WAJAH DESA BOGOR

Air dan Kehidupan Untuk Indonesia Yang Lebih Sehat
Warga Riang Karena Air Cikarawang


PULUHAN bunga teratai menggenang tenang di pinggiran Situ Burung. Terik matahari pagi menyelimuti Situ Burung yang permai. Pohon-pohon rindang tinggi yang tumbuh di pinggiran situ pun, menari-nari tertiup angin sepoi.  

Sedangkan Acep (61), pria beranak tiga ini lebih terlihat sibuk memberi makan ikan peliharaannya yang ada di pinggiran Situ Burung dengan konsep tambak. Sudah hampir setahun, Acep melakoni usaha tambak ikan di Situ Burung. 

“Ikannya saya kasih makan pakai daun bayam merah, daun secin, daun tales, yang saya ambil dari kebun-kebun sekitaran sini,” katanya, yang saat itu, telapak kakinya hanya beralaskan sandal jepit karet.   

Tidak hanya dia sendiri. Ada puluhan orang yang melakukan hal yang sama dengan Acep, berternak ikan air tawar di Situ Burung. Dan usaha ternak ini pun, telah dibuat wadah perkumpulan, atau komunitas petambak ikan air tawar Situ Burung agar terorganisasi secara baik.

“Saya pelihara ikan gurame, sama ikan bawal, juga ikan mujair,” tuturnya ketika saya temui di Situ Burung, pada Rabu 20 Agustus 2014 sekitar jam sepuluh pagi.

Keadaan Situ Burung di Desa Cikarawang pada Rabu 20 Agustus 2014 pagi. Tempat ini selain sebagai aktivitas perekonomian warga desa juga menjadi sarana hiburan yang merakyat. (photo by budi susilo)

Secara geografis, Situ Burung berada di Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.[1] Situ yang menampung limpahan banyak air ini terbilang penting bagi kehidupan warga Desa Cikarawang. 

Situ Burung sudah diibaratkan sebagai jantung kehidupan. Acep sendiri telah merasakan akan kemanfaatan dari Situ Burung, yang konon katanya, tidak pernah mengalami kekeringan walau sudah masuk musim kemarau. 

Waktu itu, ungkapnya, di sekitar tahun 1970, Desa Cikarawang mengalami kemarau panjang. Banyak warga yang datang ke Situ Burung untuk memanfaatkan airnya, untuk segala keperluan hidup, seperti untuk air minum. 

“Waktu saya masih kecil dulu, tempat ini masih hutan belantara. Masih sepi sekali. Pinggiran situ belum ada jalan raya seperti sekarang. Airnya saja masih sangat jernih,” ujarnya, tangannya sambil menunjuk arah ke sekeliling pinggiran situ.  

Tak heran, tambahnya, leluhur Desa Cikarawang memberi nama situ dengan sebutan Burung karena dahulunya air di Situ begitu melimpah ruah, hingga membuat persawahaan warga kebanjiran, sehingga warga tidak jadi panen.

“Kalau bahasa disini, Burung itu artinya bukan nama binatang burung. Tapi Burung yang dimaksud punya arti tidak jadi-jadi,” tuturnya, sebagaimana informasi yang ia dapatkan dari kakeknya dulu.

Nah, semenjak Acep menyandang status pensiun dari kepegawaian kampus Institut Pertanian Bogor, kini dirinya lebih banyak menyibukan diri memelihara ikan air tawar di Situ Burung. 

“Disini airnya bagus buat pelihara ikan, sampai sekarang ikan-ikan saya baik-baik saja, belum ada yang mati,” kata pria yang merupakan kelahiran Desa Cikarawang ini.

Sejauh ini, berdasarkan pengamatan, persis di pinggir Situ Burung, memang sangat berdekatan dengan jalan raya Desa Cikarawang. Jalan beraspal ini menghubungkan ke arah Kampung Carang Pulang dan Kampung Cangkrang. 

Namun meski begitu, keberadaan pohon-pohon rindang masih terjaga baik. Ketika memasuki Desa Cikarawang, pemandangan hijau lestari masih mudah ditemui. Kebun-kebun jagung, singkong, persawahan padi, dan jenis sayur-sayuran lainnya pun menghiasi desa ini. 

Saat matahari akan tepat di atas kepala, banyak juga orang yang datang merapat ke pinggiran Situ Burung. Mereka-mereka ini tak lain ingin memancing ikan di Situ Burung. Alasan mereka, ada yang sekedar ingin menyalurkan hobi dan mengisi waktu.

