POPCON 2014 (4)
Komik Sampai Film Berkhas Indonesia
AWAN Kota Jakarta
mulai mendung nan gelap. Rupanya, langit akan menumpahkan air ke tanah Kota
Jakarta. Tepatnya sekitar jam tiga sore, di sepanjang Jalan Gatot Subroto tiba-tiba
hujan turun deras, Sabtu 20 September 2014.
Kontan, saya yang
saat itu memakai motor roda dua, mengambil strategi menepi ke pinggir jalan.
Saya harus berhenti sebentar, ke arah trotoar untuk menggunakan mantel hujan
supaya saya bisa melanjutkan perjalanan.
Tujuan perjalanan
saya adalah ke gedung SMESCO Exhibition Hall, tempat dimana digelarnya event
Popcon Asia 2014. Bermodalkan mantel hujan, saya pun mampu menerabas guyuran
hujan, membelah air hujan yang menggenang di jalan.
Puji Tuhan, meski
laju motor pelan dan santai, saya pun akhirnya bisa tiba dengan selamat di
lokasi, sekitar jam setengah empat tanpa harus berkondisi tubuh berbasah kuyup.
Hanya saja, sandal
butut saya basah. Celana bagian bawah pun juga ikut basah, maklum terkena
cipratan air hujan kala saya melajukan motor. Namun, kondisi ini tidak terlalu
dipermasalahkan, sebab masih dirasa cukup nyaman.
Motor saya, di parkir
di baseman gedung. Walau tarif parkirnya berharga langit dibanding di tempat
parkir liar, yang penting keamanan motor saya bisa terjamin 100 persen.
Alam Raya Nusantara (sketsa by budi susilo) |
Tak selang lama, saya
pun langsung menuju lift, menuju lantai dasar, tempat diselenggarakannya Popcon
2014. Kala itu, meski dikenai tarif Rp 25 ribu para pengunjungnya ramai sekali,
memadati lokasi acara, maklum saja di akhir pekan orang-orang lebih memilih
berlibur ke event ini.
Setibanya di lokasi
acara, saya pun langsung bergegas ke arah panggung utama. Dan ternyata,
kondisinya juga serupa, ramai dan padat oleh lautan manusia. Bangku penonton di
panggung utama sudah terisi semua, tidak ada yang kosong.
Kebetulan saat itu,
di panggung utama sedang ada pengenalan Superhero Indonesia bernama
Nusantaranger yang kini sudah memiliki penggemar banyak. Mereka para
penggemarnya disebut dengan Jagawana.
Lewat drama ini, para
kreator Nusantaranger mengenalkan para karakter tokoh superhero ini, termasuk
senjata-senjata yang dimilikinya. Semuanya, terinspirasi dari Indonesia dan
dibuat langsung oleh orang Indonesia asli.
Sumber inspirasinya
pun diambil dari alam nusantara Indonesia yang mengandung harta berupa
pulau-pulau sebanyak 17.480 buah, dan panjang garis pantai 95.181 kilometer
dengan luas laut sekitar 3,544 juta kilometer persegi.
Usai itu, acara
dilanjutkan dengan talkshow berjudul “Preparing
Publishing Industries to Face AFTA.” Yang intinya membahas mengenai nasib
industri kreatif dalam pasar bebas kawasan regional Asia Tenggara.
Sebagai para pembicara
di bidangnya, panitia menghadirkan pengamat komik, yakni Hikmat Darmawan.
Katanya, industri kreatif itu melewati dua pendekatan praktis.
Yang pertama, terhubung
dengan kelompok-kelompok kecil berbentuk komunitas yang terbentuk di tengah
masyarakat dan yang kedua terhubung oleh negara, dalam hal ini peran dari pemerintah.
Memasuki pasar bebas di
kawasan Asia Tenggara, maka dituntut ada daya saing yang kompetitif. Kualitas sumber
daya manusia harus ditingkatkan. Pasar bebas membawa kondisi negara tanpa ada
batasan.
Nantinya di tahun
2015, tidak lagi saingan antar daerah, misalnya orang Jakarta dengan orang
Bandung. Tetapi juga akan bersaing dengan orang-orang dari luar dari
negara-negara Asia tenggara.
“Orang Singapura,
Philipina yang punya kelebihan kompetitif akan masuk ke Indonesia. Akan berbagi
lahan dengan kita,” ujar pria berkaca mata ini.
Hikmat juga
menginggung komik Indonesia yang kurang menggunakan bahasa Inggris. Padahal
katannya, penting dalam penggunaan bahasa asing agar komiknya bisa diterima di
pasaran international.
“Mungkin masih ada
yang tidak percaya diri atau mungkin tidak ada penerjemahnya. Padahal ini bisa
ditangani,” katanya.
Talkshow Nusantaranger di event Popcon pada Sabtu 20 September 2014 (photo by budi susilo) |
Bandingkan dengan
komik-komik dari luar negeri seperti Jepang, Amerika Serikat sudah banyak yang
pakai bahasa Indonesia sehingga bisa diterima di Indonesia.
Tak heran, banyak
bermunculan komik-komik impor, membanjiri bumi Indonesia. Komik aslinya sendiri,
malah seakan jadi tamu di negaranya sendiri.
