ORANG GILA MEMELUK KALTIM
Puluhan
Orang
Alami Gangguan Jiwa Berat
Sebanyak
64 orang sedang mengalami perawatan intensif di sejumlah rumah sakit jiwa di
Kalimantan Timur (Kaltim). Sebagian besar dari mereka mengalami gangguan jiwa
berat akibat terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dari perusahaan batubara
tempat mereka dahulu bekerja.
Kepala Seksi Kesehatan Khusus, Dinas Kesehatan Balikpapan, Ahmad Jais, di rumah kopi Jobs Balikpapan Baru, mengungkapkan hal tersebut, data pasien yang tervonis sebagai Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) meningkat setiap tahunnya.
"Data yang kami punya itu diambil dari rumah-rumah sakit penanganan kejiwaan yang ada di Kaltim," ujarnya kepada Tribunkaltim pada Sabtu 30 Oktober 2016.
Ia menjelaskan, mereka yang sudah dianggap masuk kategori ODGJ berarti sudah jenis penderita berat. Penanganannya perlu dirawat inap dengan pendampingan dari piskiater karena butuh perawatan medis dan memerlukan obat-obatan.
Berdasarkan data, tahun 2014 ke tahun 2015, pasien ODGJ telah meningkat mencapai 25 pasien. Bahkan data sementara di sampai Oktober tahun 2016 telah menyentuh angka 64 pasien.
Jongfajar Kelana |
Angka 64 ini dianggap sangat besar sebab sampai di penghujung akhir tahun 2016, pasien yang mengidap ODGJ kemungkinan akan bertambah lagi, mengingat situasi kondisi daerah di Kaltim masih gonjang-ganjing melambatnya perputaran roda ekonomi.
"Bagi kami angka yang terhimpun merupakan data yang besar. Sangat memprihatinkan. Telah terjadi peningkatan," tegas Jais, yang lahir di Masamba Sulawesi Selatan.
Ia menegaskan, penganganan gangguan kejiwaan mesti serius diatasi. Negara dalam hal ini pemerintah ikut berperan untuk mencegah warga negaranya mengalami gangguan kejiwaan.
Selama ini pemerintah tengah berupaya memperjuangkan melalui aturan hukum positif, membuat payung hukum berupa Peraturan Pemerintah mengenai pelayanan kesehatan orang dengan gangguan jiwa berat.
Menurut Jais, Peraturan Pemerintah utu sedang dibahas di tingkat ekseksutif pemerintah pusat. Dengan harapan setelah ada peraturan ini maka setiap pemerintah daerah di tingkat kota dan kabupaten memberi prioritas anggaran daerahnya untuk penanangan ODGJ.
Kata Jais, sementara ini perangkat hukum yang tersedia baru Peraturan Menteri Kesehatan Republik nomor 43 tahun 2016. Bila Peraturan Pemerintah sudah ditelurkan, maka Gubernur, Walikota, dan Bupati tidak boleh mengelak mengatasi ODGJ warga di daerahnya.
"Sampai ada kepala daerah yang membiarkan, nanti akan dikenakan sanksi," ungkap pria lulusan Magister Fakultas Hukum dari Universitas Balikpapan ini.
Dia menambahkan, langkah dan upaya yang sedang dilakukan pemerintah tingkat daerah melalui Dinas Kesehatan, adalah membentuk kader-kader tenaga kesehatan yang dimulai dari tingkat puskesmas.
"Sudah sediakan tenaga kesehatan yang dilatih khusus menangani pasien gejala gangguan jiwa. Di tiap puskesmas sudah ada," ujar Jais, yang pernah menimba ilmu Managemen Administrasi Rumah Sakit di Universitas Indonesia.
Menurut Jais, soal ODGJ memang wajib ditangani secara serius, perlu melibatkan semua elemen seperti keluarga inti dan tetangga terdekat. Kesehatan jiwa merupakan modal penting bagi kemajuan bangsa. "Rakyatnya sakit jiwa, pastinya negara kita akan tertinggal. Akan hancur," tuturnya.
PHK Pengarui Gangguan Jiwa
Meningkatnya jumlah penderita ODGJ di Kaltim tidak terlepas dari latar belakang kondisi perkonomian daerah yang sedang lesu. Banyaknya pengangguran dan roda ekonomi yang berjalan lambat telah menciptakan kondisi yang genting, penuh tekanan, yang kemudian berujung pada munculnya ODGJ.
Hal itu diungkapkan, Ahmad Jais, Kepala Seksi Kesehatan Khusus Dinas Kesehatan Balikpapan, kepada Tribunkaltim. Bahwa, data yang terhimpun setiap tahun penderita ODGJ jumlahnya meroket.
Jais menjelaskan, faktor yang paling utama kemungkinan besar akibat dari krisis ekonomi global yang memberi dampak banyaknya perusahaan pertambangan batu bara di Kaltim yang ambruk, kemudian melakukan pemberhentian tenaga kerja.
"Kita bisa melihat pasien meningkat drastis di tahun-tahun saat adanya gejolak tambang ambruk. Disana ada kejadian karyawan di PHK (Pemutusan Hubungan Kerja)," katanya.
Menanggapi hal itu, dr Irma Armenia, Psikiater dari RSUD Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan, membenarkan bila dampak PHK bisa membuat orang bisa menuju ke arah gangguan jiwa berat.
"Orang di PHK itu bisa membuat kaget. Tadinya punya pekerjaan penghasilan ekonomi tiba-tiba dipaksa tidak punya pekerjaan," kata wanita yang juga pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman ini.
