IBU dan PEREMPUAN INDONESIA
Oleh: Budi Susilo
Pelukan hangatnya memberi keteduhan. Belaiannya bagai hembusan angin pagi, memberi keheningan, menambah kesejukan jiwa raga. Perjuangan ia tak gentar, membimbing, membina memantapkan jati diri pribadi, membentangkan atmosfir pencerahan. Ia selalu membangunkan dari mimpi Utopia. Ia selalu merentangkan bau harum bebungaan. Merangkul hangat tuk sambut masa depan, menghabiskan gelap menuju terang benderang. Inilah pancaran kasih sayang yang dirasakan setiap anak dari Ibunya. Keberhasilan seorang anak tidak terlepas dari balutan seorang ibu, hancurnya seorang anak pun akibat durhaka terhadap ibunya.
Ada pepatah populer di masyarakat, surga berada di telapak kaki ibu. Mengibaratkan, siapa mereka yang berbuat zhalim terhadap Ibu, maka buat mereka yang percaya, pintu neraka terbuka lebar. Rasulullah Muhammad SAW pun pernah sering sebut kata Ibu, ketimbang seorang ayah, sebab peran dan posisinya teramat penting. Dalam sabdanya, yang telah diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, "Sesungguhnya Allah mengharamkan ke atas kalian tiga perkara dan membenci tiga perkara; mengharamkan durhaka kepada ibumu, membunuh anak perempuan, tidak mau memberi tapi suka meminta. Ia membenci perkara; banyak bercakap kosong dan banyak bertanya."
Perempuan dan ibu bagai sisi mata uang yang tidak bisa terlepaskan. Satu sama lain sama, yang berbeda hanya kata pengucapannya. Berbicara perempuan berarti membahas hadirnya sosok Ibu, begitu pun melihat pribadi Ibu, perempuanlah pelakunya. Namun ibu adalah perempuan yang telah melewati masih hamil, melahirkan anak manusia, berpikir dewasa, inovasi, mandiri dan bermental moral dan etika berkualitas tinggi, sebagai modal penuntun, penyuluh serta alat penerang ke anak. Itulah kenapa Miyamoto Musashi, seorang kesatria Samurai Jepang pernah berkata "Satu di antara untuk menang, jangan bergantung satu dua alat atau cara, naluri makhluk hidup menggunakan seluruh akal dan alat yang bisa dijumpainya." Berdasar logika ini, berarti pribadi ibu bisa digolongkan sebagai alat lain dalam mencapai kemenangan hidup seseorang.
Kasih dan cintanya seorang Ibu tidak akan pernah habis. Bulan dan bintang redup waktu fajar tiba, bulatan matahari hilang ketika senja hadir, namun curahan kehangatan kasih sayang Ibu ke anaknya tidak akan pernah luntur. Kebaikan sesorang Ibu ini pernah ada pada seorang Ibu bernama Teresa, ia menuturkan sebelum dipanggil Tuhan Yang Maha Kuasa, "Kalau saya memungut seseorang yang lapar dari jalan, saya beri dia sepiring nasi, sepotong roti. Tetapi seseorang yang hatinya tertutup yang merasa tidak dibutuhkan, tidak dikasihi dalam ketakutan, seseorang yang telah dibuang dari masyarakat. Kemiskinan spiritual seperti itu jauh lebih untuk diatasi."
Sosok ibu sebagai perempuan itu hal yang ajaib, mampu membuat dunia bercahaya. Jauh dari kesuraman dan kegelapan. Filosof berdarah Libanon, Kahlil Gibran pun pernah mengungkapkan, "Ibu adalah segala-galanya. Dialah penghibur dalam kesedihan, tumpuan harap dalam penderitaan dan kelemahan. Dialah sumber cinta kasih, belas kasihan, kecenderungan hati dan ampunan. Barangsiapa kehilangan ibunya, hilanglah sebuah jiwa murni yang memberkati dan menjagainya siang malam."
Proses perjalanan bangsa ini pun tidak terlepaskan dari peran kaum perempuan, sejarah mencatat ketika 21 Desember 1928, timbul rasa kekuatiran dari Polisi dan Intelijen Hindia Belanda ketika itu. Aparat negara ini berencana akan bertindak dengan menangkap setiap gerakan perempuan yang menyebut Indonesia dan aktivitas perkumpulan yang bertujuan mendirikan Indonesia. Namun, berangkat dari niat dan tekad kuat, para aktivis perempuan tersebut esoknya, 22 Desember 1928, di Yogyakarta saling bertemu dan menyuarakan persatuan untuk perjuangan mewujudkan Indonesia. Itulah sebab kenapa di Indonesia, setiap 22 Desember diperingati hari Ibu.