Contoh kondisi komik
di Philipina sudah banyak yang memakai bahasa Inggris yang secara kebetulan
juga bahasa nasional resmi negaranya adalah bahasa Inggris. “Komik orang
Philipina seakan bukan lagi jadi tamu di rumahnya sendiri,” tuturnya.
Kemudian, khusus
komik di negara Thailand, gambar-gambarnya pun memiliki ciri khas. Mungkin
karena pengaruh para leluhurnya yang bisa dilihat hasilnya dari goresan-goresan
di candi. “Tradisi budaya Thailand pengaruhi gambar-gambarnya yang lebih
bersifat naratif,” ungkap Hikmat.
Kesempatan lain,
pengamat sekaligus komikus asal Singapura, Lim Cheng Tju, berujar, perkembangan
komik di Singapura terbilang minim. Maklum, selain jumlah penduduknya yang
sedikit, ternyata masyarakatnya juga tidak terlalu suka dengan komik.
Prospek pasar buku komik
di negara Singapura tidak terlalu mencerahkan, sehingga mempengaruhi para
seniman komik untuk berkreasi. Pernah ada yang terbitkan komik tetapi tidak
laku, akibatnya para komikus enggan menggarap lagi komik.
Kata Cheng, seorang komikus
di Singapura tidak bisa mengandalkan hidup dari pembuatan komik. Kalau pun mau
bertahan hidup, maka seniman komik harus menempel ke pemerintah, berharap pada
hibah pemerintah. “Membuat komik sesuai dengan pesanan dari pemerintah,”
ujarnya.
Tetapi itu tadi,
mereka yang dapat hibah tidak bisa bebas berkreasi. Semua isi komik disesuaikan
dengan pesanan selera pemerintah yang sifatnya normatif, tidak bisa kritis.
“Tidak diperbolehkan berbau politik. Isi komik harus menggambarkan isu-isu
sosial,” kata Cheng.
Pernah ada pengalaman
di Singapura, seorang komikus membuat gambar komik yang menyindir pemerintah.
Isi komik mengangkat tema politik yang kritis, namun apa lacur, akhirnya
komikus ini pun harus diseret ke meja hijau. “Oleh pemerintah, gambar komiknya
di tuntut ke pengadilan,” tuturnya.
Padahal tegasnya,
dalam hati nurani para komikus Singapura, membuat komik yang dibantu oleh
pemerintah sangat tidak ekspresif. Hibah yang diberikan dianggap bukan hal yang
baik karena kebebasan seninya dipasung. “Hibah membuat seniman tidak berani
melakukan perubahan,” ujarnya.
Di talkshow itu, juga
menghadirkan sosok komikus blasteran Belanda dan Indonesia bernama Peter Van Dongen
yang terkenal membuat karya novel grafis berbasis komik dengan judul Rampokan Jawa dan Selebes.
Komik ini berisi
mengenai kehidupan masyarakat di tanah Jawa dan Sulawesi pada tahun 40-an, saat
dimana kolonial Belanda kembali beraksi untuk mengambil alih daerah Jawa dan
Sulawesi yang saat itu dikuasai oleh pemerintahan kolonial Jepang.
Acara diskusi ini
berakhir dengan lancar pada jam 17.30 Wib. Tetapi keseruan event Popcon 2014
ini belum berakhir, sebab panitia kembali menghadirkan diskusi film baru
berjudul Pendekar Tongat Emas.
Film ini digarap
sutradara kawakan Indonesia, yakni Riri Riza dan Mira Lesmana, yang inspirasi
ceritanya diambil dari sebuah komik. Film ini akan suguhkan adegan silat yang
energik.
Lokasi pengambilan
gambarnya ada di Sumba, selama tiga bulan dengan total biaya penggarapan
sebesar Rp 25 miliar. Harapan Riri, film ini menyuguhkan cerita dan adegan yang
sangat berbeda dengan film-film yang selama ini dibuat oleh sutradara
Indonesia.
“Filmnya ada kisah
cinta, action, politiknya, yang harapannya ketika di dalam gedung bioskop, para
penonton akan berteriak terkagum-kagum,” ujar Riri.
Saat membuka
pengenalan film Pendekar Tongkat Emas, para pengunjung sangat antusias,
memadati panggung utama hingga mencapai di garis terdepan panggung, yang
kebanyakan mereka ini adalah usia muda.
Talkshow film berjudul Pendekar Tongkat Emas di event Popcon pada 20 September 2014 (photo by budi susilo) |
Begitu pun kala
dibuka sesi pertanyaan bagi para pengunjung, banyak masyarakat yang
mengacungkan tangannya untuk bertanya seputar filmnya. Apalagi bedah film ini
juga menghadirkan para pemainnya yang sudah tak asing lagi, seperti Nicholas
Saputra.
Hari mulai larut,
langit makin gelap menghitam dan bertabur kilap bintang-bintang. Jarum jam pun sudah
menunjukan delapan malam. Akhirnya, saya pun memutuskan untuk segera
meninggalkan lokasi acara Popcon.
Kesan yang saya dapat
dari gelaran hari kedua Popcon ini, sangat membanggakan. Saya jadi tahu bahwa
industri kreatif Indonesia sebenarnya bisa membumi, kualitas dan kreatifitasnya
bisa teruji di kancah nasional maupun internasional. ( )
Komentar
Posting Komentar