KISAH NELAYAN BUNYU MEMAKAI BUBU

Lebih Ramah Lingkungan

Pagi itu, bulatan matahari yang terhalang sedikit awan mulai merangkak tinggi, menerangi perkampungan nelayan Pulau Bunyu, pada Sabtu 17 Oktober 2015. Cuaca yang hangat ini dimanfaatkan Hamdan, 23 tahun, untuk membuat kerajinan tangan alat tangkap ikan berupa bubu.

AKTIVITAS itu terekam saat melintasi jalan depan permukimannya yang masih rumah kayu sederhana. Di pekarangan kediamannya, Hamdan membuat bubu. Dia tampak mahir menghasilkan buah tangan bubu. Membuat bubu itu, dirinya tanpa ditemani atau dibimbing oleh orang lain.

“Saya mulai mencoba membuat bubu sejak kecil, waktu masih berumur masih 13 tahun. Saya lahir dan tinggal di keluarga nelayan. Sudah biasa pada hal-hal yang seperti ini,” ujarnya.

Membuat bubu bukan untuk dijual secara komersil, akan tetapi bubu yang ciptakannya dipakai untuk dirinya sendiri. 

Sehari-harinya Hamdan bekerja sebagai nelayan di perairan Bunyu, alat seperti bubu itu adalah kebutuhan pokok yang tak bisa dilupakan saat pergi melaut.

“Sebagian besar warga nelayan disini (Bunyu) banyak yang menggunakan alat tangkap Bubu. Selain ekonomis juga ramah lingkungan, tidak merusak biota laut,” tutur bapak beranak satu ini.

Pulau Bunyu Jongfajar Kelana
Hamdan nelayan Pulau Bunyu mengenakan kaos biru sedang membuat alat tangkap bubu yang fungsinya untuk menangkap ikan di halaman rumahnya pada Sabtu 17 Oktober 2015 pagi. Secara geografis Pulau Bunyu ada di Kecamatan Bunyu, Kabupaten Bulungan, Provinsi Kalimantan Utara. (Photo by Khaeruddin Elang Geo)
 
Menurutnya, alat tangkap bubu lebih ramah lingkungan ketimbang memakai pukat harimau yang bisa mengancam masa depan perairan laut. 

Membuat bubu sangat hemat, bahan pembuatannya dari batang bambu yang tersedia secara alamiah di Bunyu.

“Saya ambil bambu di hutan-hutan sini (Bunyu). Masih banyak kalau kita cari. Tidak sudah kalau mau mencari bambu disini,” ujar Hamdan, yang merupakan pria kelahiran Pulau Bunyu ini.

Selama menggunakan bubu, hasil tangkapan ikan lumayan banyak. Rata-rata bila sedang masuk musim panen, dia bisa meraup 60 kilogram ikan segar yang besar-besar. “Hasilnya sebagian buat dimakan sendiri, sisanya saya jual di pasar,” tuturnya.

Ikan yang didapat adalah kerapu, kakap, tenggiri, bahkan juga ada ikan merah. Teknis penggunaannya, bubu direndam di air dalam kedalaman 13 meter dengan diberi tanda botol plastik.

Ini supaya bisa mengenali lokasi bubunya. “Tunggu dua hari dua malam biasanya sudah bisa menghasilkan tangkapan ikan,” ungkapnya.

Bunyu dikenal potensi ekonomi baharinya. Tidak heran, roda ekonomi Bunyu bertumpu pada hasil perikanan. 

“Kami nelayan di Bunyu menolak menggunakan tangkapan ikan pukat harimau. Alat ini bisa merugikan kami sendiri. Kami lebih baik gunakan pakai cara yang benar, yang tidak merusak laut. Pakai cara yang tradisional saja kami sudah bisa dapat ikannya, tidak perlu lagi pakai pukat,” tegas Ferdinand, Ketua Kelompok Masyarakat dan Nelayan Bunyu.

Banyak warga Bunyu yang menjalankan industri perikanan. Seperti halnya, Nani Suharyani, membuat aneka makanan ringan serba ikan khas Bunyu. 

Produk yang terkenal ialah amplang ikan bandeng dan amplang tenggiri. Sekali produksi bisa hasilkan 56 bungkus.

“Produknya saya buat kemasan. Bisa buat oleh-oleh. Banyak yang sudah membeli. Pasarannya sampai Tarakan, hingga ke daerah Jawa Barat juga,” ungkap ibu beranak empat ini.[1] ( )



[1] Koran Tribunkaltim, “Botol Plastik Untuk Menandai Bubu Nelayan: Saat Panen Bisa Mendapat Hasil 60 Kg Ikan Segar,” terbit pada Senin 28 Desember 2015, di halaman 22,  pada rubrik TribunKaltara.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CANDI GARUDA YOGYAKARTA

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

PONDOK PESANTREN MARDHATILLAH BALIKPAPAN