MASJID NURUTTAQWA GORONTALO
Masjid Persembahan dari Sepasang Cinta
Oleh: Budi Susilo
ANGIN semilir yang bertiup sore itu, menjadi kenikmatan tersendiri bagi Harun Talib (57), saat duduk bersantai bersama dua jamaah lainnya dipelataran Masjid Nuruttaqwa yang masih ditumbuhi pepohonan dan padang rumput yang menghijau.
Tentu saja, ini ia lakukan kala usai menjalankan perintah sholat wajib Ashar di bulan Ramadan, Jumat (3/8/2012). Memang untungnya, cuaca saat itu pun sangat bersahabat, cerah sumringah nikmat untuk buat bersantai ria.
Pria bertubuh gempal ini dikenal sebagai Imam Masjid Nuruttaqwa, juga tahu perjalanan cerita Masjid Nuruttaqwa tempo dulu, yang kini berdiri tegap dilahan sekitar seluas empat ribu meter persegi ini.
Apalagi ia pun kelahiran asli, berasal dari daerah masjid ini, yang berada di Jalan Beringin, Kelurahan Bulado, Kecamatan Kota Barat, Kotamadya Gorontalo, Provinsi Gorontalo.
Dulu itu, Harun bercerita, tempat ibadah ini statusnya bukan masjid (masjid Nuruttaqwa) tapi masih langgar. Kondisi bangunan langgar pun masih seadanya, dibuat dari bahan-bahan yang diambil dari alam sekitarnya.
Mengutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata langgar sebagai kata kerja yang memiliki definisi mesjid kecil tempat mengaji atau bersembahyang; surau.
"Dindingnya masih dari bambu. Atapnya dari rumbai-rumbai. Dulu namanya masih langgar, lalu juga langgar juga belum diberi nama. Orang sebutnya hanya langgar saja," ujarnya.
![]() |
Bekas langgar atau Masjid Al Islah yang bangunannya tidak beratap_budisusilo |
Ia ingat, hal ini berlangsung pada tahun 1960-an, langgar dibangun
warga secara gotong-royong. Sebelum ada langgar, warga masyarakat dalam
melakukan aktivitas ibadahnya dan juga pengajian, dilakukan di
rumah-rumah warga yang sistemnya digilir.
"Tapi lalu ada ide dibuat langgar. Tokoh yang mengajukan ide ini waktu itu Yamin Hasaniah, sebagai tokoh agama berpengaruh di Gorontalo saat itu," tutur Harun, yang punya hobi membaca Al-Quran ini.
Sementara, langgar berdiri di atas tanah hasil wakaf warga. Yang mewakafkan itu, kata Harun adalah Kahar Katili sebagai warga asli setempat keturunan asal Gorontalo. "Orang ya sudah meninggal lama. Waktu itu saya masih kecil, umur-umur 10 tahun," ungkapnya.
Lahirlah Masjid Al Islah
Singkat cerita, perkembangan Islam di daerah ini terus bergairah, lalu dibuatlah perubahan langgar menjadi masjid dengan konstruksi bangunan dari beton semen yang berdesain modern.
"Ini terjadi pada tahun 1968. Masjid ya dikasih nama Al Islah, yang harapnya ada perdamaian," urai Harun, yang kala itu mengenakan kaus berkerah merah maron dengan setelan bawahan berupa kain sarung coklat kotak-kotak.
Al Islah Berganti Nuruttaqwa
Tapi nama Masjid Al Islah itu ternyata bukanlah nama yang abadi. Memasuki di tahun 1990-an, masjid berganti nama dari Al Islah menjadi Nuruttaqwa. Bagaimana ceritanya bisa mengalami perubahan nama ? ada hal-hal yang melatarbelakanginya.
Kondisi sekarang di tahun 2012, di komplek pekarangan masjid ada dua bangunan dibagian sebelah kiri dan kanan. Adanya dua bangunan tersebut dilatar belakangi oleh perubahan kondisi kebutuhan tempat ibadah.
Kalau dilihat dari pintu masuk komplek Masjid Nuruttaqwa, bangunan bagian kanan itu adalah dulunya langgar yang kemudian jadi Masjid Al Islah.
Sementara di bagian kiri itu adalah bangunan yang baru muncul belakangan, yang sekarang disebut sebagai Masjid Nuruttaqwa, dibangun sekitar tahun 1995.
"Karena sudah ada Masjid Nuruttaqwa, maka Masjid Al Islah sudah tidak ada lagi, difungsikan menjadi tempat pengajian al Quran bagi anak-anak," ungkap bapak beranak enam dan satu cucu ini.