Melihat catatan sejarah tersebut, sebagai generasi muda bangsa, baik itu pria dan wanita, refleksikanlah arti posisi seorang perempuan, bila meminjam istilah Hu Jintao, Presiden Cina (2008), "Sejarah harus selalu diingat dalam pikiran, bukan karena kita ingin meneruskan kebencian. Kita harus belajar dari sejarah, bergerak maju, menghargai dan menjaga perdamaian." Perempuan ibarat pondasi bangsa dan negara. Tanpa perempuan, berwujud pribadi Ibu, hampa rasanya dunia. Melupakan peran Ibu, berarti
melenyapkan nilai kesuksesan hidup.
Keberadaan perempuan di sebuah bangsa dan negara diibaratkan kembang dan kumbang. Kembang tanpa kumbang tidak akan berkembang dan kumbang tanpa kembang hidupnya akan tumbang. Warisan perjalanan bangsa dan negara ada ditangan generasi muda, campur tangan menghasilkan generasi bangsa yang bermartabat, berkarakter, dan berkualitas barometernya ada di perempuan sebagai seorang Ibu. Untuk itu, pengembangan sumber daya manusia perempuan di Indonesia mesti diperhatikan, bukanlah di anak tirikan. Usahakan kapasitas intelektual, moral, nalar perempuan Indonesia lebih paripurna, berkualitas taraf para raja dari segala raja.
Jangan sampai perempuan Indonesia di jaman globalisasi ini seperti yang pernah diungkapkan oleh Raden Ajeng Kartini di suratnya untuk Nyonya R. M Abendanon pada Agustus 1900, "Peraturan yang berabad-abad dijunjung tinggi oleh bangsanya bahwa gadis harus kawin, harus menjadi milik seorang laki-laki, tanpa mempunyai hak untuk bertanya, apa, siapa dan bagaimana." Padahal memasuki dekade abad 21, perempuan harus mampu bersaing, bisa tampil menjadi tokoh publik membawa perubahan kemajuan masyarakat.
Satu di antara kuncinya adalah akses pendidikan tinggi bagi kaum perempuan harus terbuka luas. Karena itu, secara kebijakan politik, kepala daerah di tiap propinsi Indonesia harus mampu, berani dan mau memporsikan Anggaran Pendapatan Belanja Daerahnya untuk pengembangan dan memajukan kaum perempuan melalui berbagai pemberdayaan, pendidikan dan keterampilan, agar wawasan perempuan seluruh Indonesia terasah menakjubkan. Tentu diharapkan perempuan Indonesia memberi penghidupan bagi manusia yang satu dengan manusia lainnya yang dalam bahasa filosofis pahlawan nasional asal Minahasa Sulawesi Utara, Sam Ratulangi. "Si tou timou tumou tou. Manusia baru dapat disebut sebagai manusia, jika sudah dapat memanusiakan manusia." ()
Ada pepatah populer di masyarakat, surga berada di telapak kaki ibu. Mengibaratkan, siapa mereka yang berbuat zhalim terhadap Ibu, maka buat mereka yang percaya, pintu neraka terbuka lebar. Rasulullah Muhammad SAW pun pernah sering sebut kata Ibu, ketimbang seorang ayah, sebab peran dan posisinya teramat penting. Dalam sabdanya, yang telah diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, "Sesungguhnya Allah mengharamkan ke atas kalian tiga perkara dan membenci tiga perkara; mengharamkan durhaka kepada ibumu, membunuh anak perempuan, tidak mau memberi tapi suka meminta. Ia membenci perkara; banyak bercakap kosong dan banyak bertanya."
Perempuan dan ibu bagai sisi mata uang yang tidak bisa terlepaskan. Satu sama lain sama, yang berbeda hanya kata pengucapannya. Berbicara perempuan berarti membahas hadirnya sosok Ibu, begitu pun melihat pribadi Ibu, perempuanlah pelakunya. Namun ibu adalah perempuan yang telah melewati masih hamil, melahirkan anak manusia, berpikir dewasa, inovasi, mandiri dan bermental moral dan etika berkualitas tinggi, sebagai modal penuntun, penyuluh serta alat penerang ke anak. Itulah kenapa Miyamoto Musashi, seorang kesatria Samurai Jepang pernah berkata "Satu di antara untuk menang, jangan bergantung satu dua alat atau cara, naluri makhluk hidup menggunakan seluruh akal dan alat yang bisa dijumpainya." Berdasar logika ini, berarti pribadi ibu bisa digolongkan sebagai alat lain dalam mencapai kemenangan hidup seseorang.
