GURITA PAUL DAN RUHUT SITOMPUL
PEMILIHAN
Umum (Pemilu) di tahun kuda kayu ini terbilang semarak. Perhelatan demokrasi
pemilihan calon presiden (Capres) beserta wakilnya dihiasi peristiwa- peristiwa
yang menggembirakan.
Ya,
seharusnya iklim politik itu dibawa rasa gembira, bukan sebaliknya huru-hara
saling menghancurkan. Kenapa menjadi menggembirakan karena pemilu tahun 2014
ini diwarnai pesta sepak bola dunia di Brazil, dan kenikmatan puasa Ramadan
bagi setiap muslim.
Peruntungan
ini belum pernah didapat selama pemilu Capres berlangsung di Indonesia. Nah, kaitannya olah-raga sepak bola
dunia dengan pemilu capres, hampir serupa, yakni ada yang menjadi tukang ramal.
Momen
ini sering muncul, dianggap sebagai hal yang fenomenal, melakukan prediksi atau
ramalan, layaknya petugas Badan Meteorologi yang setiap hari menebak-nebak
cuaca.
Mereka
ini adalah para pengamat dan penggemar sepak bola, bahkan sampai
binatang-binatang tertentu pun, mengambil peran sebagai tukang ramal untuk
menilai siapa pemenang pertandingan sepak bola.
(sketsa by budi susilo) |
Pengamat
si kulit bundar yang menguasai teori permainan sepak bola secara mendalam,
merasa gagah berani untuk menebak tim siapa yang akan jaura. Dan mereka yang
awam sepak bola pun kadang percaya, terkesima, bahkan meng-iya-kan atas analisa
dari pemikiran para pengamat sepak bola yang ada di layar kaca televisi swasta.
Ya
inilah dia, sepak bola, jenis olah-raga yang paling populer di dunia. Coba
mundur ke jaman lampau, kita masih ingat gelaran sepak bola sebelumnya yang di
gelar di negara Afrika Selatan pada tahun 2010, ada binatang yang fenomenal,
sangat populer di kalangan para pecinta sepak bola.
Binatang
yang dimaksud adalah gurita yang diberi nama Paul ( Paul The Octopus). Gurita yang menetas pada Januari 2008 ini
dipercaya sebagai tukang ramal yang topcer.
Tebakan
Paul mengenai siapa yang juara selalu tepat sasaran. Saat yang paling
fenomenal, ketika di jelang babak final sepak bola antara Jerman dan Spanyol,
Paul Gurita menjatuhkan pilihan pada negara Spanyol.
Dan
memang terbukti, ternyata Spanyol yang menggondol piala dunia kala itu. Tetapi
mungkin saja gurita yang mati pada pada 26 Oktober 2010 itu sedang beruntung,
anggap sebagai sebuah kebetulan, bukan dianggap sebagai keajaiban yang harus di
Tuhan-kan.
Hal
yang sama dalam Pemilu capres Indonesia, senada dengan atmosfir alam sepak bola
dunia. Di politik capres tahun 2014 ini berjamuran lembaga-lembaga yang
didirikan oleh ahli politik bernama lembaga survei.
Lewat
lembaga seperti ini, siapa capres yang potensial dapat ditebak. Metodelogi
survei yang diterapkan masing-masing lembaga berbeda-beda. Tetapi intinya sama,
yakni untuk menentukan siapa yang akan menduduki kursi presiden Indonesia pada periode
2014 hingga 2019.
Demikian
adanya, sangat berbeda dengan apa yang ada dalam pandangan dari seorang
jurnalis senior Budiarto Shambazy, bahwa "jajak
pendapat atau survei hanyalah semacam alat bantu. Mereka para konsultan politik
tidak dpat membuat keputusan dari hasil survei seperti halnya fenomena yang
terjadi di Amerika Serikat, yang namanya suvei itu lebih bertujuan untuk
mengukur elektabilitas."
Anehnya,
di Indonesia mengagung-agungkan hasil survei, sebagai penentu utama kemenangan.
Ironisnya lagi, ada yang menyewa lembaga survei atau memanipulasi hasil survei
untuk masuk bagian dalam strategi propaganda kemenangan pemilu.
Belakangan
ada kasus sebuah situs berita ternama di dunia, dipakai untuk panggung survei
politik Indonesia yang seolah-olah bahwa kandidiat tersebut punya suara
terbanyak, dan dipastikan menjadi pemenang Pemilu Indonesia 2014.
Namun
mereka yang tukang kibul jangan bangga terlebih dahulu, sebab rakyat kini sudah
cerdas, tak dapat lagi dibohongi akan hal-hal seperti itu. Ya, inilah dunia politik di era reformasi ini, yang begitu
transparan, situasinya sangat menguntungkan, sebab rakyat bisa mengetahui siapa
yang aktor 'hitam' dan siapa yang aktor 'putih'.
Dunia
politik gejolak dinamisasinya sangat besar. Belum ada sebuah kepastian. Hari
ini belum tentu sama dengan yang esok hari. Wujudnya masih bisa berubah-ubah
tidak seperti halnya dalam ilmu matematika yang hasilnya sudah pasti tetap,
mengabadi.
Jadi
tak perlu pusing tujuh keliling atas merebaknya hasil survei dari lembaga sana
dan lembaga sini. Analogikan saja pesta demokrasi kali ini seperti perhelatan
pesta sepak bola dunia.
Jika
di piala dunia ada Paul Gurita si tukang ramal, maka di hajatan demokrasi tahun
2014 ini ada juga si ‘tukang pacul’ bernama Ruhut Sitompul. Yah, sederhana saja, bahasa banyolnya
jikalau untuk menilai siapa Capres yang juara tidak perlu harus pakai
survei-survei-an.
Karena
'penentu' siapa yang jadi presiden itu ukurannya jika Ruhut Sitompul sudah
menempel ke calon tertentu. Siapa yang ditempel oleh tangan gurita Ruhut
Sitompul, maka dialah kandidat yang akan menjadi presiden. Wow, berarti Ruhut Sitompul mirip sang peramal Paul si Gurita dong, Hehehe
Terlepas
dari itu, mari di hajatan demokrasi kali ini, kita lebih baik membawa diri kita
masing-masing untuh merasa bahagia bersama. Sebab, siapa pun itu, yang jadi
presiden Indonesia, kita semua yang tinggal di bumi pertiwi ini tetap mesti bekerja
keras, karena meraih sukses ada di diri kita masing-masing.
Karena
itu sekali lagi, pemilu kali ini seharusnya kita bisa bergembira, karena ada
tukang ramal yang ramai. Kita bisa senang melihat pertandingan debat visi misi
pasangan capres, dan kita seharusnya riang dalam demokrasi kali ini, karena
bisa saling silang pendapat untuk mencari kebenaran. Salam demokrasi, dari
rakyat dan untuk rakyat. ( )
Komentar
Posting Komentar