JONGKOK
Jongkok
Siang yang sedang terik,
Sunyoto turun dari sepeda motor tuanya buatan negeri matahari terbit. Dia
memarkirkan motor merahnya itu di depan warung kopi milik Mak Walanda, yang
berdiri di atas lahan Kelurahan Ulin.
USAI menaruh
motornya di tempat yang dirasa aman, Sunyoto mengarah masuk ke dalam warung itu,
sambil membawa tas gendongnya yang hitam besar, yang terlihat isi tasnya sangat
berbobot berat, mampu mengucurkan keringat di tubuhnya yang berkulit sawo
matang.
Ditegur oleh
Ahmad, yang sudah terlebih dahulu di dalam warung. “Nyot kemana saja tidak
pernah kelihatan. Tidak terdengar lagi kabar mu. Selalu sibuk yak. Saya sudah kangen
ini.”
“Memangnya
kenapa kamu kangen sama dia, emangnya dia berhutang uang pada mu,” celoteh
Kadir, sopir angkot yang duduk berdekatan dengan Ahmad si tukang sol sepatu.
Sembarangan
saja kau bicara Dir, timpal Maman, seorang seniman tari di Kelurahan Ulin, yang
juga nongkrong di dekat dapur warung, memesan kopi hitam yang belakangan ini
sangat suka minuman jenis ini semenjak dirinya usai berkunjung dari daerah Tanjung
Selor Kalimantan Utara, tiga tahun lalu.
Bukan berarti
timbulnya kangen itu karena ingin menagih hutang, tambah Ellia Jelita, gadis
anak ibu pemilik warung yang sedang menyeduh air panas ke mangkok berisi mie
instan, membuat pesanan pembeli di warung.
Bisa saja,
orang yang pernah bertemu lalu tidak lagi berjumpa pasti akan muncul rasa
penasaran akan kabarnya. Termasuk mereka yang dahulu pernah berkelahi silang
pendapat, kemungkinan bisa saling rindu kala sudah tak lagi bertemu sapa,
ungkap Wati, guru Sekolah Dasar yang sedang libur kerja, iseng mengisi waktu
menjadi pramusaji, membantu pekerjaan si pemilik warung.
Betul itu,
sahut Warto, pegawai office boy di
gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang sedang libur, nongkrong di warung. Setahun
lalu saya saksikan dengan mata kepala sendiri, dua politisi berantem setelah rapat
dengar pendapat tentang jalan desa. Mirip berantem preman pasar saja. “Sekarang
mereka sudah akur lagi demi menjaga pencitraan tempat kerjanya.”
Kontan, Gondiang
Ihlam yang mengenakan jaket kulit coklat tiba-tiba berdiri dari bangku warung
yang berhadapan langsung dengan lemari kaca tempat hidangan kuliner. Dia menghadap
ke pemilik warung, Mak Walanda, sambil mengucap “Berapa harga yang saya makan
semua.”
Lantas
dibalas Sunyoto, yang sudah masuk ke warung sambil mendekatinya, “Sudahlah, biar
saya saja yang membayarnya walau kau punya hutang uang kepadaku. Jangan lekas
pergi, kita ngobrol dahulu lama-lama disini.”
Maaf tidak
bisa, harus pergi segera. Sudah ditelepon oleh beberapa nasabah yang akan
membayar hutang, Gondiang menolak tawaran Nyoto. Saya mau lanjutkan kerja saya.
Menagih hutang orang-orang yang kredit motor sama bos saya. Terima kasih atas
traktirannya bro.
“Kita cari
waktu untuk bisa mengobrol lagi. Jangan bosan ya mentraktir saya,” pinta
Gondiang kepada Nyoto, yang diresponya dengan lemparan senyum manis. “Dasar
orang tidak tahu diri. Moral jongkok,” gerundelan Ahmad dari kejauhan. ( )
Komentar
Posting Komentar