PIKNIK SINEMA
Inspirasi
Seni Film Ada Di Sekitar Kita
SIAPA pun itu, pasti menyukai tontonan seni film. Dari
generasi ke generasi, seni film selalu menjadi daya tarik, punya penggemarnya,
tak pernah kehilangan pengagumnya. Pria, wanita, tua, muda, hingga anak-anak
suka sama film.
Seni film itu dahsyat, sebab kehidupan manusia tak
akan pernah lepas dari dunia film. Seperti halnya tokoh straudara ternama film Indonesia, Riri Riza, ia
berekspresi dan hidup melalui dunia film.
Sore itu, ia datang menyempatkan diri berkunjung ke Bintaro
XChange lantai dua, Minggu 30 Maret 2014, dalam acara Piknik Sinema dan Nonton
Bareng film karyanya, seperti di antaranya film Petualangan Sherina.
Menggunakan jas biru dongker dengan berkaus putih ia
menceritakan pengetahuan film dan kisah asam
garamnya terjun ke dunia perfilman Indonesia kepada seluruh pecinta film
yang sebagian besar dari kalangan pemuda.
Riri Riza sedang berbagi ilmu dan pengalamannya (photo by budi susilo) |
Ia mulai bercerita dari sejarah perfilman Indonesia.
Katanya, usai republik Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus
1945 dunia film Indonesia mulai muncul bibit-bibit karya film buatan negeri
sendiri.
Puncaknya di tahun 1950-an, disokong langsung oleh
Usmar Ismail. Seniman yang sekaligus aktivis sosial ini memberanikan diri membuat
film khas Indonesia, untuk pertama kalinya. Itulah kenapa Usmar kini dikenal
sebagai tokoh perfilman nasional Indonesia.
Kala itu, umur Usmar masih menginjak 30 tahun. Umur
yang dikatakan masih muda tapi sudah kreatif dan berani menggarap film sendiri.
Bukan Usmar kalau batu rintangan jadi penghalang dirinya membuat film.
Berbekal niat yang besar, ia berkomitmen dan banting
tulang berulang-ulang agar seni film yang diimpikan bisa terwujud baik dan bisa
dinikmati masyarakat.
Karena membutuhkan modal uang yang tak sedikit, ia pun
mengambil jalan hutang kesana-kemari untuk membiayai filmnya. “Pinjam sama
saudaranya, teman-temannya, dan ke mereka yang peduli dan tertarik pada dunia
film,” ujar Riri.
Riri mengenal sejarah Usmar sebagai sosok seniman yang
serba bisa, multitalenta. Usmar itu berangkat dari orang-orang teater,
sastrawan, dan juga aktivis pergerakan sosial, makanya tak heran kualitas
produksi film Usmar dapat diacungi jempol.
Bagi Riri, generasi film pertama Indonesia itu punya
pengalaman hebat, walau tanpa didukung alat teknologi modern perfilman seperti
jaman sekarang ini.
Semua isi dan pesan film yang disampaikan mengacu pada
kehidupan sosial masyarakat saat itu, yang lebih kepada politik kemerdekaan. “Ada kombinasi pergerakan politiknya. Yang terkait
dengan revolusi. Lebih banyak idealismenya,” katanya.
Kemudian, berlanjut ke 15 tahun berikutnya, lahir
tokoh-tokoh film lainnya. Kebanyakan generasi ini datang dari panggung teater.
Menurut Riri, mereka yang sudah berkecimpung lama dan memahami betul akan dunia
teater, tak akan mengalami kesulitan ketika tercebur ke dunia film.
Mereka-mereka ini di antaranya, sebut Riri, ada nama
Teguh Karya, Sjumandjaja, Asrul Sani, dan Arifin C Noer. Kesemua orang-orang ini
masuk ke dunia film satu sebab lebih kepada untuk menyampaikan gagasan mereka.
Nah, sampai masuk di tahun
1970-an, generasi film Indonesia di isi oleh mereka-mereka yang punya latar
belakang mengenyam pendidikan sekolah formal perfilman.
“Di tahun 70 Indonesia punya sekolah jurusan film,
berdiri lembaga pendidikan kesenian atau yang sekarang disebut IKJ (Institut
Kesenian Jakarta),” ungkap Riri.
Mereka-mereka yang masuk dalam generasi ini adalah di
antaranya, urai Riri, ada nama Dedy Mizwar, Norman Benny, dan Garin Nugroho.
Seniman yang disebut terakhir ini lulusan sekolah film IKJ tahun 1980-an.
“Karya filmnya Cinta Dalam Sepotong Roti,” katanya.
Film Gie satu di antara hasil karya Riri Riza yang sukses (photo by budi susilo) |
Riri menilai, seniman film generasi sekolahan banyak
dipengaruhi dari film-film dan sastra yang berasal dari Eropa, terutama dari
negara Perancis. “Beda dengan di angkatan Usmar, pembuatan film lebih kepada
pengaruh minat dalam dirinya,” ujar pria berambut ikal kribo ini.
Tetapi tambah Riri, di tengah keterbatasan alat
perfilman yang rendah, kualitas film jaman dahulu itu sangat keren dan serius,
termasuk para aktor-aktornya. Pokoknya film tempo dulu itu punya cita rasa yang
tinggi. “Dari suasana atau peristiwanya, emosinya, penjiwaannya, sangat bagus,”
katanya.