"Tapi lalu ada ide dibuat langgar. Tokoh yang mengajukan ide ini waktu itu Yamin Hasaniah, sebagai tokoh agama berpengaruh di Gorontalo saat itu," tutur Harun, yang punya hobi membaca Al-Quran ini.
Sementara, langgar berdiri di atas tanah hasil wakaf warga. Yang mewakafkan itu, kata Harun adalah Kahar Katili sebagai warga asli setempat keturunan asal Gorontalo. "Orang ya sudah meninggal lama. Waktu itu saya masih kecil, umur-umur 10 tahun," ungkapnya.
Lahirlah Masjid Al Islah
Singkat cerita, perkembangan Islam di daerah ini terus bergairah, lalu dibuatlah perubahan langgar menjadi masjid dengan konstruksi bangunan dari beton semen yang berdesain modern.
"Ini terjadi pada tahun 1968. Masjid ya dikasih nama Al Islah, yang harapnya ada perdamaian," urai Harun, yang kala itu mengenakan kaus berkerah merah maron dengan setelan bawahan berupa kain sarung coklat kotak-kotak.
Al Islah Berganti Nuruttaqwa
Tapi nama Masjid Al Islah itu ternyata bukanlah nama yang abadi. Memasuki di tahun 1990-an, masjid berganti nama dari Al Islah menjadi Nuruttaqwa. Bagaimana ceritanya bisa mengalami perubahan nama ? ada hal-hal yang melatarbelakanginya.
Kondisi sekarang di tahun 2012, di komplek pekarangan masjid ada dua bangunan dibagian sebelah kiri dan kanan. Adanya dua bangunan tersebut dilatar belakangi oleh perubahan kondisi kebutuhan tempat ibadah.
Kalau dilihat dari pintu masuk komplek Masjid Nuruttaqwa, bangunan bagian kanan itu adalah dulunya langgar yang kemudian jadi Masjid Al Islah.
Sementara di bagian kiri itu adalah bangunan yang baru muncul belakangan, yang sekarang disebut sebagai Masjid Nuruttaqwa, dibangun sekitar tahun 1995.
"Karena sudah ada Masjid Nuruttaqwa, maka Masjid Al Islah sudah tidak ada lagi, difungsikan menjadi tempat pengajian al Quran bagi anak-anak," ungkap bapak beranak enam dan satu cucu ini.
![]() |
Atap tampak depan Masjid Nuruttaqwa yang khas gaya jawa_budisusilo |
Bagian genteng Masjid Nuruttaqwa bergaya khas
bangunan di tanah Jawa, bermodel joglo, dengan ciri atap
bertingkat-tingkat dan berwarna hijau. Masjid Nuruttaqwa sendiri
atapnya bertingkat dua, tanpa dilengkapi asesoris kubah, hanya tiang
kecil di pucuk atap dengan simbol bulan bintang.
Sama seperti sebelumnya, Masjid Nuruttaqwa itu berdiri di tanah wakaf warga setempat dari pasangan cinta antara pria dan wanita bernama Nursiah Katili dan suaminya Niko Mailangkai yang kebetulan juga seorang non muslim.
"Mereka berdua menikah, lalu wakafkan tanah untuk masjid. Niko Mailangkai menikah dengan warga asli Nursiah yang juga masih ada keturunan dari Kahar Katili," urainya.
Itulah kenapa, nama masjid diambil dari kata Nuruttaqwa, karena berasal dari nama Nursiah yang ditambah kosakata takwa, yang berarti mampu menjalankan perintah dan larangan Allah.
"Mailangkai membeli tanah lalu diwakafkan untuk masjid dan namanya diambil dari istrinya. Mereka berdua belakangan tinggal di Amerika Serikat dan kini keduanya sudah tidak ada, telah lama meninggal dunia," katanya.
Mereka berdua mewakafkan tanah untuk masjid karena ingin mencari jalan ridho Allah, apalagi sejak kecil mereka berdua juga sering bermain di kawasan pekarangan ini yang dahulunya masih bangunan langgar.
"Dibelakang langgar itu ada sungai Bolango. Mereka berdua katanya waktu masa kecil sering bermain di sungai. Bagi mereka, mungkin ditempat ini ada kesan spesial," ungkapnya.
Peran Tokoh Agama
Keberadaan Masjid Nuruttaqwa memiliki peran sentral dalam pembentukan manusia yang beriman dan bertakwa. Satu di antara tokoh yang berpangaruh dalam usaha dakwah kala itu ada nama Abdul Wahab Dubaidi.