Kasih dan cintanya seorang Ibu tidak akan pernah habis. Bulan dan bintang redup waktu fajar tiba, bulatan matahari hilang ketika senja hadir, namun curahan kehangatan kasih sayang Ibu ke anaknya tidak akan pernah luntur. Kebaikan sesorang Ibu ini pernah ada pada seorang Ibu bernama Teresa, ia menuturkan sebelum dipanggil Tuhan Yang Maha Kuasa, "Kalau saya memungut seseorang yang lapar dari jalan, saya beri dia sepiring nasi, sepotong roti. Tetapi seseorang yang hatinya tertutup yang merasa tidak dibutuhkan, tidak dikasihi dalam ketakutan, seseorang yang telah dibuang dari masyarakat. Kemiskinan spiritual seperti itu jauh lebih untuk diatasi."
Sosok ibu sebagai perempuan itu hal yang ajaib, mampu membuat dunia bercahaya. Jauh dari kesuraman dan kegelapan. Filosof berdarah Libanon, Kahlil Gibran pun pernah mengungkapkan, "Ibu adalah segala-galanya. Dialah penghibur dalam kesedihan, tumpuan harap dalam penderitaan dan kelemahan. Dialah sumber cinta kasih, belas kasihan, kecenderungan hati dan ampunan. Barangsiapa kehilangan ibunya, hilanglah sebuah jiwa murni yang memberkati dan menjagainya siang malam."
Proses perjalanan bangsa ini pun tidak terlepaskan dari peran kaum perempuan, sejarah mencatat ketika 21 Desember 1928, timbul rasa kekuatiran dari Polisi dan Intelijen Hindia Belanda ketika itu. Aparat negara ini berencana akan bertindak dengan menangkap setiap gerakan perempuan yang menyebut Indonesia dan aktivitas perkumpulan yang bertujuan mendirikan Indonesia. Namun, berangkat dari niat dan tekad kuat, para aktivis perempuan tersebut esoknya, 22 Desember 1928, di Yogyakarta saling bertemu dan menyuarakan persatuan untuk perjuangan mewujudkan Indonesia. Itulah sebab kenapa di Indonesia, setiap 22 Desember diperingati hari Ibu.
Melihat catatan sejarah tersebut, sebagai generasi muda bangsa, baik itu pria dan wanita, refleksikanlah arti posisi seorang perempuan, bila meminjam istilah Hu Jintao, Presiden Cina (2008), "Sejarah harus selalu diingat dalam pikiran, bukan karena kita ingin meneruskan kebencian. Kita harus belajar dari sejarah, bergerak maju, menghargai dan menjaga perdamaian." Perempuan ibarat pondasi bangsa dan negara. Tanpa perempuan, berwujud pribadi Ibu, hampa rasanya dunia. Melupakan peran Ibu, berarti
melenyapkan nilai kesuksesan hidup.
Keberadaan perempuan di sebuah bangsa dan negara diibaratkan kembang dan kumbang. Kembang tanpa kumbang tidak akan berkembang dan kumbang tanpa kembang hidupnya akan tumbang. Warisan perjalanan bangsa dan negara ada ditangan generasi muda, campur tangan menghasilkan generasi bangsa yang bermartabat, berkarakter, dan berkualitas barometernya ada di perempuan sebagai seorang Ibu. Untuk itu, pengembangan sumber daya manusia perempuan di Indonesia mesti diperhatikan, bukanlah di anak tirikan. Usahakan kapasitas intelektual, moral, nalar perempuan Indonesia lebih paripurna, berkualitas taraf para raja dari segala raja.
Jangan sampai perempuan Indonesia di jaman globalisasi ini seperti yang pernah diungkapkan oleh Raden Ajeng Kartini di suratnya untuk Nyonya R. M Abendanon pada Agustus 1900, "Peraturan yang berabad-abad dijunjung tinggi oleh bangsanya bahwa gadis harus kawin, harus menjadi milik seorang laki-laki, tanpa mempunyai hak untuk bertanya, apa, siapa dan bagaimana." Padahal memasuki dekade abad 21, perempuan harus mampu bersaing, bisa tampil menjadi tokoh publik membawa perubahan kemajuan masyarakat.
Satu di antara kuncinya adalah akses pendidikan tinggi bagi kaum perempuan harus terbuka luas. Karena itu, secara kebijakan politik, kepala daerah di tiap propinsi Indonesia harus mampu, berani dan mau memporsikan Anggaran Pendapatan Belanja Daerahnya untuk pengembangan dan memajukan kaum perempuan melalui berbagai pemberdayaan, pendidikan dan keterampilan, agar wawasan perempuan seluruh Indonesia terasah menakjubkan. Tentu diharapkan perempuan Indonesia memberi penghidupan bagi manusia yang satu dengan manusia lainnya yang dalam bahasa filosofis pahlawan nasional asal Minahasa Sulawesi Utara, Sam Ratulangi. "Si tou timou tumou tou. Manusia baru dapat disebut sebagai manusia, jika sudah dapat memanusiakan manusia." ()
Komentar
Posting Komentar