KAPUR PENYAMBUNG HIDUP RAKYAT
TAMBANG
KAPUR BULIIDE
Kapur Penyambung Hidup Rakyat
Oleh: Budi Susilo
Tepat matahari berpijar terik di atas kepala, Hamzah Yusuf
(52), dengan bertelanjang dada masih tetap asik membakar sampah ranting-ranting
dan dedaunan di dekat sebuah tebing bekas open tambang batu kapur di Kelurahan
Buliide, Kecamatan Kota Barat, Kota Gorontalo, Senin (11/2/2013) siang.
“Lagi bersih-bersih saja. Supaya enak dilihat. Kesannya agar
tidak kotor disini,” ujar pria berkulit sawo matang ini sambil
menyodok-nyodokan bakaran sampah dengan menggunakan sebatang bambu panjang
coklat.
Suasana kampung Buliide di siang hari sunyi dan tentram, Senin (11/2/2013)_budisusilo |
Pria ini kesehariannya bekerja sebagai penambang kapur di
Buliide. Di daerah ini memang dikenal sebagai penghasil utama sumber daya alam
batu kapur. Tempatnya tidak jauh dari pusat Kota Gorontalo, untuk menuju ke
tempat ini sangat mudah karena sudah dilengkapi infrastruktur jalan yang
memadai.
Ciri khas di daerah Buliide terkenal daerah panas. Saat
cuaca cerah, terik panas mataharinya betul-betul terasa mencolok. Memperoleh
atmosfir adem sejuk di Buliide merupakan barang yang langka.
Namun dapat sedikit terobati, karena di tempat ini terdapat
beberapa pohon tinggi dengan rindang daun hijau bernama Talanggilala. Memang
jika dibandingkan dengan pohon beringin yang tinggi besar, rimbunan daun pohon
Talanggilala masih kalah. Jenis pohon
yang tumbuh di Buliide ini berciri khas tinggi ramping dengan daun hijau tua.
Bongkahan batu kapur yang usai di keruk dari perbukitan, Senin (11/2/2013)_budisusilo |
Orang setempat menyebutnya pohon Talanggilala, yang diambil
dari bahasa lokal Buliide. Yang pasti beruntunglah dengan adanya keberadaan
pohon-pohon ini, sehingga tidak membuat Buliide layaknya padang pasir di
negara-negara Timur Tengah.
Hamzah satu di antara pria yang mencoba peruntungan raih
rezeki di tambang batu kapur. Sudah sekian lama, hampir puluhan tahun dirinya
bergelut dengan batu kapur putih ini. “Sudah turun temurun cari batu kapur.
Dari orang tua dulu sampai generasi jaman sekarang,” ungkapnya.
Dalam sehari, urainya, ia mampu mencari batu kapur sebanyak
150 kilogram dengan cara tradisonal menggunakan tenaga fisiknya, tanpa ada
bantuan teknologi mesin. “Masih saya gali pakai skop dan pacul, lalu dibakar
juga pakai open buatan dari alam dengan bahan pembakaran dari kayu-kayu,” ujar
Hamzah.
Lubang pembakaran batu kapur atau open yang sudah tidak terpakai_budisusilo |
Angin sepoi-sepoi masih bertiup di Buliide, Hamzah masih
betah di lokasi dekat bekas open batu kapur sambil menjelaskan, tambang batu
kapur yang ada di Buliide Gorontalo berbeda dengan di tanah Jawa. Ini
dibuktikan beberapa waktu silam, saat ada pengadaan mesin pembakaran batu kapur
dari Jawa, eksistensi mesin tidak sampai berumur tua.
“Buat bakar batu kapur Buliide mesin cepat rusak, tak dapat
berfungsi. Orang bilang batu disini tidak cocok dengan tipe mesinnya. Kapur
Buliide lebih keras, punya kualitas bagus dibandingkan batu kapur di Jawa,”
ungkap bapak beranak dua ini.
Di kesempatannya, Hamzah pun sempat memberikan gambaran
jelas soal proses pembakaran batu kapur menjadi barang jadi siap jual. Tidak
jauh dari lokasi bakar sampahnya, ia menggiring ke sebuah tempat open batu yang
menyerupai perbukitan.
