GELIAT KOTA TUA JAKARTA 15

Jembatan Kota Intan: Berganti Nama di Tiap Jaman


SEKITAR jam sembilan pagi di cuaca yang cerah, Nugie dengan sepeda balapnya yang ramping, menyambangi Jembatan Kota Intan di kompleks Kota Tua Jakarta pada Sabtu 21 Juni 2014 lalu. 

Dia beristirahat sejenak, menghela nafas usai mengayuh sepedanya yang berwarna kuning mengelilingi kawasan Kota Tua, bersama kawan-kawannya yang lain dari komunitas Historia Indonesia. 

Bermodalkan kamera poket silver, ia sendiri manfaatkan luang waktu istirahatnya dengan mengambil gambar sudut-sudut arsitektur Jembatan Kota Intan itu. 

Pandangannya sangat liar. Dia membebaskan matanya untuk melihat sekujur tubuh keindahan jembatan Kota Intan. Jepret sana, jepret sini, ternyata dia hobi fotografi ! 

Jembatan Kota Intan yang ada di kawasan Kota Tua Jakarta pada Sabtu 21 Juni 2014. Bentuknya unik dan tidak banyak lagi orang yang membangun jembatan seperti jembatan Kota Intan. (photo by budi susilo)

Warna jembatan yang merah, dan lekukannya yang berciri khas, membuat daya tarik orang untuk berkunjung, menginjak jembatannya, dan tak lupa mengabadikan diri melalui kamera perekam. 

Siapa saja itu, bola mata yang memandang jembatannya, mata pun akan terpecut, mata tak lagi terasa kantuk, walau hamparan kali yang melintasi jembatan itu berkesan kecut.

“Bahan kayunya kuat banget. Sepertinya diambil dari kualitas terbaik. Kayunya sampai sekarang masih kuat saja,” puji Nugie, yang diungkapkan kepada saya di lokasi jembatan Kota Intan.   

Mengenai Jembatan Kota Intan di kawasan Kota Tua Jakarta, ternyata punya sejarah panjang, keberadaannya punya rekam jejak nostalgia gaya eropa. Umurnya sudah uzur, telah melebihi dari umurnya negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Dalam perjalanan sejarahnya, jembatan ini sebagai saksi bisu perjalanan bangsa Indonesia. Di tiap jaman selalu berganti nama, hanya modelnya saja yang tetap mengabadi hingga kini.

Berdasarkan penulusuran saya di sekitaran jembatan Kota Intan, ternyata tersedia papan informasi mengenai sejarah pendirian dan eksistensi jembatan itu di tanah Batavia, yang merupakan nama lama dari Kota Jakarta.

Di informasi itu diceritakan bahwa, pada mulanya, jembatan Kota Intan dibangun oleh Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) di tahun 1628 masehi. Jembatan ini memiliki fungsi strategis, yang mampu menghubungkan dua kekuatan, yang telah dipisahkan oleh kali besar.

Suasana Kali Besar di Kota Tua Jakarta pada Sabtu 21 Juni 2014 pagi. Sungai ini merupakan saksi bisu keberadaan jembatan Kota Intan. Sungai ini pun dibelah oleh jembatan Kota Intan (photo by budi susilo)

Dua kekuatan yang dimaksud adalah menghubungkan antara Benteng Belanda dan Benteng Inggris. Kala itu, jembatan ini lebih populer disebut dengan nama Jembatan Inggris atau Engelse Brug.

Jembatan yang memiliki panjang 30 meter ini sempat rusak, tak dapat berfungsi sebagai jalur penyebrangan. Ini terjadi pada tahun 1628 hingga 1629, akibat dari serangan militer dari Banten dan Mataram ke Benteng Batavia.

Karena fungsinya primer, maka setahun kemudian pasca penyerangan tersebut, jembatan Kota Intan kembali diperbaiki oleh Belanda. Setelah normal kembali, kemudian tercetuslah nama jembatan itu dengan sebutan de hoenderpasar brug.[1]
 
Jembatan itu ibaratnya sebagai jantung ekonomi warga, punya manfaat untuk memperlancar arus lalu-lintas aktivitas warga di Batavia. Mengingat, di sekitaran jembatan itu dahulunya berdekatan dengan keramaian pasar perdagangan unggas ayam.

Memasuki tahun 1655 masehi, jembatan ini ternyata juga sempat rusak. Namun pihak pemerintahan Belanda segera memperbaikinya, agar jembatannya dapat kembali difungsikan sebagaimana semestinya. 