Satu di antaranya, saya berjumpa dengan Ramli (52). Pria bertubuh tinggi kurus ini mengisi waktu kosongnya dengan memancing ikan. Rumah tinggalnya tidak jauh dari Situ Burung, hanya berjarak sekitar dua kilometer. “Menghilangkan kejenuhan. Kalau di rumah terus, lama-lama bosan,” katanya.

Dia mengaku, memancing ikan di Situ Burung hasilnya tidak seperti di lautan lepas. Memancing di Situ Burung hasilnya bisa dihitung dengan jari, hanya sedikit saja yang diperoleh. Paling banyak, hanya enam sampai tujuh ekor saja. “Kebanyakan hanya ikan bawal,” tuturnya.

Pria yang kesehariannya sebagai guru ngaji di desanya ini mengungkapkan, memancing ikan di Situ Burung memberikan hiburan tersendiri, membikin hatinya selalu riang. Karena ia bisa santai menikmati alam bebas, juga bisa berkesempatan meraih ikan untuk dimakan.

“Saya kalau pergi memancing tidak pernah malam hari. Paling perginya di pagi hari sampai sore saja,” ujar Ramli, yang sudah 24 tahun tinggal di Desa Cikarawang dan memiliki istri asli dari Desa Cikarawang. 

Ulu-ulu Mengatur Air
Usai itu, saya pun melanjutkan perjalanan meninggalkan Situ Burung dan orang-orang yang memancing. Saya masuk ke pelosok, menuju ke perkampungan Carang Pulang, Desa Cikarawang, yang berjarak sekitar satu kilometer dari Situ Burung.

Di rumah-rumah warga, saya melihat sebagian besar pekarangannya dibuat kolam-kolam air atau empang berukuran sedang, sekitar empat kali lima meter. Oleh mereka, kolam ini digunakan untuk berternak ikan.

Kala itu, secara tidak sengaja saya berjumpa dengan Oji (52), yang sedang membersihkan beberapa batang bambu petung di sebuah empang yang memiliki pancuran air. Dimulai dari sini, saya pun berkenalan dengan Oji, dan membicarakan banyak mengenai air di Desa Cikarawang.

Apalagi, kebetulan juga, ternyata Oji merupakan penggiat organisasi Perkumpulan Petani Pemakai Air di Desa Cikarawang, atau yang di jaman tempo silam, warga lokal sering menyebutnya sebagai Ulu-ulu. “Saya baru setahun aktif,” kata Oji yang punya nama asli Marji. 
  
Menurutnya, sejak lama pola kehidupan di Desa Cikarawang, ada yang diberi tanggungjawab untuk mengurusi air desa. Istilah untuk orang yang mengurusi air ini disebut Ulu-ulu.

Sebab, bila tidak ada yang mengurus air, maka kehidupan warga, terutama kebutuhan akan air tidak akan berjalan baik. “Alhamdulillah, di desa ini sumber airnya masih melimpah. Dimana-mana ada mata air,” tutur Oji.  

Selama ini, hal konkrit yang sudah dia lakukan adalah mengawasi aliran air di sungai-sungai kecil Desa Cikarawang. Memantau kondisi sungai kecil, jika ada sumbatan sampah maka akan segera diatasi, agar sungai tidak mampet, dan laju air pun lancar mampu mengairi persawahan.[2]   

Katanya, air bagi warga Desa Cikarang ibarat kebutuhan pokok, penopang utama dalam perputaran roda perekonomian warga. Bila tidak ada air, maka Desa Cikarawang tidak ada denyut nadi kehidupan. 

Karena itu, tegasnya, cerminan orang beriman tidak sebatas hanya diukur dari sholatnya saja. Bagi warga Desa Cikarawang, kadar keimanan seseorang juga dinilai dari sejauh mana mau peduli terhadap unsur air, kehidupan pohon-pohon di desa dan kebersihan lingkungan tempat tinggalnya. 

Alasannya, unsur air, tanaman, dan kebersihan lingkungan itu menyangkut kepentingan umum warga masyarakat Desa Cikawarang. Kalau tidak mau peduli pada air, tanaman, dan lingkungan, maka kadar imannya rendah. “Mereka ini adalah golongan orang-orang yang ahli neraka,” ujar Oji.

