KISAH PETANI KOTA TANJUNG SELOR

Takrib Tak Bersekolah 
Mahasiswa Sering Belajar Padanya
                                                                                                                
Usianya yang hampir memasuki 79 tahun, gelora semangatnya seakan masih berumur muda. Kulitnya yang gelap mulai terlihat keriput di makan zaman, tak membuatnya ambil keputusan untuk berleha-leha malas bekerja.

INILAH kesan yang menempel pada diri Takrib, pria kelahiran Indramayu Jawa Barat yang di tanah rantau Kabupaten Bulungan sebagai petani kota, berkebun tanaman sayur di lahan tidur yang bukan miliknya.

Setiap harinya, tanpa libur, Takrib pergi berkebun sendiri dengan bermodal sebuah pacul dan topi caping. Tanah garapannya ada di pusat keramaian kota Tanjung Selor, di seberang gedung Universitas Kaltara.

Mereka yang biasa melintas di Jl Raya Sengkawit pada pagi hari, pasti akan sering melihat aktivitas bapak beranak lima ini. “Saya tidak pergi bertani kalau sedang ada hujan turun deras,” ujarnya kepada Tribun, pada Minggu 13 Desember 2015.


Lahan tidur dia sulap menjadi kebun sayur bayam dan kangkung secara mandiri tanpa bantuan pemerintah, tenaga penyuluh, apalagi penerapan tekonologi pertanian.

Semua yang Takrib lakukan, memakai cara alami. Saya tidak pernah memakai pestisida. Tanaman hanya saya kasih pupuk kandang saja, bekas kotoran ternak ayam milik orang,” ungkapnya.

Mengawali cocok tanam, dimulai pada tahun 2000. Dia hanya mengandalkan daya fisiknya, sebab Takrib tidak punya kerbau atau traktor. Lahannya dicangkul sendiri, seluas setengah hektar.

“Pertama saya tanam sawi, jagung, semangka, tapi gagal. Saya pikir tanahnya tidak cocok. Kemudian saya tanam bayam sama kangkung, bisa tumbuh subur. Sampai sekarang. Dalam waktu 20 hari saja saya bisa panen bayam sama kangkung,” tutur Takrib. 

Tak heran, meski Takrib tidak pernah mengenyam pendidikan formal, kadang ada beberapa mahasiswa pertanian Universitas Kaltara yang takjub akan kreasi pertaniannya. “Mahasiswa sering datang ke saya. Tanya-tanya soal pertanian. Mereka disuruh dosennya melihat kerja saya disini,” tuturnya.

  
Cerita Takrib bisa ada di Bulungan Kalimantan Utara (Kaltara), awalnya dia ikut dalam gerombolan transmigran dari Jawa Barat di tahun 1992, yang kini lokasinya sudah bernama Desa Gunung Sari, yang hanya sekitar 30 menit dari pusat kota Tanjung Selor.

Alasan Takrib meninggalkan lahan transmigrannya karena merasa jauh dari perkotaan. Lantas dia pada tahun 2000 mengambil ide, pindah ke Tanjung Selor untuk bertani berkat ada tawaran baik dari seorang tuan tanah. “Saya dikasih pinjam lahan, sekalian untuk dijaga,” katanya.

Menurut dia, bertani di pusat kota Tanjung Selor memberi kemudahan bagi kegiatan agrobisnisnya. Jaraknya yang dekat dengan pasar basah, tak perlu mengeluarkan banyak modal transportasi. Harga sayurannya bisa dijual dengan harga terjangkau. Di pasaran, per ikatnya kena bandrol Rp 2 ribu saja.  

Selesai memetik panen, sayuran bisa langsung di jual ke Pasar Induk Tanjung Selor. “Saya di pasar punya lapak jualan. Istri saya yang menjaga lapaknya di pasar. Saya tugasnya menanam dan membawanya ke pasar,” tutur Takrib.[1]


[1] Koran Tribunkaltim, “Kisah Takrib Sang Petani Kota: Mahasiswa Sering Belajar Padanya,” terbit pada Sabtu 19 Desember 2015, pada halaman 18, di rubrik Tribunkaltara

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CANDI GARUDA YOGYAKARTA

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

PONDOK PESANTREN MARDHATILLAH BALIKPAPAN