Pak Hamzah sedang mengeruk hasil pembakaran kapur di Open_budisusilo |
Open batu kapur yang dibuat tersebut bukan dari sebuah
pelakat mesin, apalagi tembok beton. Open di rancang asli secara alamiah dari
perbukitan batu kapur. Hanya saja, bukit tersebut di rancang sedemikan rupa
hingga berfungsi sebagai tempat pembakaran batu kapur.
Proses pertama pembakaran, batu kapur digali dari beberapa
tebing. Usai digali, bongkahan batu-batu kapur di masukan ke dalam lubang yang
berada di bagian atas bukit open batu kapur. Di dalam lubang tersebut, sudah
ada bara api di bagian bawahnya, kemudian batu di masukan ke lubang.
“Proses pembakaran sampai berhari-hari, tergantung api.
Kalau api besar bisa cepat jadi, tapi kalau tidak, bisa sampai berhari-hari,”
urai Hamzah, pria berjanggut yang tidak lulus sekolah dasarnya.
Batu kapur yang dimasukan ke Open sebagai proses pembakaran_budisusilo |
Terpisah, Idris Padu (57), pekerja tambang batu kapur
lainnya, mengungkapkan, produksi batu kapur Buliide dipasarkan untuk wilayah
provinsi Gorontalo, bahkan sampai juga ke Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara.
“Biasanya untuk netralisir pembuangan limbah
tambang-tambang. Kapur zat yang mampu meresap zat bahaya limbah tambang, juga
untuk bahan-bahan bangunan, atau asesoris properti bangunan,” tuturnya.
Untuk harga pasaran batu kapur Buliide milik Idris dibandrol
harga Rp 50 ribu untuk per karungnya. Hitungan per karung itu memiliki volume 30
kilogram. “Kami jual tidak dalam bentuk
bongkahan batu, sudah barang jadi berupa pasir,” kata pria kelahiran Buliide 2
Februari 1956 ini.
Hasil pembakaran kapur yang sudah berubah bentuk jadi pasir_budisusilo |
Pria yang memiliki cucu empat ini bukan orang baru dalam
menggeluti dunia tambang batu kapur. Ia melakukan sejak tahun 1973, yang semua
ilmu penambangan ia peroleh dari orang tuanya yang lebih dulu terjun pada tahun
1952. “Kami hidup dari sini. Lumayan penghasilannya, saya peroleh makan untuk
menyambung hidup buat sekeluarga, istri dan anak saya,” ujar Idris.
Berdasarkan data kependudukan dari Kelurahan Buliide pada
tahun 2011, dengan hitungan jumlah mata pencarian penduduk hampir sebagian
besar warga Buliide berkerja sebagai penambang batu kapur. Dari total jumlah
penduduk 2556 jiwa, sebanyak 153 adalah penambang pasir, sisa-sisanya adalah
pedagang, pegawai negeri sipil, bertani dan pegawai swasta.
Ditemui Lurah Buliide, Nurdin Kaluku (49), mengatakan,
kondisi alam Buliide yang memungkinkan warga setempat menjalani sebagai pekerja
tambang batu kapur. “Mereka yang mau berkegiatan tambang, diwajibkan dapat ijin
tambang dari Dinas Pertambangan, supaya tidak liar dan membahayakan,” tegasnya.
Bahan baku pembakaran batu kapur menggunakan kayu pohon_budisusilo |
Namun rasa syukur yang mendalam, selama kegiatan
pertambangan batu kapur sejak lama, belum sempat terjadi adanya bencana besar
beupa longsor bukit kapur, walau dalam sejarahnya kata Buliide itu diambil dari
definsi gelisah risau, orang yang sering berguling-guling di atas ranjang.
Pengambilan nama Buliide dilatarbelakangi oleh cerita orang
jaman dulu, tiap ada kepala desa yang baru menjabat tiga hari, langsung
meninggal. “Tapi ini cuma cerita saja, di dunia nyata sekarang tidak ada lagi
cerita kebenaran ini,” ungkap pria yang dahulu pernah sebagai Lurah Tenilo ini.
Kalau pun ada, itu hanya kecelakaan kecil yang menimpa
beberapa pekerja yang tidak sampai menewaskan dalam jumlah banyak. “Mereka yang
bekerja disini punya keahlian khusus, yang sudah terbiasa dan mengenal alamnya
lebih dekat,” ungkap Nurdin yang kala itu mengenakan kopiah coklat. ( )
Komentar
Posting Komentar