Ia menyayangi sekali nasib film di era tahun 1980-an. Bagi
dia, film di era ini tak bebas, dipenuhi oleh birokrasi pemerintahan dan sangat
tidak sesuai dengan minat dan aspirasi kaum muda saat itu.”Kesannya film harus
serius dan sifatnya harus dewasa,” keluhnya.
Berkreasi Lewat
Film Pendek
Lalu untuk Riri sendiri, mengawali dunia film melalui
jalur sekolah formal. Ia mengaku setamat dari sekolah menengah umum melanjutkan
kuliah di jurusan film IKJ. “Saya suka dengan budaya-budaya pop,” tuturnya.
Debut pertama menggarap film ia tuangkan dalam buah
karya film pendek dan mengirimkanya ke festival-festival film dan menjuarainya
di negara Jerman. “Seingat saya ini tahun 1994,” ungkap Riri.
Tak disangka, rezeki entah kemana, film pendek
garapannya dilirik banyak orang, yang akhirnya ia pun bisa berkesempatan
berkeliling mancanegara mengenalkan film pendek buatannya.
Termasuk saat dirinya diterima sebagai karyawan magang
di perusahaan film besutan Garin Nugroho, gara-gara film pendek garapannya.
Padahal, pengakuan Riri, isi film pendeknya sangat tidak jelas atau absurd.
“Kenapa punya daya tarik ya, sampai mas Garin suka.
Saya sendiri saja yang membuat film juga bingung itu film apa ya,” ungkapnya
dengan nada keheranan, lalu diiringi gelak tawa dari para pengunjung diskusi.
Sejak itulah,kemudian rintisan karya film dari Riri
Riza mulai berkelanjutan. Ia pernah dipercaya untuk membuat film untuk sebuah
produk iklan, film-film berbasiskan dokumenter dan juga film layar lebar
pertama seperti contohnya film Kuldesak.
Bagi Riri, darah seni film yang ada dalam dirinya
mengalir begitu saja. Modal utamanya keseriusan, komitmen, dan tak pantang
menyerah serta mau belajar film dari siapa saja.
Menurutnya, belajar penguasaan alat-alat pembuatan
film itu mudah. Cukup enam bulan bisa menguasainya. Tapi hal yang tersulit
dalam membuat film, ungkap Riri, adalah mencari ide ceritanya.
“Saya saja untuk menemukan ide harus lama,
berkeliling-keliling daerah terlebih dahulu, mencari peristiwa yang hidup di
masyarakat. Ide bagi saya itu penting untuk kesuksesan sebuah film,” tegas
Riri.
Karena itu ia mengimbau, dalam sebuah negara tidak ada
patokan bahwa film harus berciri khas tertentu. Contohnya film Amerika bergaya action, India berciri drama musikal atau
Korea berkhas drama cinta. Tidak bisa dikatakan demikian, sebab katanya, film
itu harus berangkat dari latar belakang sosial budaya negaranya.
Riri Riza foto bersama dengan para penggemarnya (photo by budi susilo) |
Termasuk untuk Indonesia, juga tidak bisa
dikategorikan berciri khas khusus. Film Indonesia harus berangkat dari denyut
nadi kehidupan masyarakatnya, peka pada lingkungan sosialnya dari semua aspek.
“Ada paradoks, pertentangan, keragamannya sangat menarik,” urai Riri.
Ia mengakui, film garapannya pun juga ada yang
bersifat anti sosial. Film dimaksud Tiga
Hari Selamanya, yang berisi mengenai percintaan antar sepupu, dan memakai
ganja, yang kesemua tindakan ini sangat dilarang di Indonesia tetapi memang ada
faktanya. “Film saya ada kafirnya juga, dalam pengertian umum,” kata Riri.
Dari Novel Ke
Film
Nah, untuk soal novel diangkat
ke dalam film dalam pandangan Riri itu hal yang lumrah. Namun jangan berharap
banyak, kalau dalam film tidak secara menyeluruh bercerita semirip apa yang ada
dalam novel. “Susah kalau mau mengadaptasi dengan cerita di novel,” tuturnya.
Yang terpenting bagi dia, membuat film yang kisah
inspirasinya dari novel harus berbeda, agar memperoleh suasana dan pandangan
baru mengenai ceritanya.
Hal utama yang harus dipikirkan adalah membuat film
dengan kualitas bagus, bukan sebaliknya, menerjemahkan novel secara utuh ke
dalam bentuk film. “Film yang bagus ada klimaksnya,” kata Riri.
Itulah cerita pengalaman singkat dari seorang Riri
Riza, dalam meramaikan dunia perfilman Indonesia yang belakangan sudah mulai
menggeliat.
Harapan dari apa yang dibeberkan oleh Riri Riza, semoga bisa menginsiprasi kita semua, demi memajukan dunia perfilman Indonesia. Selamat mencoba ya. ( )
Harapan dari apa yang dibeberkan oleh Riri Riza, semoga bisa menginsiprasi kita semua, demi memajukan dunia perfilman Indonesia. Selamat mencoba ya. ( )
Komentar
Posting Komentar