MYANMAR GAMANG PADA GLOBALISASI

Myanmar Gamang Pada Globalisasi
Oleh: Budi Susilo

Bumi yang bulat ini memacu diri untuk mendekap lebih erat tanah, air dan langitnya. Bumi yang bundar ini, menggairahkan sanubari untuk menjelajahi daratannya yang berwajah curam dan bertebing. Bumi, gestur yang seksi untuk dinikmati.

Setiap orang pasti menginginkan jalan-jalan mengelilingi dunia. Rasa keingintahuan di luar negeri sana, selalu muncul dalam diri setiap orang. Sebab mereka yang mampu ke luar negeri, jaringan pergaulannya akan bertambah, cakrawala pengetahuannya pun semakin luas. 

Terkait berkeliling dunia, bahkan seorang tokoh evolusi fiqh bernama Imam Syafi’i pernah mengemukakan, “Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman. Tinggalkan negeri mu dan merantaulah ke negeri orang. Merantaulah, maka kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan.” 

Turis asal Jerman di Kota Manado Indonesia_budisusilo

Era dunia yang kini telah bergeser ke kiblat globalisasi, akan semakin sering melihat beberapa manusia melintas dari satu negara ke negara lain. Mereka orang bule, orang negro, orang putih mongoloid, orang asia sawo matang, begitu mudah dan seringnya berjumpa dalam satu negara.

Seolah sekat-sekat kedaulatan negara terputus, menjadi satu kesatuan dunia yang menyeluruh dan utuh. Tak lain, ini bertujuan untuk bersatu menambah kekuatan dalam menghadapi tantangan ke depan yang semakin kompleks.

Gejolak Globaliasi
Berangkat dari fenomena itulah, negara-negara yang berada di geografis Asia Tenggara pun, membentuk wadah perkumpulan yang bernama Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). Dan pada Desember 2015 nanti, mulai resmi pelaksanaan Komunitas Ekonomi ASEAN, atau ASEAN Connectivity.

Harapan dari itu semua, berdasarkan deklarasi Kuala Lumpur mengenai The Establishment of The ASEAN Charter, membangun ASEAN dalam integrasi ekonomi, penguatan demokrasi, dan menjembatani kesenjangan pembangunan antar negara anggota.

Dan tentu saja, menurut mantan Menteri Luar Negeri RI (1987-1999), Ali Alatas, dalam makalahnya Menuju Suatu ASEAN Yang Berdasar Hukum, negara-negara yang masuk dalam lingkup ASEAN harus mengembangkan kebiasaan berupa komitmen untuk menghormati prinsip dan melaksanakan semua keputusan.

Satu pembuktian pelaksanaan semboyan ASEAN: One Vision, One Identitiy, One Cummunity terjadi pada bidang pariwisata. Sudah ada beberapa negara yang sudah tak lagi membebankan aturan visa bagi pengunjung yang berasal dari negara ASEAN.

Pengalaman ini pernah dirasakan seorang pengusaha travel asal Indonesia provinsi Gorontalo, Maulana Malik Habibie (28),  pada awal tahun 2011 lalu mengunjungi tiga negara tanpa dimintai visa.

“Saya jalan-jalan berwisata ke Singapura, Thailand, dan Malaysia. Tiba di bandara, hanya paspor saja, tidak ada lain-lain,” ungkapnya, melalui telepon genggamnya, Kamis (29/8/2013) pagi.

Pria bertubuh gempal ini merasakan kenyamanan, tidak berbelit-belit ketika tiba di negara tujuan. Paling hanya di Singapura, pengamanannya sangat ketat hingga semua fisik badan dan barang bawaan di geledah.
“Saya pribadi tidak masalah kalau di geledah-geledah, sebatas alasannya demi menjamin keamanan negara Singapura,” ujar Mualana. 

Dirinya yang suka ke luar negeri, lebih sangat setuju jika tanpa pemberlakuan aturan visa. Alasannya, visa itu bisa membuat dirinya harus mencurahkan banyak waktu untuk mengurus birokrasi tetek bengek. Dan belum lagi, mengalami kerugian karena harus mengeluarkan biaya tinggi. 

“Visa itu tidak penting. Tapi bagi negara yang dikunjungi sebenarnya untung, dapat pendapatan. Ya, tapi kalau bebas visa, otomatis juga banyak wisatawan yang datang, bisa hidupkan ekonomi negara yang dikunjungi,” ungkap pria yang akan mengakhiri masa lajangnya di September ini.