Terkadang, ungkapnya, masih ada satu dua warga yang belum sadar akan kelestarian alamnya. Entah belum paham atau memang di sengaja, masih ada sebagian kecil warga tidak disiplin, masih ada yang membuang sampah rumah tangga di aliran sungai.

“Tugas saya selalu mengingatkan mereka. Di sosialisasikan ke musholah atau masjid, lewat kepala lingkungan setempat, agar warga tidak membuang sampah sembarangan di aliran sungai,” katanya.

Pokonya Oji tidak bisa diam bila ada warga yang tetap bandel membuang sampah sembarangan. Sebab, bila dibiarkan terus-menerus, apalagi jika mereka segera tidak disadarkan, maka sampah akan menumpuk, menggunung di sungai, yang suatu saat akan menimbulkan bencana bagi Desa Cikarawang sendiri.

“Kalau sudah tercemar sampah, air kita jadi turun kualitas, sawah kita tidak bisa dapat air, tambak ikan juga gagal, dan rumah warga bisa saja akan kebanjiran atau kena bencana longsor,” urai pria kelahiran dusun Carang Pulang, Desa Cikarawang ini.

Punya 15 Mata Air
Singkat cerita, saya sendiri pun kemudian menyempatkan diri untuk bertemu dengan kepala Desa Cikarawang. Saya temui kepala desa sekitar jam dua siang lebih, di kantornya di Jalan Raya Cangkrang, Carang Pulang, Desa Cikarawang.

Dengan berbalutkan busana pakaian dinas warna coklat, kepala desa yang satu ini begitu bersahabat, sangat terbuka, tidak kaku dan ramah. Mau menerima tamu yang baru dikenalnya.

Senyumnya yang mengembang, menjadi pembuka sambutan ramah bagi tamunya. Bagi saya, ini adalah pengalaman pertama kalinya berjumpa dengan Kepala Desa Cikarawang secara langsung.

Kepala desa ini bernama Sapturi Wijaya (40). Pria kelahiran dusun Carang Pulang Desa Cikarawang ini menjadi kepala desa sejak April 2013. Selama menjabat sebagai kepala desa, dia tetap bertekad menjaga kelesarian lingkungan alam Desa Cikarawang. “Pembangunan desa diselaraskan dengan kelestarian alam,” katanya.

Menurutnya, keseimbangan antara pembangunan dan kelestarian alam sangat penting dilakukan, mengingat Desa Cikawarang bergantung pada alamnya. Jika alam desa rusak, maka pembangunan desa pun tidak akan sukses.

“Desa ini sudah dikenal sumber mata airnya. Walau kemarau panjang desa kami tidak mengalami kesulitan mencari air. Kami punya sekitar 15 titik sumber mata air, yang aliran airnya terus mengalir,” tutur Sapturi.

Sumber-sumber mata air mudah ditemui warga, di sekeliling rumah warga pun muncul mata air secara alamiah. “Di rumah saya sendiri saja dekat sekali dengan mata air. Kalau lagi butuh air tinggal menadah saja,” katanya.

Bahkan ungkapnya, juga pernah ada penelitian dari para mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) bila kualitas air tanah di Desa Cikarawang layak untuk dikonsumsi, baik untuk kesehatan tubuh. “Desa ini masuk lingkar kampus IPB, makanya sering desa ini jadi bahan penelitian mereka,” ujarnya. 

Sejak masa kecil, tutur Sapturi, dirinya telah mengkonsumsi air tanah asli Desa Cikarawang. Namun sejauh ini, yang umurnya sudah menginjak 40 tahun, tubuh fisiknya masih sehat. 

Dirinya tidak mengalami gangguan penyakit akibat dari mengkonsumsi air dari bumi Desa Cikarawang. “Sampai sekarang saya sehat-sehat saja,” katanya yang juga melakoni kerjaan sebagai petani ini.   

Karena itu, tambah Sapturi, untuk menjaga kelestarian air di desanya, maka dia pun menerapkan program kerja yang bernuansa ramah lingkungan, mempraktekan pola go green

Di antaranya, setiap warga desa dilarang untuk membabat liar habitat pohon yang hidup di Desa Cikarawang, dan dilarang keras juga merusak lingkungan Situ Burung. 

“Kami selalu rutin sosialisasi ke seluruh warga. Sosialisasinya didukung oleh kepala lingkungan, para ustad, dan guru-guru di sekolah,” kata pria yang hanya mengenyam pendidikan sampai Sekolah Menengah Atas ini. 