Kerusakan kali ini, bukan akibat dari perang milter dari daerah lain, namun bersumber dari serangan bencana banjir dan korosi air laut. Semuanya dapat diatasi, kondisi jembatan kembali normal dan diberinama Het Middlepunt Brug.[2]

Mengingat kehidupan warga Batavia kala itu semakin kompleks dan dinamis, maka jembatan pun diberi inovasi agar mampu menyesuaikan kebutuhan masyarakat saat itu. 

Inovasi ini dilakukan pada tahun 1938 masehi, sehingga kondisi jembatan sangat berbeda dengan konsep sebelumnya. Jembatan di tahun ini dibuat dengan teknologi lipat ke atas, meskipun model tampilan jembatannya tidak berubah.   

Maksud teknologi lipat, jembatan dapat dibelah menjadi dua, sehingga kapal-kapal berbadan besar dapat melintas di kali besar.[3]
 
Sebelumnya, dengan adanya jembatan ini, kapal-kapal tinggi besar tidak dapat melewati kali besar karena terhalang oleh bentangan badan jembatan.

Bentuknya yang klasik membuat daya tarik orang-orang untuk datang berkunjung menginjak Jembatan Kota Intan peninggalan bangsa eropa. Banyak warga penasaran untuk melihat secara langsung pada Sabtu 21 Juni 2014 pagi. (photo by budi susilo)

Kemudian keuntungan lainnya, dengan teknologi lipat itu, jembatan pun dapat terhindar dari terjangan banjir yang melanda kali besar. 

Jika sewaktu-waktu ada genangan banjir besar maka badan jembatan dapat dilipat ke atas, sehingga mampu menghindari arus kuat air banjir. 

Di jaman itu, jembatan lipat ini diberi nama Wilhelmina Brug. Kenapa diberi nama seperti ini, alasannya, kala itu negeri Kincir Angin Belanda, masih dipimpin oleh seorang ratu bernama Wilhelmina. 

Kemudian ketika tampuk kekuasaan ratu Belanda berganti orang, yang diwariskan ke anaknya Wilhelmina bernama Juliana, maka jembatan pun berganti nama menjadi Ophalsbrug Juliana atau Juliana Bernhard. 

Nah, untuk penamaan jembatan Kota Intan merupakan nama yang paling terakhir dipakai. Nama ini dipilih karena jembatannya berdekatan dengan bastion kastil Batavia bernama bastion diamant atau intan.[4]
 
Jembatan yang memiliki lebar 4, 43 meter tersebut tidak lagi difungsikan sebagai jalur penyebrangan. Ini tampak terlihat di sekeliling jembatan sudah dipagar besi, pengunjung hanya bisa masuk pada satu pintu saja.

Kendaraan bermotor seperti mobil, sepeda motor, apalagi sepeda kayuh pun tidak bisa melintas di jembatan ini. Sekarang ini, jembatan Kota Intan sudah bernasib sebagai objek wisata urban, kawasan Kota Tua Jakarta. 

Meski begitu, pengunjung masih dapat bebas masuk menginjak jembatan merah bersejarah itu, untuk melihat-lihat seni arsitekturnya secara gratis asal syaratnya tidak berbuat vandalisme (merusak). 

Oleh Gubernur provinsi DKI Jakarta, pada 7 September 1972, jembatan ini telah resmi ditetapkan sebagai cagar budaya. Dengan adanya jembatan ini, suasana Kota Tua Jakarta pun seakan penuh romansa, ibaratnya kita mampu bernostalgia di tempo silam. ( )   
   




[1] De Hoenderpasar Brug bila diterjemahkan ke bahasa Indonesia artinya jembatan pasar ayam. Sebab dahulunya jembatan ini sangat dekat dengan keberadaan pasar ayam.
[2] Het Middlepunt Brug bila diterjemahkan ke bahasa Indonesia artinya jembatan titik pusat.
[3] Jembatan Kota Intan ini membelah hubungan antara Kalibesar Timur dan Kalibesar Barat.
[4] Kastil Batavia merupakan istilah untuk sebuah kota di jaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Dahulunya disebut Kota Intan, tapi di jaman sekarang, orang sering menyebutnya dengan Kota Tua Batavia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

CANDI GARUDA YOGYAKARTA

MACACA NIGRA PRIMATA SEMENANJUNG MINAHASA I