JAKARTA LAIN DULU LAIN SEKARANG
Banjir Mampir Sampai
Istana Negara
“Ribat ribut air
keruh (banjir) Jakarta, emang selalu bikin ribet, dan membuat pikiran
jadi sering konslet, keserimpet.”
UNGKAPAN inilah yang mungkin sering dialami oleh mereka yang dihadapkan pada realitas kehidupan yang bernama bencana banjir Kota Jakarta.
Gara-gara banjir, saluran
air di pemukiman penduduk mampet, air membludak tak mengalir lancar,
macet bak jalanan di perkotaan. Sampah rumah tangga menumpuk dan
tercecer tak karuan. Wabah penyakit pun siap menjangkit.
Sering orang membahas
solusi bencana banjir Jakarta. Orang-orang kampus yang disana, sampai
yang disini, ramai berkoar-koar memberikan ide penanganan banjir
kepada pemerintah, walau dalam perkembangannya teori para pakar
tersebut belumlah manjur.
Bus kota dan sepeda motor terjang banjir Jakarta, Rabu (29/1/2014). Hujan yang tak kunjung-kunjung reda membuat Jakarta kebanjiran (photo by budi susilo) |
Sementara rakyat awam
yang ada dipinggiran, hanya mencurahkan keluh-kesah akibat dari
ganasnya musim hujan yang menggenangi banjir Jakarta. Mengiba dan
berdoa, inilah upaya yang hanya bisa dilakukan rakyat kecil.
Rakyat Indonesia sudah
mengerti kalau banjir di Jakarta itu merupakan peninggalan purbakala.
Di jaman kolonial Belanda, banjir sudah melanda Jakarta. Sejarah ini
terekam di berbagai media masa Indonesia terbitan masa silam.
Di jaman kolonial
Belanda, upaya penggarapan banjir kanal Jakarta telah
diselenggarakan. Namun ini jaman dahulu, sekarang eranya sudah beda,
dinamisasinya terus berkembang, butuh perubahan untuk mengikuti arus
jaman.
Lihat sekarang,
bantaran-bantaran sungai di Jakarta banyak berdiri rumah-rumah kumuh
semi permanen yang membelakangi sungai. Kadang ada juga mereka yang
secara sengaja membuang sampah di belakang rumahnya ke sungai.
Tidak seperti di tempoe
doeloe, sungai Ciliwung jaman sekarang seperti neraka dunia.
Wajah sungai Ciliwung Jakarta memancarkan air yang kotor berlimbah,
bau tak sedap, dan banyak menyimpan virus-virus penyakit.
Padahal saat Gubernur
Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen masih berkuasa, sungai Ciliwung
pernah dijuluki Ratu Dari Timur. Kala itu sungainya indah dan
bersih, bisa dimanfaatkan untuk mandi, mencuci, bahkan sumber air
minum.
Persoalan Jakarta tidak
ada habisnya. Pepatah bijak dari RA Kartini yang berbunyi Habis
Gelap Terbitlah Terang seolah tak berlaku bagi Kota Jakarta
tercinta.
Pasalnya, derita dan
problematika yang dikandung oleh Kota Jakarta tak kunjung reda. Ada
satu persoalan, atau sudah terselesaikan, maka akan timbul
persoalan-persoalan berikutnya.
Misalkan penanganan
kemacetan lalu-lintas Jakarta, baru saja mau memulai, lalu timbul
lagi persoalan lain, yakni terjangan bencana banjir karena akibat
ulah manusia itu sendiri.
Tak tanggung-tanggung,
bencana banjir juga melanda pusat bisnis kawasan Bundaran Hotel
Indonesia dan pusat pemerintahan di komplek Istana Negara. Seharusnya
kedua tempat ini wajib bersih dari genangan banjir, tetapi fakta yang
terjadi, air tetap bandel mendatangi tempat-tempat ini.
Tepat kiranya air banjir
mampir ke komplek Istana Negara supaya pemimpin negara Indonesia tahu
betul bahwa persoalan banjir sebenarnya bukan persoalan yang sepele,
harus segera diatasi secara serius.
Air banjir yang
menggenang hingga ke kawasan Istana Negara adalah langkah konkrit
dari hilirisasi banjir, perwujudan pemerataan bencana bagi seluruh
rakyat, termasuk seorang kepala negara yang dianggap orang terhormat.
Sebab selama ini, banjir
Jakarta hanya dirasakan warga di pinggiran saja. Karena itu adalah,
tugas Gubernur bersama Presiden untuk mampu menata Kota Jakarta agar
lebih baik lagi, jangan sampai banjir terus terulang kembali. ( )
Komentar
Posting Komentar