BUKAN JAMANNYA SENGKETA BATAS NEGARA
Bukan Jamannya Sengketa Batas Negara
Oleh: Budi Susilo
PERCEKCOKAN
dalam setiap kehidupan bermasyarakat itu selalu ada. Sejak jaman nabi Adam
turun ke bumi hingga akhir jaman ini, selalu saja ada hal-hal pertentangan
antar manusia.
Dilema
tersebut tak pandang batas negara, suku, jenis kelamin atau antar agama. Semua
lapisan masyarakat selalu punya catatan gesekan konflik akibat segala persoalan
kehidupan yang selalu datang silih berganti.
Tak
heran, Carl Max bapak Das Kapital
dari Jerman menyimpulkan sejarah kehidupan manusia itu penuh dengan
pertentangan kelas. Dan konflik adalah bagian dari proses revolusi kehidupan
manusia di bumi ini.
Bicara
soal problematika hubungan, belakangan ini masih terjadi pada negara yang ada
di Asia Tenggara, antara Malaysia dan Singapura. Kedua negara yang serumpun ini
mempersoalkan kedaulatan negara masing-masing, perebutan wilayah pulau.
![]() |
Logo ASEAN Community_istimewa |
Singapura yang memiliki luas wilayah 704 kilometer persegi ini merasa memiliki tiga pulau Pedra Bracna Batuan Tengah dan Karang Selatan. Namun beda persepsi dengan negeri jiran Malaysia, bahwa ketiga pulau tersebut merasa masuk dalam wilayah kedaulatannya.
Akibat
hal itu, sengketa atau percekcokan terjadi pada kedua negara tersebut.
Singapura yang geografisnya dekat dengan Malaysia dan Indonesia merasa tiga
pulau itu berada dalam cakupan negaranya.
Malaysia
negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia, Singapura, Thailand,
Filipina, dan Brunei Darussalam, menganggap tiga pulau itu masuk dalam
wilayahnya, jika ada yang merebutnya berarti telah mencabik-cabik nasionalisme
kebangsaannya.
Boleh
satu sama lain saling klaim. Tetapi semua itu ada aturannya. Dalam hidup
bermasyarakat pasti ada aturan, apalagi dalam pergaulan masyarakat
internasional, tentu aturan itu di junjung tinggi, diplomasi diutamakan
ketimbang perang antar fisik.
Berbicara
soal ketiga pulau, sejarahnya persengketaan mulai terjadi sejak tahun 1979. Sebagai
langkah solusi, kedua negara mau mengajukannya lewat jalur hukum melalui Mahkamah
Internasional.
Dalam
prosesnya di Mahkamah Internasional pada tahun 2008 akhirnya keluar kesimpulan
berupa keputusan yang isinya menyerahkan Pulau Pedra Branca kepada pemerintahan
Singapura. Hanya satu pulau saja yang dinyatakan secara hukum sah milik negara
Republik Singapura itu.
Namun
selebihnya, dua pulau yang tersisa masih belum jelas penyelesaiannya. Seolah
masih terkatung-katung status hukumnya, apakah masuk wilayah Singapura atau
Malaysia.
Apalagi
belakangan penyerahan Pulau Pedra Branca yang sudah diputus oleh Mahkamah
Internasional kurang diterima masyarakat Malaysia. Bagi negara asal Siti
Nurhalizah tersebut, tidak rela Pulau Pedra Branca masuk wilayah kedaulatan
Singapura, akibatnya kerap terjadi perselisihan antar masyarakat kedua negara.
Sebenarnya
perselisihan yang tak kunjung padam tersebut harus dihindari. Alangkah baiknya
mengambil sikap saling damai, jadikan hukum sebagai panglima, sebab
perselisihan itu akan membawa ke arus jurang kehancuran. Biarkan hukum yang
berbicara agar kedamaian tercipta.
Sebagai
bangsa serumpun jalan yang baik dengan melalui negosiasi, mengatasi masalah
antar kedua negara dengan cara-cara bilateral dengan menjunjung tinggi konsep
musyawarah.
Jika
tak ada jalan keluar, berarti aura realisme masih dikandung badan, yang
menyatakan kekuasaan negara di atas segalanya. Seperti teori yang di singgung
oleh Hans Morgenthau dalam Scientific Man
versus Power Politics.
Negara
dianggap sebagai aktor rasional yang egois dan mengejar kekuasaan, yang
berusaha memaksimalkan keamanan dan keselamatan masyarakat negaranya sendiri.
Jika
melihat kasus tersebut, tentu saja begitu prihatin bagi masyarakat Asia
Tenggara yang secara antropologi dan pisikologi ada kesamaan serumpun, satu
persaudaraan.
Seharusnya,
sengketa pulau antar negara-negara di Asia Tenggara bukan jamannya lagi,
mengingat pada akhir Desember tahun 2015 sudah satu komunitas dalam keluarga
besar Association of South East Asian
Nations (ASEAN).
Melalui
semangat tersebut, maka seolah tak ada lagi batas-batas perbedaan dengan tetap
menghargai perbedaan dan tanpa ada pemaksaan untuk sama seragam. Cita-cita dan
harapan terbentuknya komunitas ASEAN 2015 lebih kepada memumpuk rasa
persaudaraan, tanpa ada lagi perbedaan yang memecahkan persatuan demi kemajuan.
Semangat
komunitas ASEAN 2015 tak sebatas dalam ranah ekonomi negara. Lebih dari ini,
mencakup semua lini kehidupan. Melalui integrasi masyarakat ASEAN 2015, tentu
saja akan membuahkan rasa satu persaudaraan, semangat bersama untuk maju.
Atau
dalam bahasa internasionalnya disebut a
caring and sharing community, yakni sebuah masyarakat ASEAN yang saling
peduli dan berbagi, yang selalu mengutamakan pada pembangunan sosial,
pendidikan, pengembangan sumber daya manusia, kesehatan masyarakat, kebudayaan
dan informasi serta perlindungan lingkungan alam. Semoga ini dapat kita
wujudkan bersama. ( )
Komentar
Posting Komentar