Pergaulan Kaku
Namun lain cerita, dari beberapa negara yang tergabung dalam ASEAN, hanya negara Myanmar yang berbeda. Negara yang beribukota Naypyidaw ini masih mempraktekan visa bagi para pengunjung negaranya. Praktek ini sudah berlaku lama, sudah bertahun-tahun.

Kejadian tersebut pernah dirasakan oleh Nara Nasrullah, seorang jurnalis senior di sebuah media ternama harian Kompas. Katanya, dalam konteks globalisasi dan hubungan komunitas ASEAN, negara Myanmar sifatnya masih relatif tertutup, belum terlalu terbuka.

“Diharuskan ada visa. Ini saya rasakan pada tahun 2012, saat berkunjung, liputan ke Myanmar. Saya  juga melihat langsung bagaimana aparat negara tersebut masih gagap melakoni globalisasi,” ungkap pria asal Makassar ini, Kamis (29/8/2013).

Padahal di sisi lain, Myanmar sedang melakukan pembangunan ekonomi. Ini menuntut adanya dorongan investasi dari segala penjuru, tetapi sayang, sikapnya seakan masih kaku. “Butuh investor luar negeri. Harusnya ciptakan iklim investasi yang ramah,” kata Nara.

Selain itu tambahnya, Myanmar masih membiarkan terjadinya perang etnis berlabel agama, antara muslim Rohingya dan warga Myanmar Budha. Akibat ini, Myanmar merasa terpojok di mata dunia internasional. “Semakin banyak orang datang maka aibnya tercium dunia,” tutur Nara. 

Sekarang ini, menurut analisa Nara, Myanmar masih merasa gamang antara terbuka atau tertutup, mengingat Myanmar sekarang sedang mengalami era transisi dari tertutup ke terbuka. “Dilihat masih gagap. Tampil beda dibanding sesama negara anggota ASEAN lainnya,” ungkap lulusan dari Universitas Hasanudin Makassar ini. 

Karena itu, menurutnya, peniadaan visa untuk kawasan ASEAN patut diapresiasi sebagai upaya mendorong kemudahan mobilitas manusia antar negara. “Seiring era globalisasi saatnya setiap bangsa berpikiran terbuka dengan cara sering berinteraksi,” tegasnya. 

Apalagi sesama bangsa serumpun di Asia Tenggara, negara anggota harus berinteraksi dan menyikapi isu-isu global secara bersama. Myanmar sebaiknya mengambil sikap tegas, jangan lagi gagap dalam berhubungan dengan masyarakat internasional. 

“Bebaskan warga sesama negara ASEAN untuk berkunjung ke Myanmar, tanpa harus mengurus visa. Pasti pendapat saya ini akan banyak yang sepakat, bukan,” tutur Nara.

Menumbuhkan Kebersamaan
Senada dengan Mantan Menteri Luar Negeri Indonesia, Hassan Wirajuda sebagaimana mengutip dari buku Antologi 40 Tahun ASEAN: Menuju Suatu Komunitas (2007), bahwa tantangan ke depan yang dihadapi adalah mewujudkan komunitas yang mengakar di hati seluruh masyarakat ASEAN.

Bagian terpentingnya adalah menumbuhkan rasa kekitaan (we feeling), bukan rasa keakuan dari masing-masing anggota ASEAN. Tak lupa juga mengembangkan rasa peduli dan berbagi di antara masyarakat ASEAN. 

“ASEAN bermanfaat dan relevan dengan kehidupan rakyat. Menjamin terwujudnya suatu komunitas ASEAN yang sesungguhnya,” tegas Hassan, yang merupakan pria kelahiran Tangerang ini.

Logo ASEAN_istimewa
Melihat pertumbuhan wisata yang semakin progresif, dibuktikan melalui data Organisasi Pariwisata Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2012, ternyata jumlah wisatawan dunia telah tumbuh sekitar 4 persen, meski ekonomi dunia labil. 

Jadi tepat kiranya, negara-negara ASEAN untuk melakukan terobosan ‘revolusi’ berupa menghilangkah visa kunjungan demi memajukan pariwisata bersama di kawasan Asia Tenggara.  ( )



Kota Tangerang2013


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MACACA NIGRA PRIMATA SEMENANJUNG MINAHASA I

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

CANDI GARUDA YOGYAKARTA