Orang yang terkena PHK menurut dr Irma bagian golongan orang-orang yang rentan terkena gejolak kejiwaan yang lemah. Jika tidak kuat berakibat terkena gangguan jiwa ringan, bahkan bila tidak segera diatasi bisa ke arah gangguan jiwa berat.
"Tidak siap strees, orang akan mengalami gangguan jiwa ringan sampai juga ke berat," tutur perempuan kelahiran Makassar 27 Februari 1971 ini.
Berbeda halnya dengan orang yang pensiunan pegawai, ada perencanaan keuangan jangka panjang dan bersifat matang.
Orang pensiun kerja sama-sama tidak punya pekerjaan dengan orang yang terkena PHK. Tetapi orang yang masuk masa pensiun sudah siap menghadapi dan punya perbekalan, tidak akan mungkin terkena gangguan jiwa berat.
Selama dr Irma menangani pasien di rumah sakit dan beberapa klinik kesehatan, jenis umur yang sering mengalami gangguan jiwa itu adalah kalangan usia produktif, berkisar dari umur 18 tahun sampai 60 tahun.
Karena itu dia menegaskan, bila ada orang terdekat yang sedang mengalami tekanan hidup yang berat kemudian rentan terkena gangguan jiwa maka harus segera diatasi jangan dibiarkan berlarut-larut hingga menjadi gangguan berat. Wajib dicegah secara dini.
Berdasarkan pengalaman, dr Irma menganalisis faktor-faktor para penderita ODGJ sulit sembuh dipengaruhi oleh biogen. Maksudnya, jika orangtua seperti ibu kandung mengalami gangguan jiwa kemungkinan besar anak keturunannya berpeluang mengalami hal yang sama.
Kemudian, keperibadian yang imatur pun faktor yang mempersulit pengidap ODGJ untuk sulit sembuh. Imatur itu pribadi yang tertutup. Ada masalah diselesaikan dengan cara sendiri yang belum tentu baik dan benar.
"Menutup pintu. Saran, nasehat, bantuan orang lain tidak mau menerimanya," ungkap perempuan lulusan Spesialisasi Kesehatan Jiwa di Universitas Padjajaran Jawa Barat ini.
Dilarang Lakukan Bullying Verbal dan Relasional
Anggun Aprilia Eka Putri, M.Psi, seorang psikolog di Kota Balikpapan menganalisis, gejala masalah kejiwaan ringan memang sering dialami setiap orang, terutama mereka yang memiliki persoalan hidup yang berat, penuh tekanan. Gejala ini masih sangat mudah diatasi, bisa kembali normal bila lingkungan sekitarnya bagus dan mentalnya kokoh.
Namun bagi mereka yang sudah dari gejala ringan ODMK (Orang dengan Masalah Kejiwaan) meningkat ke ODGJ (Orang dengan Gangguan Jiwa), perlu harus jadi catatan perhatian serius.
Ketika ada orang yang telah mendapat vonis gejala kejiwaan berat (ODGJ) diperlukan penanganan yang lebih intens, dengan membawa ke pisikiater, diberi pengobatan secara medis. Tidak boleh dibawa ke dukun atau paranormal. Sebab orang dengan gangguan kejiwaan itu bukan terkena ilmu hitam, atau dapat kutukan ilmu guna-guna.
Yang perlu diperhatikan lagi, buat mereka yang sudah divonis gangguan jiwa berat oleh medis, maka pihak orang terdekat seperti keluarga atau kawan, tidak boleh memperlakukan dengan bullying.
Berdasarkan pengalaman yang terjadi, dibeberapa kasus nyata, bullying yang sering dilakukan kepada penderita gangguan jiwa itu ada dua macam. Yakni bullying relasional dan bullying verbal.
Maksud dari bullying relasional, bahwa pihak penderita jangan terus dilakukan pelemahan harga diri korban secara sistematis melalui pengabaian, penyudutan, dan pengucilan atau penghindaran.
Saat ini masih sering kita lihat praktiknya. Penderita gangguan jiwa berat diisolasi seperti memberlakukan binatang peliharaan. Caranya pun beragam, ada yang melalui pemasungan, diikat pakai rantai, dan dimasukan ke ruangan tertutup.
Bentuk pengisolasian inilah yang harus kita hindari. Sebab selain memperburuk kondisi kejiwaan si penderita, juga dianggap telah merampas hak asasi manusia.
Kemudian penderita juga tidak dibolehkan dilakukan bullying secara verbal, baik itu verbal dengan nada halus, maupun dengan verbal bernada tegas dan kasar.
Biasanya, bullying verbal itu terjadi saat penderita berada di tengah-tengah keluarga dan masyarakat. Model bullying verbal ini berbentuk mencela, dihina atau membuat pernyataan-pernyataan yang membuat mentalnya semakin jatuh.
Seperti contohnya, jangan berkata "Kamu ini orang gila tidak boleh keluar rumah nanti bisa membuat malu citra keluarga." Sebaiknya, perlakukan penderita seperti orang normal pada umumnya.
Penderita wajib diajak bersosialisasi seperti orang sehat. Sebab perlakuan kepada penderita seperti orang normal merupakan satu di antara terapi kesembuhan. Pihak keluarga dan lingkungan perlu mendukungnya. Jika lingkungannya tidak kondusif, akan sangat sukar untuk sembuh.[1] ( )
[1] Koran tribunkaltim, “64 Orang di Kaltim Alami Ganguna Jiwa Berat; Dampak
Terkena PHK Perusahaan Tambang,” terbit pada Senin 31 Oktober 2016 di halaman
depan bersambung ke halaman 11.
Komentar
Posting Komentar