja kena jebakan kepadatan lalu-lintas.  

Jika dilihat tema tragedi kemanusiaan, kesannya film ini sangat horor, tetapi disini bedanya tidak menyajikan mengenai adegan-adegan vulgar horor seperti film Susana kebanyakan. Film yang disajikan lebih kepada gaya penuturan pelaku-pelaku peristiwa.

Misalkan, di film yang saya sempat saksikan mengenai Rante Mas, tidak mengandung adegan kekejaman yang sadis, tetapi lebih kepada pengakuan tokoh-tokoh yang menjadi saksi peristiwa.

Diceritakan dalam film Rante Mas, bagaimana para saksi saat itu menjelaskan mengenai lokasi eksekusi mati orang-orang yang dituduh sebagai penganut ideologi komunis di tahun 1965 dan penembakan misterius pada 1984 hingga 1985. Lokasi yang diceritakan ada di wilayah Gunung Kidul Jogjakarta.

Selanjutnya film Menyemai Terang Dalam Kelam. Film ini berkisah mengenai tragedi kemanusiaan pada tahun 1965 hingga 1966. Isi film ini menyajikan saksi korban yang disiksa dan dipaksa mengaku sebagai anggota Gerwani, sebuah organisasi yang dituduh menyiksa para jendral di Lubang Buaya.

Tak Dendam Tumbuhkan Pembelajaran
Dikesempatan itu juga, turut hadir sutradara film dokumenter I Gde Putu Wiranegara dan Yayan sang penggarap film dokumenter berjudul Jembatan Bacem.

Dalam diskusi film, Wiranegara bercerita banyak kendala dan rintangan dalam menggarap film bertema tragedi politik era Partai Komunis Indonesia (PKI). Ia mengaku dalam membuat film tidak memiliki modal besar. Uang dikantong hanya cukup seadanya.

Namun hal itu tidak menjadi halangan untuk berkarya. Wiranegara pun mendapat dukungan dari para korban-korban politik tahun 1965 untuk mensukseskan penggarapan film.

Para sutradara film dokumenter bertema tragedi politik Indonesia tahun 1965 mengisi diskusi dan bedah film dokumenter. Yayan berbaju putih dan Wiranegara berkostum batik coklat menjadi nara sumber, memberikan pengalamannya dalam pembuatan film di Bentara Budaya Jakarta, Jumat (21/9/2013) / (photo by budi susilo)

Kata ia, sungguh beruntung bekerja di IKJ (Institut Kesenian Jakarta) karena bisa pinjam kamera dan peralatan film lainnya. Sedangkan untuk beli kaset dan pengeluaran uang lainnya disumbang dari orang-orang.

Ia memulai memberanikan diri untuk membuat film di tahun 2005. Dalam hal pendanaan juga dibantu langsung oleh Putu Oka Sukanta yang berperan menggalang dana sumbangan film dokumenter.

Barulah sekitar di tahun 2007, film dokumenter yang berjudul Tumbuh Dalam Badai dilemparkan ke khalayak luas, meski pada awalnya dihantui oleh rasa ketakutan yang besar dari pihak para tentara.

Alasan dia membuat film bukan berupaya untuk aksi balas dendam dan meluapkan kebencian pada rezim pemerintahan saat itu. Tetapi lebih dari ini, kata dia, film dimunculkan untuk pelajaran berharga bagi generasi penerus bangsa.

Dan sutradara lainnya, Yayan pun senada. Film dokumenter yang ia garap berjudul Jembatan Bacem memberikan sejarah politik Indonesia di tahub 1965 lebih berwarna. Kebenaran yang selama ini terpendam diangkat ke tengah masyarakat.

Selama ini ungkap Yayan, masyarakat Indonesia hanya disuguhi film politik tahun 1965 berjudul Gerakan 30SPKI. Padahal katanya, film ini lebih kepada muatan kepentingan politik rezim orde baru saat itu.

Ibaratnya seperti cinema of teror, yang setiap satu tahun sekali di bulan September selalu diputar di layar televisi milik pemerintah. Masyarakat Indonesia seolah di doktrin dengan film tersebut. 

Sedangkan objektivitas sejarahnya masih diragukan, perlu dikritisi dengan cara penggarapan film-film dokumenter tragedi 1965.

Dari hasil diskusi itu, pada intinya, film-film yang diangkat sebagai pelajaran berharga agar tidak kembali terulang. Tujuan mengungkap para saksi-saksi yang ada di film tersebut bukan untuk menyulut kemarahan para korban yang lainnya. 

Apalagi juga untuk menumbuhkan kebencian dan balas dendam, jelas bukan untuk ini. Sebab, masa depan bangsa ini masih panjang, butuh modal persaudaraan dan rasa kasih sayang satu sama lainnya. ( )


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MACACA NIGRA PRIMATA SEMENANJUNG MINAHASA I

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

CANDI GARUDA YOGYAKARTA