POLITIK PASCABAYAR KALTARA
Ngerinya !
Hitungan hari lagi,
masyarakat Kalimantan Utara akan melakukan prosesi pencoblosan gambar-gambar
peserta pemilihan kepala daerah, 9 Desember 2015. Hajatan demokrasi ini untuk
mencari pemimpin seorang Gubernur dan Bupati-bupati untuk lima tahun mendatang.
MEREKA yang
memiliki hak pilih, yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih, dianggap
sebagai pembuka sejarah, bagian dari langkah awal untuk menuju pembangunan
daerah yang didambakan.
Kalimantan
Utara, yang masuk dalam bagian negara Republik Indonesia, tidak bisa dipungkiri
mesti melakukan pemilihan kepala daerah setiap lima tahun sekali, tidak seperti
halnya dalam kultur negeri Monarki yang mengandalkan kepemimpinan
turun-temurun.
Republik yang
bermakna dikembalikan kepada rakyat, mengkondisikan rakyat di suatu negara
harus memilih pemimpin dalam periode tertentu, memilih pemimpin yang
mencerminkan keterwakilan aspirasi rakyat secara keseluruhan, tanpa terkecuali.
Menunjuk
pemimpin di sistem republik bukan sembarangan asal memilih, atau disamakan
seperti orang bertransaksi membeli pulsa tekelomunikasi, ada prabayar (politik uang sebelum
pencoblosan) dan pascabayar (politik
uang sesudah mencoblos).
(Jongfajar Kelana) |
Soal siapa
yang dipilih, itu jagonya para pemilih yang pandai menilai idealnya sosok
seorang pemimpin. Yang penting, hak suaranya bukan digadai menjadi prabayar atau pascabayar. Ngeri !
Daripada
suara kita dibayar, mendingan kita meminta rencana program-program kerjanya yang
konkrit, saat nanti si calon kepala daerah berhasil duduk di bangku kursi
Gubernur atau Bupati. Tetapi kalau pun ada calon yang masih mau membayar suara
kita, sebaiknya terima saja bayarannya. Namun jangan dicoblos di bilik suara
yak, ngeri !
Dilarang Membawa Perekam Gambar
Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) akan mendeteksi
dugaan adanya praktik politik pascabayar
yang akan terjadi di beberapa daerah pelosok pedesaan dalam penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah Gubernur dan Bupati.
Siti
Nuhriati, Ketua Bawaslu Kaltara, menuturkan, pihaknya akan menangkal politik pascabayar dengan melakukan pengawasan
ketat di beberapa tempat pemungutan suara yang lokasinya berada di luar pusat
perkotaan.
“Dimana-mana
akan rawan terjadi. Tetapi yang paling mencolok terjadi di daerah pelosok
pedesaan karena merasa tidak ada orang yang mengawasi,” ujarnya kepada Tribunkaltim.co, usai upacara hari
Pahlawan di lapangan Agatis Tanjung Selor, Selasa 10 November 2015.[1]
Siti
menjelaskan, politik pascabayar
merupakan bentuk gerakan yang menerapkan sistem politik uang. Modusnya, pemilik
hak suara saat mencoblos calon tertentu, direkam menggunakan kamera atau video.
“Dilakukan di
bilik suara yang tertutup. Siapa saja tidak bisa melihat kalau sedang aktivitas
mengambil rekaman gambar pencoblosan,” ungkap perempuan berkerudung ini.
Kemudian,
tambah dia, hasil rekaman itu dibuktikan dan diperlihatkan kepada tim
pemenangan pasangan calon tertentu, agar si pemilih ini mendapat imbalan yang
berbentuk bermacam-macam, bisa ditukar dengan barang atau pun uang.
Ide melakukan
politik pascabayar adalah satu bagian
cara untuk menghindari kerugian bagi tim pemenangan atau calon kandidat.
Melalui politik pascabayar, akan ada
jaminan kandidat dipilih secara pasti.
“Model
politik uang sebelum pencoblosan belum tentu pemilih akan memilih. Tapi kalau
yang pascabayar sudah pasti terpilih.
Baru diberikan imbalan. Tim pemenangan tidak merasa dirugikan,” tutur Siti.
Karena itu,
untuk menghindari hal-hal demikian, Bawaslu dalam waktu dekat ini akan
menggelar Bimbingan Teknis bagi pengawas Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang
melibatkan semua elemen dari organisasi sipil maupun militer.
Bawaslu akan
menekankan kepada seluruh pengawas untuk mempelajari dan menguasai politik
busuk yang bernama pascabayar itu.
Kemudian, KPPS harus juga bekerja maksimal. Bekerja cermat, tidak boleh membuka
peluang kecurangan di TPS.
“Nanti bagi
para pemilih yang akan menuju ke bilik suara tidak diperbolehkan membawa
kamera, HP, atau alat perekam gambar lainnya. Barang untuk sementara di
titipkan di petugas TPS dulu,” tegasnya.
Bagi kubu
kandidat atau tim pemenangan jangan mencoba-coba melakukan praktik politik pascabayar. Sebab bila nanti secara
fakta ditemukan praktik politik pascabayar
maka ancaman hukumanya berat, bisa dikenakan pidana.
“Kami ingin
mari kita semua lakukan praktik demokrasi yang bersih. Bertarung secara sehat.
Sementara para pemilih mari kita posisikan diri sebagai pemilih yang rasional.
Benar-benar memilih pemimpin yang dianggap layak,” tuturnya.
Lagi pula,
memilih pemimpin kepala daerah untuk lima tahun mendatang, menentukan bagaimana
nasib daerah ke depan. Bila dari awal tolak ukurnya dari politik uang, tentu
saja nantinya tidak akan banyak berharap pada mulusnya jalan pemerintahan.
“Mereka yang
lakukan politik uang kemudian menjadi kepala daerah pasti yang dipikirkan
pertama adalah bagaimana caranya untuk mengembalikan modal uang di pertarungan
pilkada. Sementara kerja-kerja untuk rakyat bisa jadi dilupakan,” kata Siti. ( )
[1]
Portal TRIBUNKaltim.co “Saat di Bilik
Suara Pemilih Dilarang Bawa Perekam Gambar” terbit pada Selasa 10 November
2015, di rubrik Tribun Etam, daerah Tanjung Selor http://kaltim.tribunnews.com/2015/11/10/saat-di-bilik-suara-pemilih-dilarang-bawa-perekam-gambar
Komentar
Posting Komentar