DESA MUARA | TELUKNAGA | TANGERANG | BANTEN
Menyimpan Segudang Tambak Ikan
BERANGAKAT dari pusat Kota
Tangerang, Masjid Al-Azhom, menuju Desa Muara, Teluknaga, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten terbilang cukup lama, butuh waktu perjalanan sekitar dua jam.
Bagi saya pribadi, perjalanan
ini bukanlah yang membosankan, karena jelajah ke Desa Muara ini adalah momen perdana
buat saya. Otomatis, buat saya sendiri tidak menggendong kesan yang
menjenuhkan.
Menggunakan kendaraan roda
empat, saya melangkah ke daerah Teluknaga pada Sabtu 29 November 2014, pada jam
10 pagi dari pusat kota. Dan tiba di lokasi Desa Muara Teluknaga pada jam 11 lewat
24 menit. Waktu memakan dua jam disebabkan terhalang jalanan yang macet.
Apalagi saat memasuki
kawasan Desa Muara, jalanannya tidak seperti di perkotaan. Jalanannya begitu
sempit, hanya muat satu kendaraan mobil saja.
Itu pun, ketika kita berpapasan
dengan mobil yang lain dari arah yang berlawanan, maka kita diwajibkan untuk jalan
bergantian, harus ada mobil yang mau mengalah untuk menepi sejenak.
Kebetulan, setiba di Desa
Muara, cuacanya begitu terik, panas menyengat. Kondisi ini sangat berbanding
terbalik dengan situasi kondisi iklim musim daerah Banten dan sekitarnya, yang di
bulan November sedang memasuki musim penghujan.
Sepertinya, siang hari itu
yang panas menyengat, membuat sebagian besar warga untuk memilih berdiam diri
di dalam rumah, mengindari terik matahari yang dahsyat. Tidak banyak warga yang
beraktivitas di luar rumah.
Desa ini sangat berdekatan
dengan pesisir. Warga desa ini, sebagian besar bermata pencarian sebagai
nelayan laut dan petambak ikan air payau, ikan bandeng.
Makanya, tidak heran, saat kita
memasuki komplek perkampungan Desa Muara, kita akan disuguhkan pemandangan
kolam-kolam ikan air payau yang tersebar secara merata.
Bandingannya, bila di Afrika Utara sana ada hamparan padang pasir Sahara, maka di Desa Muara ini sangat berbeda, bukan padang pasir namanya, tetapi padang tambak ikan.
Dan juga, kita pun masih
bisa menemukan aktivitas warga yang disibukan dengan membuat jala ikan,
menjemur rumput laut, dan merawat perahu-perahu laut.
Selain itu, di desa ini saya
pun masih bisa berkesempatan melihat beberapa pohon Nipah berdiri tumbuh dan
sebagian lainnya banyak yang telah mati tumbang.
Penelusuran saya di desa
ini, yang berdasar pada pengakuan warga setempat, pohon Nipah yang tumbuh di
Desa Muara adalah asli, tumbuh secara alamiah. Pohon Nipah bukan jenis tumbuhan
yang sengaja dipelihara warga.
Di jaman dahulu, dahan-dahan
pohon Nipah ini sering dimanfaatkan warga sebagai atap rumah warga, sebab dinilai
praktis, gratis, cukup untuk melindungi dari terpaan terik matahari dan rintik
hujan.
Namun berhubung warga sudah
mengenal budaya kaum urban kontemporer, dahan pohon Nipah ditinggalkan, sudah
tergantikan oleh atap berbahan genteng tanah liat, seng, dan asbes.
Bagi penilaian saya pribadi,
saat berkunjung ke desa ini seakan terselimuti atmosfir hawa negeri kepulauan, sebuah
peradaban daratan dan bahari begitu mengental, menjadi satu kesatuan yang utuh,
yang sebenarnya akan mampu memberi potensi kekuatan yang luar biasa bagi para
warganya. ( )
Komentar
Posting Komentar