"Dikenal sebagai imam masjid. Orang yang pintar dalam agama Islam, juga sebagai pedagang tikar yang pemasarannya sampai Ternate dan Manado," katanya.
Harun pun masih ingat akan risalah beliau tersebut saat masih masjid bernama Al-Islah. Misalkan beliau pernah sampaikan pesan mengenai keharusan untuk memakmurkan masjid. Hal ini ia ingat betul, waktu Harun masih muda di umur 30 tahun.
"Ia pernah pesan jangan pernah tinggalkan masjid. Kamulah yang harus perlihara dan selalu luruskan jalan. Ini disampaikan detik-detik beliau sakit parah jelang kematiannya," tutur Harun.
Sama seperti sebelumnya, Masjid Nuruttaqwa itu berdiri di tanah wakaf warga setempat dari pasangan cinta antara pria dan wanita bernama Nursiah Katili dan suaminya Niko Mailangkai yang kebetulan juga seorang non muslim.
"Mereka berdua menikah, lalu wakafkan tanah untuk masjid. Niko Mailangkai menikah dengan warga asli Nursiah yang juga masih ada keturunan dari Kahar Katili," urainya.
Itulah kenapa, nama masjid diambil dari kata Nuruttaqwa, karena berasal dari nama Nursiah yang ditambah kosakata takwa, yang berarti mampu menjalankan perintah dan larangan Allah.
"Mailangkai membeli tanah lalu diwakafkan untuk masjid dan namanya diambil dari istrinya. Mereka berdua belakangan tinggal di Amerika Serikat dan kini keduanya sudah tidak ada, telah lama meninggal dunia," katanya.
Mereka berdua mewakafkan tanah untuk masjid karena ingin mencari jalan ridho Allah, apalagi sejak kecil mereka berdua juga sering bermain di kawasan pekarangan ini yang dahulunya masih bangunan langgar.
"Dibelakang langgar itu ada sungai Bolango. Mereka berdua katanya waktu masa kecil sering bermain di sungai. Bagi mereka, mungkin ditempat ini ada kesan spesial," ungkapnya.
Peran Tokoh Agama
Keberadaan Masjid Nuruttaqwa memiliki peran sentral dalam pembentukan manusia yang beriman dan bertakwa. Satu di antara tokoh yang berpangaruh dalam usaha dakwah kala itu ada nama Abdul Wahab Dubaidi.
"Dikenal sebagai imam masjid. Orang yang pintar dalam agama Islam, juga sebagai pedagang tikar yang pemasarannya sampai Ternate dan Manado," katanya.
Harun pun masih ingat akan risalah beliau tersebut saat masih masjid bernama Al-Islah. Misalkan beliau pernah sampaikan pesan mengenai keharusan untuk memakmurkan masjid. Hal ini ia ingat betul, waktu Harun masih muda di umur 30 tahun.
"Ia pernah pesan jangan pernah tinggalkan masjid. Kamulah yang harus perlihara dan selalu luruskan jalan. Ini disampaikan detik-detik beliau sakit parah jelang kematiannya," tutur Harun.
Sosok selanjutnya yang dikenal adalah Muhammad Hasaniah, yang dikenal sebagai imam se-kecamatan Kota Barat dan menjabat sebagai Kepala Kantor Urusan Agama Kota Gorontalo.
"Dakwah yang ia sampaikan mudah dipahami. Kalau ceramah tidak hanya sekedar kata-kata tapi ia tunjukan bagaimana prakteknya," ujar pria kelahiran Gorontalo, 25 Desesember 1955 ini.
Contohnya waktu menerangkan mengenai aturan membersihkan diri dari najis kecil seperti berwudhu, beliau mengajarinya dengan menunjukan bahasa tubuh dan perkataan. "Saya kalau yang ia jelaskan jadi cepat paham," katanya.
Kemudian, di jaman ulama Muhammad Hasaniah aturan sholat Tarawih di Masjid menjadi lebih sedikit. Awalnya 20 rakat oleh beliau terapkan menjadi 8 rakaat.
"Ada alasan beliau lakukan 8 rakaat, supaya jamaah sholat lebih khusuk. Bacaan surah al-quran di dalam sholat juga dapat didengar secara baik oleh jamaah, sehingga paham dan nantinya akan hapal ayat-ayatnya," ungkap Harun menutup pembicaraan. ( )
Komentar
Posting Komentar