Terkait pengelolaan sampah rumah tangga, maka kini di tiap-tiap lingkungan rukun tetangga disediakan banyak tong-tong sampah, berserta alat transportasi yang akan rutin mengangkut sampah. “Supaya tidak ada lagi yang buang sampah di kali,” akunya.

Eduagrowisata Desa
Pria yang lahir pada 19 Januari 1974 ini berencana akan memanfaatkan sumber air sebagai pilar utama dalam mewujudkan kesejahteraan warga Desa Cikarawang. Dia akan membangun konsep Eduagrowisata di Situ Burung.

Lewat langkah ini, syaratnya warga dituntut untuk tetap menjaga kelestarian air Situ Burung agar eksistensi situ tetap berlangsung abadi. “Pinggiran-pinggiran situ akan kita tata, akan dibuat lebih hijau agar indah dan sejuk,” katanya.

Bila tidak mampu menjaga kelestarian situ, tambahnya, maka Eduagrowisata tidak akan berjalan mulus, sumber air tanah di desa pun akan langka. “Kalau situ rusak tidak terawat, pasti tidak ada wisatawan yang datang kesini. Akibatnya ekonomi warga tidak hidup,” ujar Sapturi.

Konsep Eduagrowisata Situ Burung akan melibatkan semua warga penghuni Desa Cikarawang, dari warga dan untuk warga.[3] Diharapkan dengan berjalannya program ini, masyarakat desa mampu hidup mandiri berkat bekal potensi pertanian dan wisata alamnya. 

“Kalau nanti desa ini jadi lokasi wisata favorit akan banyak wisatawan yang belanja hasil-hasil pertanian warga setempat. Desa juga akan jadi terkenal kan,” tutur pria yang beristrikan orang Jakarta ini.  

Itulah gambaran dinamika kehidupan warga Desa Cikarawang yang damai tentram, serta senang riang. Mereka itu, para warganya mau menyatu dengan unsur air dan tumbuh-tumbuhan. Sebab kehidupan manusia saling berkaitan erat dengan air, dan pohon. Karena itu, mari kita jaga kelestarian alam, sayangi air, dan pepohonan demi kedamaian bumi. ( )

  Bentangan jalan beraspal mulus menuju arah Desa Cikarawang Kabupaten Bogor pada Rabu 20 Agustus 2014 pagi. Tampak di daerah ini aktivitas warga begitu menggeliat, pertanda adanya sebuah pemukiman penduduk. (photo by budi susilo)

Hamparan hijau Situ Burung di Desa Cikarawang yang dipandang dari kejauhan pada Rabu 20 Agustus 2014 (photo by budi susilo)

Aktivitas warga di Situ Burung Desa Cikarawang pada Rabu 20 Agustus 2014 dengan duduk bersantai sambil memancing ikan. (photo by budi susilo)  

Aktivitas seorang warga Desa Cikarawang yang mencoba peruntungan dengan menceburkan diri ke aliran sungai desa berharap mendapatkan ikan (photo by budi susilo)

Tampak seorang warga sedang mencuci batang bambu di sebuah tambak ikan atau empang berukuran sedang pada Rabu 20 Agusuts 2014. Sebagian besar warga Desa Cikarawang memiliki empang di pekarangan rumahnya. (photo by budi susilo)

Kondisi anak sungai di Desa Cikarawang pada Rabu 20 Agustus 2014. Anak sungai ini berfungsi sebagai saluran air irigasi sawah pagi warga setempat. (photo by budi susilo)

Kompleks persawahaan di Desa Cikarawang yang subur makmur pada Rabu 20 Agustus 2014. Sumber airnya juga didapat dari Situ Burung. (photo by budi susilo)








[1] Desa Cikarawang memiliki luas 226, 56 hektar dengan total penduduk berdasarkan data dari kantor kepala desa pada tahun 2014 mencapai 1000 penduduk.
[2] Komplek persawahaan yang ada di Desa Cikarawang biasanya dikenal dengan Blok Patapaan Medang dengan luas lahan sekitar 20 hektar. Dari Situ Burung, jaraknya tidak jauh, daya jangkaunya kurang lebih dua kilometer.
[3] Ada 11 sektor yang menjadi prioritas dalam Komunitas Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun 2015, diantaranya sektor pertanian, perikanan, dan pariwisata.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

CANDI GARUDA YOGYAKARTA

MACACA NIGRA PRIMATA SEMENANJUNG MINAHASA I